Berjudi di Atas Renville
Perhitungan-perhitungan taktis para pemimpin Republik saat berhadapan dengan Belanda di atas kapal perang milik Amerika Serikat.
Pertengahan Juli 1947, mendadak Angkatan Bersenjata Kerajaan Belanda menggelar Operasi Produk. Faktor pendadakan itu secara militer berhasil menjadikan Belanda menguasai sebagian Sumatera dan kota-kota penting di Jawa Barat serta Jawa Timur. Meskipun demikian, secara politik, Belanda tidak mampu meyakinkan dunia. Bahkan, dengan aksi itu mereka justru dikecam dunia internasional karena dianggap sudah menghancurkan kesepakatan damai di Linggarjati pada 25 Maret 1947.
Sementara itu, tujuan utama lain dari operasi militer itu yakni menghancurkan kekuatan TNI sama sekali tak terpenuhi. Alih-alih mencapai hasil maksimal, kekuatan TNI secara kilat mulai berhasil melakukan rekoordinasi kekuatan. Di beberapa tempat, serangan-serangan balik yang dilakukan TNI malah semakin intens. Seorang Komandan Batalyon militer Belanda bernama Letnan Kolonel J. Flink dari Divisi C mengakui situasi itu. Sebulan lebih setelah Operasi Produk, memang pasukannya bisa mempertahankan kondisi keamanan. Namun mulai 31 Agustus 1947 keadaan berubah.
“Batalyon saya mulai mendapat serangan-serangan gencar dan sistematis. Akibatnya, kami tidak hanya mengalami kekalahan demi kekalahan tapi juga meningkatnya kerugian personil di atas tingkat yang normal,” katanya seperti dikutip Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948.
Di tengah situasi tersebut, Dewan Keamanan PBB lantas mendesak masalah pertikaian kedua negara itu kembali dibawa ke meja perundingan. Bertempat di atas anjungan USS Renville (sebuah kapal angkut pasukan milik Amerika Serikat) yang tengah berlabuh di Teluk Jakarta, maka perundingan kedua pihak dengan pengawasan Komisi Jasa-jasa Baik ( beranggotakan Amerika Serikat, Belgia dan Australia) pun dilangsungkan sejak 8 Desember 1947.
Dikisahkan oleh Ide Anak Agung Gde Agung dalam Renville, terjadi perdebatan panas dalam perundingan tersebut. Persoalan yang menjadi ganjalan utama adalah soal Garis Van Mook. Pada sidang tanggal 9 Desember 1947, sebagai upaya pengaturan gencatan senjata, Komisi Jasa-Jasa Baik mengusulkan supaya pihak militer Belanda mengosongkan daerah-daerah yang diduduki dan sebaliknya TNI juga harus mengosongkan “daerah kantong” yang diduduki mereka (saat itu ruang lingkupnya bahkan sudah meluas melebihi garis demarkasi sebelum Belanda melakukan Aksi Militer Pertamanya). Belanda menolak usulan Komisi Jasa-jasa Baik tersebut. Mereka malah mengajukan usul lain: garis demarkasi berdasarkan Garis Van Mook yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 5 September 1947.
Tawaran itu langsung ditolak mentah-mentah oleh delegasi Republik. Perundingan pun menemui titik buntu. Hingga pada 9 Januari 1948, Belanda mengajukan ultimatum: dalam waktu tiga hari pihak Republik harus bisa menentukan sikap: menerima atau menolak usul Garis Van Mook. Jika jawaban kedua yang dipilih, maka Belanda menyatakan akan meneruskan aksi militernya sampai ke Yogyakarta.
Tentu saja, gertakan Belanda itu membuat marah para pemimpin Republik. Awalnya, mereka memutuskan untuk menyambut ancaman Belanda itu dengan kekuatan militer pula “Namun, laporan dari beberapa komandan TNI kepada Sukarno perihal sangat kurangnya amunisi jika Belanda nekad melancarkan serangan besar-besaran menjadikan para pemimpin Republik berubah pendirian…” tulis George Mc. T. Kahin dalam Nationallism and Revolution in Indonesia.
Selain faktor di atas, para pemimpin Republik pun merasa “terpikat” dengan analisa Dr. Frank Graham, wakil Amerika Serikat di Komisi Jasa-jasa Baik. Dr. Graham menjelaskan bahwa jika RI menerima syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, ada kemungkinan pemerintah Amerika Serikat akan menentang lebih jauh upaya-upaya Belanda untuk mencapai solusi dengan cara militer dan mengarahkan perundingan kepada pemunggutan suara yang dijanjikan akan diadakan di bawah pengawasan PBB.
Sesepuh Divisi Siliwangi Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi memiliki pendapat menarik terkait sikap nrimo yang dijalankan oleh pemerintah Republik. Ia mengatakan bahwa dengan menerima saran Graham dan mengakui Garis Van Mook maka sejatinya para pemimpin Republik tengah “bermain judi” secara politik.
“Tapi saya dengar, Bung Karno dan para pemimpin Republik lainnya punya “hitungan”: Belanda tidak akan mematuhi perjanjian yang sudah disepakati. Dan itu memang terjadi toh?” kata Eddie.
Pada 17 dan 19 Januari 1948, Perjanjian Renville ditandatangani oleh kedua pihak. Maka, otomatis berlaku pula secara praksis semua poin-poin yang telah disepakati. Termasuk penarikan kekuatan-kekuatan militer Indonesia dari “wilayah Belanda” ke wilayah Republik. Begitu juga sebaliknya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar