Masuk Daftar
My Getplus

Vanessa Redgrave, Aktris Peraih Oscar yang Membela Palestina

Vanessa Redgrave membuat film dokumenter tentang penderitaan pengungsi Palestina. Ketika menerima piala Oscar, dalam pidatonya aktris Inggris ini menyebut “penjahat Zionis”.

Oleh: Amanda Rachmadita | 25 Nov 2023
Vanessa Redgrave bersama anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Lebanon selatan tahun 1977. (theredgravearchive.tumblr.com).

FILM Julia (1977) tak hanya mengantarkan Vanessa Redgrave meraih piala Oscar kategori aktris pendukung terbaik tahun 1978, tetapi juga membuatnya semakin disorot karena komitmen terhadap perdamaian dan penolakan terhadap perang. Film yang disutradarai oleh Fred Zinnemann ini berkisah tentang kehidupan dan kematian Julia, seorang antifasis yang gigih dan heroik. Vanessa beradu peran dengan Jane Fonda sebagai Lillian Hellman, kawan Julia. Film ini merupakan kisah petualangan berlatar tahun 1934, ketika Lillian diminta menyelundupkan uang ke Jerman, di mana tim perlawanan Julia bekerja untuk membebaskan mereka yang ditawan fasis.

Seperti halnya Julia, Vanessa pun antifasis di dunia nyata. Aktris kelahiran London, 30 Januari 1937 itu menentang imperialisme dan perang. Di masa-masa membangun karier di dunia teater, putri sulung aktor Michael Redgrave itu kerap ambil bagian dalam aksi menentang perang.

Donald Spoto, penulis biografi selebritas film dan teater, mencatat dalam The Redgraves: A Family Epic, pada 1950-an, Vanessa bergabung dengan Bertrand Russell dan sejumlah tokoh dalam Komite 100, kelompok antiperang yang melakukan aksi pembangkangan sipil secara damai di Inggris. Komite ini melakukan demonstrasi duduk dan para peserta wajib menjauhkan diri dari kekerasan. “Kami meminta Anda untuk tidak meneriakkan slogan-slogan dan menghindari provokasi dalam bentuk apa pun. Demonstrasi harus dilakukan dengan tenang dan tertib,” demikian instruksi Komite.

Advertising
Advertising

Baca juga: Gaza dalam Lintasan Sejarah

Selain itu, Vanessa bergabung dengan penulis naskah Robert Bolt, Shelagh Delaney, John Osborne, dan Arnold Wesker dalam aksi pembangkangan sipil di Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Kementerian Pertahanan. Protes itu digelar sebagai respons atas rencana kedatangan kapal selam rudal balistik AS di Sungai Clyde. Vanessa juga ambil bagian dalam aksi protes menentang perang dan penimbunan nuklir yang dihadiri ribuan orang di London.

Pada 1976, Vanessa bertemu dengan pasangan Palestina dan beberapa temannya yang melarikan diri dari kamp pengungsi Lebanon, setelah milisi sayap kanan membunuh lebih dari 3.500 orang yang berani meninggalkan kamp untuk mencari air. Ia tergerak membuat film dokumenter tentang para pengungsi Palestina di sana.

Dalam Vanessa Redgrave: An Autobiography, aktris berkebangsaan Inggris itu mengenang perbincangannya dengan pasangan Palestina dan rekan mereka, seorang insiyur Palestina yang tinggal di Kuwait, saat membahas kondisi pengungsi Palestina di Lebanon.

“Kami berbicara tentang pengepungan kamp Palestina di Tal al-Zaatar, dan bagaimana para pemuda, wanita, dan anak-anak harus menghadapi ancaman tembakan dari penembak jitu ketika mereka menyeberangi tanah terbuka untuk mengisi kaleng-kaleng mereka dengan air dari satu-satunya pipa yang dapat dijangkau oleh kamp tersebut, dan bagaimana kengerian pengeboman yang terus-menerus, hari demi hari, bulan demi bulan. Pengepungan dimulai pada Januari 1976, dan setelah berbulan-bulan kekejamannya mulai menembus ketidakpedulian pers Eropa,” kata Vanessa.

Baca juga: Che Guevara dan Perlawanan di Gaza

Setelah proses syuting film Julia rampung, Vanessa menyusun rencana untuk syuting film dokumenter berjudul The Palestinian di Lebanon. Ia bertanya kepada para seniman Prancis mengenai kesediaan mereka ambil bagian dalam pembuatan film itu. Vanessa juga mengontak produser dan teknisi film di Italia. “Roy Battersby, yang telah menyutradarai banyak film layar lebar dan dokumenter yang luar biasa, setuju untuk menyutradarai dan membawa seorang juru kamera kelas satu, Ivan Strasberg, ke dalam proyek ini,” kata Vanessa.

Proses pembuatan film ini membutuhkan biaya tidak sedikit, namun Vanessa tidak ingin menunda proses syuting. Ia memutuskan menjual rumahnya di St. Peter’s Square dan pindah ke rumah yang jauh lebih kecil di Ravenscourt Road, London.

Setelah berhasil mendapatkan dana, Vanessa berangkat ke Lebanon pada 1977. Ia bertemu sekelompok wanita dari General Union of Palestinian Women (GUPW), perwakilan resmi perempuan Palestina dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Mereka juga menjadwalkan wawancara dengan Pierre Gemayel, tokoh penting tentara milisi Kristen Falangis, sekutu Israel. Selanjutnya mereka berkendara ke zona timur Beirut yang dikuasai Falangis.

“Kami membuat film di sana selama sekitar satu jam, perlahan-lahan menggeser kamera melintasi balok-balok batu bata yang hancur, sisa-sisa masjid, besi-besi yang bengkok, dan pipa-pipa air yang rusak,” kenang Vanessa.

Baca juga: Dardanella Jadi Saksi Konflik Yahudi-Arab di Palestina

Selama beberapa hari di Lebanon, Vanessa mengunjungi kamp pengungsian Palestina dan bertemu sejumlah tokoh di antaranya Abu Jaffar, salah satu pembela Tal al-Zaatar. Ia juga bertemu dr. Youssef dan dr. Labadi, yang mengelola rumah sakit di Tal al-Zaatar selama pengepungan enam bulan, dan melatih tim perawat untuk merawat enam ribu korban.

Saat pergi ke selatan menuju Sidon, Vanessa bertemu komandan angkatan bersenjata gabungan Palestina dan Lebanon di wilayah selatan. Ia juga bertemu para pemimpin serikat nelayan Lebanon, kawan orang-orang Palestina.

Saat mengunjungi kamp-kamp pengungsian, Vanessa berinteraksi dengan anak-anak Palestina yang tergabung dalam organisasi pemuda Cubs and the Flowers. Di akhir pekan, mereka mempelajari sejarah Palestina, menyanyikan lagu-lagu Palestina, dan mempelajari tarian-tarian kuno atau membuat sketsa, dan belajar menyulam. Mereka juga belajar menembak agar bisa mempertahankan kamp dari serangan. Mereka berharap dapat ambil bagian dalam perjuangan angkatan bersenjata untuk membebaskan negara, dan kembali ke rumah orang tua dan kakek-nenek di Palestina.

Baca juga: Pasang Surut Hubungan Lebanon-Israel

Vanessa dan tim mengunjungi Taib dan Nabatiya, disambut beberapa keluarga Lebanon yang menunjukkan rumah-rumah hancur. Seorang warga berkisah dengan nada bergetar, “di sini, dua mil dari perbatasan antara Lebanon dan Israel, langit malam penuh dengan hujan merah pekat saat roket-roket menghujani desa-desa Lebanon. Setiap malam penembakan dimulai. Lusinan peluru 155 mm dan 175 mm melintasi perbatasan dari Israel. Pada malam hari, ketika kami pindah dari satu desa ke desa lain atau berlindung di bunker atau ruang bawah tanah, bumi berguncang dan bergemuruh.”

Selain mengunjungi kamp-kamp pengungsi Palestina, Vanessa juga mewawancarai pemimpin PLO Yasser Arafat. Meski terlihat lelah, tokoh pejuang Palestina itu berbicara dengan santai tetapi lugas. “Kami tidak menentang orang Yahudi. Kami menentang Zionisme. […] Kami mengatakan bahwa tujuan kami adalah mendirikan negara Palestina yang demokratis di mana umat Islam, Kristen, dan Yahudi dapat hidup bersama. Dan saya katakan sekarang, mereka berbicara tentang permukiman. Oke, saya katakan mengapa berbicara tentang permukiman? Mengapa tidak berbicara tentang hidup bersama, kita semua di tanah air ini? Saya menawarkan ini atas nama rakyat Palestina,” kata Arafat.

Baca juga: Soeharto, Yasser Arafat, dan Dukungan untuk Palestina

Vanessa kembali ke London pada Juni 1977. Film dokumenternya, The Palestinian ditayangkan dalam Festival Film London di South Bank pada November 1977. Film ini juga ditayangkan dalam rapat umum yang diselenggarakan Workers’ Revolutionary Party (WRP). Para anggota sarikat buruh, mahasiswa, dan kaum muda menyaksikan film ini.

Saat tur publisitas film Julia di Los Angeles, Chicago, dan New York pada 1978, Vanessa membawa kaset The Palestinian dan mengundang para pembuat film untuk hadir dalam pemutaran film secara pribadi. Ia juga membawa film itu ke sejumlah stasiun televisi, namun mereka tidak menayangkan film dokumenter tersebut karena dianggap “tidak objektif”.

Sebuah artikel tentang The Palestinian muncul di New York Post. Salah satu aktor yang diundang Vanessa dalam pemutaran film secara pribadi rupanya telah memberikan cerita mengenai film tersebut kepada Liz Smith, kolumnis surat kabar tersebut. Tak berselang lama, sejumlah pemberitaan lain pun bermunculan. Tak sedikit yang mengkritik Vanessa sebagai teroris dan penyebar anti-Semitisme karena filmnya dianggap menyudutkan Israel.

Baca juga: Mimpi Raja Faisal Memerdekakan Palestina dan Masjid Al-Aqsa

Donald Spoto menyebut sejak akhir 1977, Jewish Defense League meluncurkan kampanye melawan Vanessa di Amerika Serikat. Terutama pada awal 1978 setelah Academy of Motion Picture Arts and Sciences mengumumkan Vanessa sebagai kandidat aktris pendukung terbaik Oscar untuk perannya dalam film Julia.

Beberapa kawan Vanessa mengatakan ia tidak mungkin memenangkan Oscar karena kampanye pers yang menentang dirinya. Selain itu, sehari sebelum acara penghargaan bergengsi itu digelar, Howard Koch, ketua Komite Academy Awards, mendesak Vanessa untuk tidak mengucapkan lebih dari “terima kasih” jika ia memenangkan Oscar. Puncaknya, ketika Vanessa berkendara menuju Dorothy Chandler Pavilion untuk menghadiri acara Academy Awards ke-50, terdapat kerumunan massa yang berdesakkan di belakang pembatas polisi.

“Di seberang teater, beberapa ratus orang Arab-Amerika berdiri sambil mengibarkan bendera Palestina berwarna merah, hijau, putih, dan hitam. Sementara di trotoar lain, sekitar dua puluh anggota Jewish Defense League membakar patung saya. ‘Pelacur Arafat’, demikian mereka menyebutnya, sambil menari-nari dan berteriak-teriak di sekitar kobaran api yang membara,” kata Vanessa.

Baca juga: Oslo dan Perdamaian Israel-Palestina

Kritik dan cemoohan tak menggentarkan keberanian Vanessa. Saat namanya disebut John Travolta sebagai peraih piala Oscar, Vanessa naik ke atas panggung dan menyampaikan pidato. Kalimat “penjahat Zionis” yang diucapkan Vanessa sontak disambut riuh oleh para hadirin. Tepuk tangan terdengar meriah, tetapi banyak pula yang meneriakan protes dan cemoohan kepadanya. “Ketika saya menyebut ‘penjahat Zionis’, yang saya maksudkan tentu saja adalah Jewish Defense League. Dan ancaman kematian yang mereka tujukan kepada saya,” kata Vanessa.

Keberanian Vanessa dalam menyuarakan kondisi pengungsi Palestina tak hanya mendapat dukungan dari sejumlah pihak. Ia juga menjadi bulan-bulanan media yang menggambarkannya sebagai seorang anti-Semitisme. Vanessa masuk dalam daftar hitam. Hollywood berpaling dari dirinya. Pengucilan meluas ke dunia teater dan konser.

Spoto menyebut pada 1982, saat Boston Symphony Orchestra (BSO) mengumumkan Vanessa akan ambil bagian dalam acara mereka, gelombang protes pun bermunculan hingga akhirnya BSO membatalkan produksinya. Hingga musim semi tahun 2004, Vanessa masih menjadi korban dari wabah histeria, tetapi ia tidak menyesali apa pun yang dilakukan dan dikatakannya untuk menyuarakan dukungan bagi pengungsi Palestina. Seperti yang dikatakan dalam pidatonya di Academy Awards ke-50, ia berjanji untuk terus melawan anti-Semitisme dan fasisme.*

TAG

film palestina

ARTIKEL TERKAIT

Selintas Hubungan Iran dan Israel Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Tepung Seharga Nyawa Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Seputar Deklarasi Balfour Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina