Dunia kembali berduka. Selasa (4/8/2020), ledakan besar mengguncang Beirut, Lebanon. Bak bom atom, ledakan itu memporak-porandakan sebagian besar kota. Bangunan-bangunan di sekitar pelabuhan pun hampir seluruhnya rata dengan tanah. Dilansir CNBC, setidaknya ada 70 orang tewas, dan ribuan orang yang terluka.
Diutarakan Kepala Keamanan Abbas Ibrahim, ledakan itu terjadi di area pelabuhan, tempat menyimpan bahan peledak hasil sitaan pemerintah Lebanon bertahun-tahun lalu. Diketahui, di gudang penyimpanan itu juga terdapat 2.750 ton amonium nitrat, bahan mudah terbakar untuk kebutuhan pupuk dan peledak.
Perdana Menteri Hassan Diab segera mengeluarkan perintah darurat nasional. Dia bersumpah akan mengusut tuntas kasus ledakan itu dan meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat. PM Diab juga meminta dunia internasional membantu pemulihan pasca bencana untuk Lebanon.
Baca juga: Kisah Bom Atom Buatan Indonesia
“Saya mengirim permohonan mendesak ke semua negara yang berteman dan bersaudara dan mencintai Lebanon, untuk berdiri di sisi kami dan membantu kami, mengobati luka yang dalam ini,” ucap dia.
Banyak negara mulai memberikan bantuan kepada Lebanon. Dari sekian banyak negara, penawaran bantuan dari Israel lah yang cukup disorot publik. Seperti diketahui, hubungan Lebanon-Israel tidak cukup baik. Keduanya sering terlibat konflik di daerah perbatasan. Bahkan beberapa pekan terakhir, ketegangan kedua negara dari bangsa Kanaan itu sedang memuncak setelah Israel menuduh adanya upaya serangan teroris dari Lebanon.
Diberitakan Kompas, meski terjadi ketegangan, melalui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, pihak Israel telah mengontak utusan PBB Timur Tengah Nickolay Mladenov terkait pemberian bantuan untuk Beirut. Tawaran bantuan itu dapat disalurkan melalui perantara internasional berupa bantuan medis, bantuan kemanusiaan, dan bantuan kegawatdaruratan.
Baca juga: Penyintas Bom Atom Hiroshima dari Indonesia
“Kami berbagi kepedihan dengan rakyat Lebanon dan dengan tulus menawarkan bantuan kami pada saat yang sulit ini,” kata Presiden Israel Reuven Rivlin.
Lantas bagaimana sebenarnya hubungan Lebanon-Israel di masa lalu?
Hubungan Awal
Hubungan Lebanon-Israel tidak pernah baik-baik saja. Keduanya kerap terlibat pergolakan bersenjata, terutama setelah terlibat perang. Tetapi di antara negara liga Arab lain, Lebanon menjadi yang pertama menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Israel. Bahkan Lebanon tidak ambil bagian dalam perang tahun 1967 dan 1973. Sampai wilayah yang disebut Switzerland of the East itu dianggap sebagai yang paling tenang.
Dicatat Kristen E. Schulze dalam Israel’s Covert Diplomacy in Lebanon, sepanjang tahun 1950-an Lebanon banyak terlibat kerja sama dengan Israel. Di saat banyak negara Arab berkonflik dengan Israel, Lebanon disebut sebagai sekutu terdekat. Banyak juga negara yang menyebutnya sebagai pendukung Israel. Lebanon pernah juga memberi dukungan militer untuk menghentikan konflik di Suriah.
Baca juga: Israel Akui Kedaulatan Indonesia
Dampak hubungan itu membuat pertumbuhan orang-orang Yahudi di Lebanon cukup pesat terjadi. Mereka menempati beberapa wilayah di Lebanon. Tercatat juga, rute penerbangan langsung yang menghubungkan Beirut di Lebanon dan Yerusalem di Israel pernah dibuat.
“Meskipun banyak dari laporan ini masuk ke dalam kategori konspirasi tradisonal, tapi beberapa pernyataan nyaris mengungkap kebenaran,” ujar Schulze.
Konflik Palestina
Sejak Israel mengumumkan pendirian negara merdeka tahun 1948, gejolak konflik di Timur Tengah seakan tidak pernah berhenti. Dimulainya perang Arab-Israel tahun tersebut, membuat negara-negara di sekitarnya mau tidak mau ikut terlibat. Lebanon, sebagai salah satu negara terdekat, mendapat dampak konflik itu.
“Lebanon selalu menarik perhatian negara-negara besar di kawasan Timur Tengah. Negeri itu sudah lama menjadi barometer konflik antara Israel dan negara-negara Arab yang tak kunjung usai. Bahkan wilayah Lebanon Selatan dapat disebut sebagai medan terbuka untuk memulai konflik antara Israel dan negara-negara Arab, yang sampai saat ini masih belangsung secara diam-diam,” tulis Ari Yulianto dalam Lebanon: Pra dan Pasca Perang 34 Hari Israel vs Hizbullah.
Baca juga: Israel Nyaris Tenggelamkan Kapal Angkatan Laut AS
Wilayah Palestina yang terus tergerus oleh keberadaan Israel, memaksa penduduknya pergi mencari tempat perlindungan aman. Ratusan ribu dari mereka memilih pergi ke Lebanon, membentuk komunitas baru di wilayah perbatasan sebelah selatan. Data PBB menunjukkan lebih dari 300.000 warga Palestina di Lebanon, menumbuhkan generasi Palestina baru di Lebanon. Dan di sana jugalah dibentuk barisan perlawanan terhadap pasukan Israel.
Konflik terbuka, dipercaya sebagai yang pertama, antara Lebanon dan Israel terjadi pada 1978. Dijelaskan Ehud Yaari dalam Israel’s Lebanon War, gerakan pembebasan Palestina di Lebanon, PLO (Palestine Liberation Organization) kerap meluncurkan roket ke wilayah sipil Israel dari wilayah Lebanon. Sebagai tindakan balasan, Israel melancarkan operasi militer besar pada Maret 1978.
Diceritakan Nino Oktorino dalam Konflik Bersenjata: Korps Lapis Baja Israel, operasi militer Israel itu berlangsung selama tujuh hari. Dikenal juga sebagai operasi terbesar sejak Perang Yom Kippur. Sekira 7.000 orang prajurit yang didukung kendaraan lapis baja, dan persenjataan lengkap pergi menyerbu wilayah selatan Lebanon.
“Operasi menyebabkan puluhan pejuang PLO tewas atau ditangkap, dan sebuah jalur selebar 10 km di wilayah sepanjang perbatasan diduduki pasukan Israel. Semua instalasi PLO dihancurkan secara sistematis,” ungkap Nino.
Baca juga: Nestapa Yahudi Afrika demi Tanah yang Dijanjikan
Lelah dengan konflik di negaranya, pemerintah Lebanon meminta Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 425. Mereka mendesak pasukan Israel agar keluar dari wilayah Lebanon. Demi membantu mengamankan keadaan, PBB membentuk badan pengawas pelaksanaan resolusi tersebut, yakni UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon). Namun meski setuju untuk keluar dari Lebanon, Israel tidak sepenuhnya percaya UNIFIL dapat mencegah PLO menyerang wilayah utara Israel. Maka zona keamanan milik Israel dibentuk, dengan Sa’ad Haddad sebagai pemimpinnya.
Semakin lama konflik antara pejuang Palestina dan Israel berkembang menjadi lebih masif. Israel terus menargetkan daerah-daerah di Lebanon, yang mereka percaya terdapat PLO di dalamnya. Bahkan pada 1982, Israel kembali melancarkan operasi besar, dinamai Operation Peace for Galilee, ke wilayah Lebanon. Operasi itu dilancarkan menyusul serangan roket PLO ke daerah Galilee di utara Israel.
Baca juga: Anti Serangan Rudal Israel dalam Pesawat Kepresidenan
Thomas Davis dalam 40 km Into Lebanon: Israel’s 1982 Invasion, mencatat operasi Israel itu memakan korban jiwa yang sangat besar, bahkan di Beirut saja tercatat ratusan jiwa dari kalangan sipil tewas. Tujuan operasi Galilee itu, selain menghancurkan PLO, memperluas wilayah Israel sebanyak 40 km ke arah Lebanon. Sehingga Isreal mencatut wilayah selatan Lebanon.
Dari tahun ke tahun konflik di Lebanon hampir tidak ada habisnya. Serangan demi serangan terus dilancarkan kedua pihak. Tahun 2006 menjadi yang terbesar di abad ke-21. Kerusakan dan korban jiwa akibat perang sangat besar.
“Israel berdalih bahwa selama Lebanon menjadi basis perlawanan bagi orang-orang Palestina, perdamaian Timur Tengah tidak akan pernah tercapai. Israel ingin mengontrol upaya perlawanan kelompok gerilyawan garis keras dengan menginvasi Lebanon,” tulis Abdar Rahman Koya dalam Hizbullah: Menentang Zionisme.