Masuk Daftar
My Getplus

Raja-raja Awal Nusantara yang Berkurban

Raja-raja awal Nusantara melakukan kurban hewan. Berkaitan dengan kepercayaan Weda.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 01 Agt 2020
Ilustrasi: sapi sebagai hewan kurban. (Mohammed Anwarul Kabir Choudhury/123rf.com).

Kurban hewan muncul dalam beberapa prasasti yang dikeluarkan kerajaan-kerajaan awal di Nusantara. Seperti Prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai Kartanegara, Prasasti Tugu dari Kerajaan Tarumanegara, dan Prasasti Dinoyo dari Kerajaan Kanjuruhan, Jawa Timur.

"Dalam Prasasti Yupa dan Prasasti Tugu dikisahkan pengurbanan lembu dan jumlahnya fantastis," kata Dwi Cahyono, arkeolog dan dosen sejarah Universitas Negeri Malang, kepada Historia.id.

Dalam salah satu Prasasti Yupa yang ditemukan di Muarakaman, Kalimantan Timur, disebutkan Raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana untuk upacara di tanah suci bernama Vaprakeswara.

Advertising
Advertising

"Di dalam Prasasti Yupa semacam jadi penekanan, bahkan disebutkan tiang atau tugu yang dijadikan tempat mengikat hewan kurban, yang kemudian disebut yupa itu," kata Dwi.

Baca juga: Sejarah Nusantara Bermula di Kutai Kartanegara

Dwi menghubungkan kurban itu dengan kepercayaan Weda yang berkembang pada awal masa sejarah di Nusantara. Dalam praktiknya, Weda menekankan ritual pengorbanan dan brahmana menempati posisi sentral.

"Di India awalnya Weda, baru berkembang jadi Hinduisme. Abad-abad awal di Nusantara, religinya yang masuk juga Weda," kata Dwi.

Begitu pula dalam Prasasti Tugu yang ditemukan di Kelurahan Tugu, Koja, Jakarta Utara. Awal perkembangan Tarumanegara hanya berselang sebentar setelah munculnya Kutai Kertanegara. Karenanya ada kemungkinan agamanya sama.

"Ada beberapa orang berpendapat begitu (pengaruh tradisi Weda, red.). Saya sendiri juga lebih ke situ. Ini berkaitan dengan kepercayaan Weda pada abad ke-4 hingga ke-5," kata Dwi.

Tradisi dari India

Hariani Santiko, arkeolog Universitas Indonesia, dalam "The Vedic Religion in Nusantara" yang terbit dalam jurnal Kalpataru, Vol. 31 No. 2, Desember 2013, menjelaskan penyebaran agama Weda di India kira-kira antara 2500–1500 SM.

"Ini adalah periode di mana Arya, setelah masuk ke India dari Asia Tengah, pertama kali menetap di lembah Indus, dan secara bertahap memperluas dan mengembangkan budaya dan agama mereka," tulis Hariani. 

Weda memiliki empat kitab sumber, yaitu Rgveda (nyanyian pujian untuk para dewata), Yajurveda (petunjuk ritual pengurbanan), Samaveda (nyanyian dalam ritual pengurbanan), dan Atharvaveda (mantra dan ajaran yang bersifat magis).

Hariani menjelaskan, ritual pengurbanan menempati posisi penting dalam kepercayaan Weda. Termasuk mempersembahkan susu, biji-bijian, jus tanaman dan buah-buahan. 

Ada dua jenis upacara pengurbanan. Pertama, pengurbanan sederhana di rumah masing-masing dan dipimpin oleh penghuni rumah. Makanan sesaji dimasak terlebih dahulu kemudian dipersembahkan kepada Dewa Agni, Prajapati, dan Surya.

Baca juga: Ken Angrok dan Tradisi Kurban di Nusantara

Kedua, pengurbanan besar yang dilakukan oleh para brahmana di tanah lapang atau dikenal sebagai ksetra. Altar dan yupa atau tiang pengikat kurban ditegakkan di dekat pintu masuk ksetra.

"Yupa diukir dari batang pohon khusus, tetapi pada periode kemudian, ketika ritual Weda dihidupkan kembali pada periode Hindu, yupa dibuat dari batu," tulis Hariani. 

Menurut arkeolog Sri Soejatmi Satari dalam "Upacara Weda di Jawa Timur: Telaah Baru Prasasti Dinoyo" yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi 2005, upacara kurban hewan (pasubandha) merupakan salah satu ritual dalam kepercayaan Weda sebagai tahapan dalam penghormatan kepada Dewa Agni (Dewa Api).

Hewan yang dikurbankan diikat di tempat terbuka. Permukaannya ditutup rumput.

"Hal yang menandai upacara Weda adalah diadakannya upacara kurban binatang. Termasuk lembu yang dalam agama Hindu jelas dilarang," tulis Soejatmi.

Agama India Pertama

Ada tiga raja dalam prasasti yang mengundang para brahmana untuk melakukan persembahan, yaitu Raja Kutai Kertanegara Mulawarman (abad ke-4), Raja Tarumanagara Purnawarman (abad ke-5), dan Raja Kanjuruhan Gajayana (abad ke-7).

Tujuh prasasti yupa yang dikeluarkan Mulawarman diperkirakan dari abad ke-4-5. Isinya banyak menceritakan sumbangsihnya pada upacara keagamaan.

Baca juga: Kutai Kartanagara pada Zaman Kuno

Salah satu prasasti menyebutkan Mulawarman menyumbang emas yang banyak. Lima prasasti menyebutnya memberikan 20.000 ekor sapi, 11 ekor lembu jantan, monyet merah, banyak minyak wijen, lampu dengan bunga, air sapi (mungkin susu), dan tanah ksetra.

"Setelah mempelajari prasasti Mulawarman, saya menganggap bahwa Mulawarman telah memeluk ajaran Weda," tulis Hariani.

Alasan yang mencolok karena Mulawarman melakukan persembahannya di ksetra, bukan di kuil (prasada).

Dalam Prasasti Tugu disebutkan Purnawarman menyumbang 1000 ekor sapi sebagai persembahan untuk upacaya yang dilakukan oleh para brahmana.

"Tersebut nama dua kanal yang digali atas perintah Raja Purnawarman, yaitu sungai Gomati dan Candrabhaga. Kedua nama itu adalah anak-anak sungai Indus, permukiman pertama Arya di India," tulis Hariani.

Selain prasasti, ada catatan tertulis yang berasal dari era Tarumanagara. Penulisnya Faxian, pengelana Buddha dari Tiongkok, yang pergi ke India untuk mengunjungi tempat-tempat suci Buddha.

Pada 414, Faxian kembali ke negaranya melalui Sri Lanka. Namun, dalam perjalanan, kapalnya diserang badai. Kapalnya karam di Ye-bo-di yang mungkin sebutan untuk Jawa.

Menurut Faxian, hanya ada sedikit umat Buddha di Yebodi. Namun, cukup banyak brahmana yang tidak menjalankan agama mereka sebagaimana mestinya.

"Apakah Faxian melihat ritual Weda di Tarumanagara, yang berbeda dari ritual Hindu di India? Jadi, ia menyimpulkan bahwa agama di Tarumanagara tidak dipraktikkan dengan benar?" tulis Hariani.

Baca juga: Banjir di Kerajaan Tarumanegara

Hariani menyebut ritual Weda mungkin juga dilakukan di Kota Kapur, Bangka. Di antara tinggalannya adalah altar Weda dan fragmen arca Wisnu yang mungkin dari abad ke-5-6.

Dari karakteristiknya, Hariani tak yakin temuan itu merupakan sisa-sisa candi. Ukurannya terlalu kecil dan tidak biasa untuk candi. Mungkin sisa-sisa altar Weda untuk persembahan kepada Wisnu karena ditemukan fragmen arang.

Hariani pernah mendapatkan informasi temuan lingga, objek pemujaan yang menyimbolkan Siwa, di tengah sisa-sisa bangunan itu. Bentuknya masih kasar. Ia membandingkannya dengan temuan yupa yang belum selesai di Muarakaman. Mungkin lingga kasar itu adalah yupa yang belum selesai.

Upacara Weda masih dijalankan di Jawa pada abad ke-7. Prasasti Dinoyo (760) menyebutkan upacara penggantian arca rsi Agastya yang berbahan kayu cendana menjadi marmer hitam dan indah. Dalam upacara itu, raja dibantu para imam Weda.

"Raja Gajayana bahkan menganut Siwaisme (Hindu-Siwa), namun ia mengundang pendeta-pendeta Weda untuk melakukan persembahan Weda," tulis Hariani.

Prasasti Dinoyo juga menyebut adanya ahli Rgveda, ahli Weda dalam upacara, para pertapa (yati) terbaik, para pemahat, dan para ahli lainnya dari penduduk negeri. Raja menganugerahkan tanah lapang, lembu-lembu gemuk bersama dengan kawanan kerbau, serta sekelompok budak laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Mencari Letak Kerajaan Kanjuruhan

Soejatmi menjelaskan semua hadiah itu disediakan untuk berbagai upacara, seperti prawara-caru-hawis-snana. Bila dibandingkan dengan upacara Weda di India, upacara ini sangat dekat dengan Somayajna. Upacaranya dilaksanakan berjenjang dan rumit.

Prawara adalah seruan kepada pendeta untuk upacara dan seruan Agni untuk melakukan upacara korban. Caru adalah persembahan kepada dewa berupa bubur yang dimasak dalam periuk. Dalam Somayajna berupa gandum. Sedangkan dalam Prasasti Dinoyo berupa beras.

Hawis adalah persembahan kepada dewa yang langsung dimasukkan ke dalam api. Persembahan dilakukan lewat perantara Agni sebelum diadakannya upacara.

Snana merupakan upacara mensucikan diri dengan mandi. Untuk keperluan upacara ini, raja menyediakan tanah lapang, lembu gemuk dan kerbau untuk dipersembahkan kepada dewa.

Baca juga: Kerajaan Tertua di Jawa Timur

Di Nusantara, tradisi Weda cenderung melakukan persembahan kepada Wisnu. Ini dipercaya akan mendatangkan banyak hal, seperti mengatasi permusuhan dan menghancurkan musuh.

"Karena bagi raja, mereka akan mendapatkan kekuatan dan energi yang melekat dalam kerajaan untuk menjadi raja dunia," tulis Hariani.

Di Muarakaman ditemukan arca Wisnu dari emas. Di Cibuaya, Jawa Barat, ada dua arca Wisnu. Frgamen arca Wisnu juga ditemukan di Kota Kapur, Bangka.

"Membawa saya pada asumsi bahwa agama Weda awal di Nusantara memilih Wisnu untuk ibadah khusus," tulis Hariani.

Selain Wisnu, dewa penting lain adalah Agni yang disebutkan dalam Prasasti Yupa. Dalam Prasasti Dinoyo disebut Putikesvara atau api suci yang menyala ke segala arah.

Namun, Dewa Wisnu tidak disebutkan dalam Prasasti Dinoyo karena agama Gajayana adalah Hindu (Siwaisme). Ia mungkin menyembah Agastya, karena sang rsi adalah murid Siwa dan dianggap sebagai mediator antara manusia dan Dewa Siwa. Kemungkinan lain adalah Agastya dikenal sebagai yang dipuja dalam himne Rgveda.

"Kita dapat menyimpulkan bahwa agama Weda merupakan agama India pertama yang dianut oleh para penguasa di Nusantara," tulis Hariani.

TAG

kurban

ARTIKEL TERKAIT

Ken Angrok dan Tradisi Kurban di Nusantara Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Menapak Tilas Ken Angrok Ratu Kalinyamat Menjadi Pahlawan Nasional Zhagung dan Tikus versi Pram versus Karmawibhangga Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air Candi Singhasari dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Perjalanan Arca Candi Singhasari Kembali ke Indonesia Menyita Harta Pejabat Kaya Raya