Freemason telah hadir di Hindia Belanda sejak tahun 1760 dengan tercatatnya seorang anggota bernama J.L. van Schevichaven. Dua tahun kemudian, J.C.M. Radermacher, pegawai VOC, mendirikan loji pertama bernama La Choisie di Batavia. Ayahnya adalah Grand Master (Suhu Agung) Freemason pertama di Belanda pada 1730-an.
Loji La Choisie berumur pendek karena Radermacher kembali sementara ke Belanda pada 1764. Namun, loji-loji baru segera didirikan. Dalam perkembangannya, aktivitas Freemason untuk waktu yang lama tetap terbatas pada tiga pusat utama orang Eropa di Jawa, yaitu Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Baca juga: Radermacher, Pendiri Freemason di Hindia Belanda
Freemason tumbuh dengan cepat sekitar tahun 1870. Loji-loji didirikan di sebagian besar kota-kota di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Freemason juga menerima anggota dari orang Indonesia dan Tionghoa.
Dalam live instagram @historiadotid pada 21 April 2020, Sam Ardi, peneliti sejarah Freemason, mengungkapkan bahwa aktivitas Freemason dibagi dua, yaitu dalam loji dan luar loji. Aktivitas di dalam loji, setelah ritual, anggota akan mengemukakan pendapat dalam bentuk ceramah. Ceramah itu didengar dan didiskusikan oleh seluruh anggota untuk diberi masukan dan solusi.
Sedangkan aktivitas di luar loji, pada awalnya tidak banyak melakukan kegiatan sosial karena mayoritas dari mereka adalah serdadu. Baru pada periode kedua, mereka melakukan kegiatan sosial, di antaranya hampir di setiap loji membuka perpustakaan yang bisa diakses semua orang; mendirikan Frobel school (taman kanak-kanak) dan Neutral school, karena mereka ingin terpisah dengan sekolah keagamaan dan sekolah pemerintah; dan yang menarik mereka juga mendirikan bank pinjaman antirente karena konteks sosial saat itu rakyat kecil banyak yang terjerat pinjaman dengan bunga besar.
Baca juga: Benarkah R.A. Kartini Dipengaruhi Freemason?
Gerakan Freemason berjalan hingga akhir kolonialisme Belanda. Pemerintah pendudukan Jepang melarang dan menutup semua loji Freemason karena dianggap organisasi antek Belanda. Bahkan para anggota Freemason Belanda dipenjara, seperti di kamp Baros, Cimahi.
Setelah Indonesia merdeka, anggota Freemason tidak banyak melakukan kegiatan di tengah kecamuk perang kemerdekaan.
Menurut Paul W. van der Veur dalam Freemasonry in Indonesia From Radermacher to Soekanto, 1762-1961, pada 1949 Pengurus Besar Provinsial Freemason mengadopsi resolusi yang mendesak penerimaan sebanyak mungkin anggota Indonesia.
Perwakilan Pengurus Besar Provinsial kemudian mengadakan audiensi dengan Presiden Sukarno pada 3 Maret 1950. Mereka menjelaskan tentang Freemason dan aktivitasnya.
Baca juga: Multatuli dan Freemason
Berikutnya, pada 1952–1953, anggota Indonesia mendirikan tiga loji. Ketua dari loji-loji itu kemudian sepakat untuk mendirikan Loji Timur Agung Indonesia yang berpusat di Jakarta. Soemitro Kolopaking ditunjuk sebagai Suhu Agung. Pada 1959, ia digantikan Raden Said Soekanto Tjokroadiatmodjo, Kapolri pertama.
Namun, pada 27 Februari 1961, Presiden Sukarno menandatangani UU Komando Tinggi Militer yang melarang Freemason. Sukarno memperkuat pelarangan itu dengan Keputusan Presiden (Kepres) No. 264 Tahun 1962.
Selain Freemason, organisasi lain yang dilarang adalah Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians (AMORC), dan Baha’i. Organisasi-organisasi itu dianggap tidak sesuai dengan kepribadian nasional. Kepres itu dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan Kepres No. 69 tahun 2000 yang dikeluarkan pada 23 Mei 2000.
Baca juga: Gedung Bappenas Bekas Loji Freemason
Bagaimana kegiatan Freemason setelah dilarang Sukarno?
"Untuk melanjutkan kegiatannya," kata Sam Ardi, "anggota Loji Agung Indonesia bergabung dengan Co-Mason."
Sam Ardi yang meneliti sejarah Freemason lebih dari lima tahun rencananya akan menerbitkan buku pada 2009. Namun, ia tunda karena mendapatkan bukti baru mengenai eksistensi Co-Mason.
Baca juga: Akhir Riwayat Freemason di Indonesia
"Saya menemukan foto mengenai Co-Mason. Foto ini menggambarkan prosesi ritual mereka. Kalau kita lihat di foto ini, anggotanya ada pria dan wanita. Inilah yang disebut dengan Co-Mason yang mix, yaitu anggotanya laki-laki dan perempuan," kata Sam Ardi.
Sam Ardi juga kaget ternyata ada tokoh nasional yang bergabung dengan Co-Mason. Ia tak menyebut namanya hanya ciri-cirinya. "Pada peristiwa Agresi Militer Belanda, ia memainkan peranan yang sangat vital untuk bangsa Indonesia, pernah menjadi duta besar, dan seumur hidupnya –mohon maaf– tidak menikah," kata Sam Ardi.
Sam Ardi berharap tahun ini bukunya bisa terbit. Semoga saja sehingga kita tahu siapakah tokoh nasional itu.