KABAR mengenai kedatangan Yasser Arafat ke Jakarta pada 25 Juli 1984 menarik perhatian publik Indonesia. Dalam kunjungan selama dua hari, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) tersebut tak hanya bertemu Presiden Soeharto. Ia juga akan melakukan pertemuan dengan para duta besar negara-negara Arab untuk Indonesia.
Mengutip News on Indonesia, Agustus 1984, setibanya di Jakarta, Yasser Arafat disambut Menteri Luar Negeri Mochtar Kusuma Atmadja, Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam, serta para duta besar Timur Tengah dan negara-negara sahabat. Karpet merah juga disiapkan untuk menyambut tokoh pejuang Palestina tersebut. Pengamanan ketat terlihat di sekitar area penyambutan. Lebih dari 50 wartawan yang meliput hanya diperbolehkan berdiri sekitar 20 meter dari jalan masuk.
Baca juga: Sumbangsih Pertama Indonesia untuk Palestina
Setelah berbincang sejenak dengan menteri-menteri dan para duta besar yang menyambutnya, Arafat bersiap untuk bertemu Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta. Para pengamat memandang kunjungan Arafat sebagai tanda posisi Arafat semakin kuat setelah adanya kesepakatan di antara para pejuang Palestina untuk mendukung kepemimpinan kolektifnya. Selain itu, ia juga telah menyatakan keinginannya untuk mengunjungi Indonesia.
Soeharto menyambut Arafat di Istana Merdeka pada Rabu (25/7) malam. Keduanya berbincang mengenai banyak hal, khususnya mengenai perjuangan rakyat Palestina. Soeharto mengatakan bahwa Indonesia akan tetap membantu perjuangan rakyat Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya karena ini merupakan hal yang prinsipil secara politis sesuai Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut akademisi dan cendekiawan muslim, Azyumardi Azra dalam Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context, untuk menghormati kebijakan Indonesia terhadap Palestina, Arafat cukup berhati-hati untuk menekankan bahwa organisasinya bukanlah gerakan Islam tetapi memiliki komposisi agama yang pluralis. Dalam pertemuan tersebut, pemerintahan Soeharto menjanjikan PLO untuk mendirikan biro di Jakarta. Namun, janji itu tidak kunjung dipenuhi karena Indonesia khawatir jika PLO memiliki kantor di Jakarta. Indonesia hanya bersedia memberikan dukungan diplomatik kepada PLO di PBB.
Oleh karena itu, izin mendirikan kedutaan besar Palestina di Indonesia baru muncul bertahun-tahun kemudian. Hal ini berkaitan dengan sikap hati-hati yang diambil pemerintah Indonesia. “Tidak mengherankan jika Zuhdi Labib Tarzi, duta besar Palestina untuk PBB, mengangkat isu ini sekali lagi ketika ia mengunjungi Indonesia pada 27 Januari 1989. Ia berharap dalam waktu dekat, pemerintah Indonesia akan memberikan persetujuannya untuk membuka kedutaan besar Palestina di Jakarta. Namun demikian, butuh waktu dua tahun (hingga 1991) sebelum kedutaan besar Palestina dibuka di Jakarta,” tulis Azra.
Baca juga: Dukungan Sukarno Kepada Palestina
Yasser Arafat kembali berkunjung ke Indonesia untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi ke-10 Gerakan Non-Blok (GNB) pada 1–6 September 1992. Presiden Soeharto menyambut Arafat di Bandara Halim Perdanakusuma. Dalam kesempatan ini, Soeharto sekali lagi mengutarakan perhatiannya atas apa yang tengah terjadi di Timur Tengah, khususnya perjuangan Palestina di bawah kepemimpinan PLO dalam mewujudkan negara yang merdeka dan berdaulat di tanah airnya sendiri.
“GNB harus tetap gigih mendesak penyelesaian masalah Palestina serta konflik Arab-Israel secara adil dan menyeluruh berdasarkan legalitas internasional dari resolusi-resolusi PBB. Termasuk di dalamnya resolusi DK-PBB No. 242, 338 dan 425, yang menghendaki penarikan mundur Israel dari seluruh wilayah Palestina dan Arab yang didudukinya, termasuk Al-Qus Al Sharif, Golan Syria dan Lebanon Selatan,” kata Soeharto dikutip majalah Dharmasena No. 09, September 1992.
Pada Sabtu, 5 September 1992, Soeharto memimpin delegasi peserta KTT ke-10 GNB berkunjung ke Bandung untuk mengenang Konferensi Asia Afrika pada 1955 yang menjadi “ibu kandung” GNB. Sesampainya di Bandung, para delegasi mengunjungi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dan diterima Direktur IPTN sekaligus Menristek B.J. Habibie.
“Kepada Presiden Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad, Menristek menjelaskan kecanggihan pesawat terbang buatan IPTN, yang bisa digunakan sebagai pesawat militer, komersial ataupun pesawat kargo,” tulis Dharmasena.
Dari IPTN, para delegasi menuju Hotel Savoy Homann. Arafat selalu dekat dengan Soeharto seperti saat santap siang. “Nampak Presiden Soeharto duduk satu meja dengan pemimpin Palestina Yasser Arafat,” tulis Dharmasena. Dari Hotel Savoy Homann, para delegasi berjalan menuju Gedung Merdeka, tempat penyelenggaraan KAA. Dalam acara “Bandung Walk” itu Arafat berjalan di samping Soeharto.
Baca juga: Indonesia Dukung Palestina dengan Prangko
Setahun berselang, Israel dan Palestina menandatangani pakta perdamaian pada September 1993. Azra menyebut dukungan Indonesia terhadap inisiatif perdamaian kembali disuarakan oleh Presiden Soeharto. Pada 24 September 1993, Yasser Arafat didampingi istrinya, Suha Arafat, dan delegasi, tiba di Jakarta dari Beijing, untuk kunjungan satu hari. Dalam pertemuan dengan Arafat, Soeharto selaku ketua GNB menyambut baik kesepakatan perdamaian tersebut.
“Soeharto berharap hal ini menjadi langkah awal menuju penyelesaian permasalahan Timur Tengah secara komprehensif, khususnya melalui pembentukan negara berdaulat bagi rakyat Palestina di tanah airnya sendiri. Lebih lanjut, presiden menyampaikan bahwa Indonesia siap memberikan dukungan nyata terhadap perjuangan rakyat Palestina untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut,” tulis Azra.*