Masuk Daftar
My Getplus

Wisata Ziarah dan Akulturasi

Keluarga Smutzer asal Belanda tak hanya mencari untung di bumi Jawa. Mereka juga menebalkan keimanan, humanisme, dan penghargaan terhadap khasanah lokal.

Oleh: Jeanny Hardono | 16 Mar 2010

SETELAH melewati pepohonan di kiri-kanan jalan, sawah, dan ladang tebu, sampailah saya di kompleks gereja dan candi di Ganjuran, Bantul. Celoteh burung menyambut di pintu masuk. Kompleks ini lengkap. Ada gereja, rumah sakit, biara, panti asuhan, sekolah, dan sebuah candi yang mengesankan: Candi Hati Kudus Yesus.

Angin pagi semilir menemani,saat memasuki kompleks peninggalan Joseph dan Julius Smutzer, dua bersaudara Belanda pendiri gereja Ganjuran pada 1924. Mereka memulainya dari membangun pabrik gula Gondang Lipuro pada 1912. Ini satu-satunya pabrik gula yang emoh ikut dalam Sindikasi Gula Hindia Belanda. Pabrik ini relatif stabil, bahkan bisa bertahan dari krisis moneter Black Friday 1929, yang melanda Amerika dan Eropa serta merebak ke dunia. Smutzer bersaudara bahkan membangun sekitar 12 sekolah rakyat, sekolah asrama putri Stella Duce, rumah sakit, hingga irigasi dari Sungai Progo –sala satunya yang masih berdiri adalah RS Panti Rapih.

Sukses dengan pabriknya, Smutzer ingin membangun sebuah gereja yang menyatu erat dengan budaya setempat. Namun cita-citanya kandas. Izin dari Vatikan tak keluar. Ia hanya boleh mendirikan candi, patung, dan altar. Maka, pada 16 April 1924, bedirilah gereja khas desain Barat dengan altar dan patung-patung bernuansa kental Jawa. Ganjuran adalah pioner akulturasi gereja.

Advertising
Advertising

Setelah gereja berdiri, Smutzer ingin melengkapinya dengan sebuah monumen. Dia mendiskusikannya dengan pastor Belanda van Driessche SJ, yang memimpin gereja Ganjuran (1924-1934). Hasilnya: sebuah bangunan unik yang menyatu dengan budaya setempat, Candi Hati Kudus Yesus, yang dibangun pada 1927. Peresmian candi dilakukan tiga tahun kemudian pada 11 Februari 1930. Harapannya, candi ini akan memberi kebaikan dan mukjizat di Jawa seperti tempat suci di Lourdes di Eropa. Pastor van Driessche memimpin doa dalam bahasa Jawa yang khidmat: “… Soemangga Goesti, karsa ngloentoeraken goenging sih Dalem dateng kawoela Dalem ingkang sami man toewin ingkang taksih kapir, ingkang saestoe sanoeswa Djawi bade ngempal dados sakandang, soeka goemjah ngloehoeraken ing Sampejan Dalem Maha-Praboe Jesoes Kristoes, Pangeran para bangsa, widada mangreh Misi Djawi ing salami-lamanipen. Amin,” tulis majalah Katolik berbahasa Jawa Swara Tama, 1930.

Saya melangkah ke areal candi. Halamannya luas, berlapis batu-tempel, rindang oleh pepohonan. Saya memasuki candi dari bebatuan keramat Gunung Merapi itu. Satu, dua,… hingga anak tangga kesembilan, simbolisasi “nutupi babahan hawa sanga”. Saya merasakan lembab air hujan pada batu bercampur kehangatan matahari pagi. Lalu, sesampai di atas, saya bersimpuh di hadapannya.

Saya tercenung memandang sosok Yesus yang kukenal dalam wujud yang terasa asing. Raja Yesus Jawa duduk gagah di singgasana, menghadap ke arah penguasa laut selatan. Yesus mengenakan mahkota dan busana kebesaran raja Jawa. Tangan kirinya menyibak pakaian depannya dan tangan kanannya menunjukkan ke arah hatinya yang bersinar. Lampu-lampu kecil yang mengelilinginya terus menyala. Di atasnya tertulis aksara Jawa yang artinya “Sampeyan Dalem Maha Prabu Yesus Kristus Pangeraning Bangsa”...

Kurapatkan jemari, lalu berdoa. Mata saya tertumbuk pada secarik kertas berisi petunjuk doa, yang tergeletak di antara serakan kuntum melati segar dan layu di ujung kakinya. Aroma sakral kian mengental.

Sudah dua kali kompleks ini luput dari musibah. Pertama dari politik bumi hangus Belanda, yang membombardir Ganjuran, Bantul.  Pabrik gulanya hancur dalam lautan api. Candi aman-aman saja, meski jaraknya hanya belasan meter. Pada 2006, gempa bumi hebat yang melanda Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sekitarnya hanya meruntuhkan Gereja Ganjuran. Candi, pastoran, pendapa, dan bangunan-bangunan pendukung lainnya tetap tegak berdiri.

Pada 1990, Gereja Katolik ingin menggali dan mengembangkan nilai-nilai budaya Jawa dalam nuansa religius. Mereka menemukan sumber mata air besar di bawah candi pada 1998. Kini, banyak peziarah datang dari wilayah setempat maupun seantero tanah air –beberapa di antaranya berharap berkah kesembuhan dari mata air itu.

Jika Anda tertarik, perjalanan menuju lokasi tidaklah sulit. Anda bisa berangkat dari Yogyakarta. Jaraknya hanya 17 kilometer ke selatan, menyusuri jalan Yogyakarta-Bantul. Kalau menggunakan angkutan umum, Anda tinggal meneruskan perjalanan dengan becak.

Smutzer sudah meninggalkan jejak akulturasi, yang menanggalkan aspek agama atau ras, demi kemanusiaan dan kasih pada sesama. Pada skala nasional, keluarga Smutzer juga berperan melestarikan primata asli Indonesia dari kepunahan. Pusat primata di Ragunan, Jakarta, pun dinamakan Pusat Primata Smutzer untuk menghormati jasa-jasa keluarga Smutzer. 

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Duka Atim dan Piati Picu Kemarahan PKI Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia Runtuhnya Kesultanan Banten