Masuk Daftar
My Getplus

Multatuli dan Freemason

Multatuli tercatat sebagai anggota sebuah loji di Belanda. Penerbitan perdana Max Havelaar juga melibatkan Freemason.

Oleh: Andri Setiawan | 24 Apr 2020
Pematung Hans Bayens dengan desain patung Multatuli. (Wikimedia Commons).

Max Havelaar, karya sohor Multatuli alias Eduard Douwes Dekker, ditulis di sebuah kamar sempit di Kota Brussel, Belgia pada September hingga November 1859. Kekecewaan dan gugatannya pada ketidakadilan yang ia temui selama bertugas di Lebak, Banten pada 1856 ia curahkan dalam novel itu. Max Havelaar kemudian terbit pada 14 Mei 1860.

Terbitan perdana Max Havelaar ini ternyata tak lepas dari peran teman-teman Multatuli yang merupakan Freemason. Sementara itu, Multatuli sendiri juga tercatat sebagai seorang Freemason dari sebuah loji di Belanda. Sam Ardi, peneliti sejarah Freemason membenarkan hal ini.

“Eduard Douwes Dekker itu menjadi Freemason pada tahun 1854. Di loji Belanda, nama lojinya Concordia Vincit Animos. Jadi memang dia terverifikasi adalah anggota Freemason Belanda,” kata Ardi kepada Historia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Radermacher, Pendiri Freemason di Hindia Belanda

Bukti bahwa Multatuli adalah seorang Freemason, jelas Ardi, dapat diperoleh dari keterangan Grand Orient of the Netherlands, Loji Inggris United Grand Lodge of England, dan tulisan-tulisan para Freemason yang merujuk dan menyebutkan bahwa Multatuli adalah anggota loji.

Sebelum itu, menurut Dik van der Meulen dalam buku biografi Multatuli, Leven en werk van Eduard Douwes Dekker, Multatuli telah menjadi murid Freemason di loji Freemason Orde en Vlijt di Gorinchem, Belanda sejak April 1853.

Meulen menyebut bergabungnya Multatuli dengan Freemason tersebut mengikuti jejak ayah dan saudaranya Jan sekaligus memenuhi niat lamanya. Setahun kemudian, pada 1854, Multatuli diterima di loji Concordia Vincit Animos, Amsterdam.

Menurut Meulen, Multatuli mendapat banyak dukungan dari kalangan Freemason. “…meskipun selalu kurang dari yang ia harapkan. Freemason dikatakan sangat penting dalam publikasi Max Havelaar,” terang Muelen.

Baca juga: Akhir Riwayat Freemason di Indonesia

Ketika naskah Max Havelaar rampung Multatuli memberikan draf mentahnya kepada loji tempatnya bernaung itu dan meminta bantuan untuk menerbitkannya.

“Setelah dia memberikan draf dia meminta tanggapan dari anggota-anggota loji tersebut. Dan kalau bisa ada bantuan dalam bentuk finansial untuk mencetaknya,” jelas Ardi.

Namun saat itu, pihak loji menyarankan agar bantuan yang diberikan bukan atas nama loji. Mereka tak ingin Max Havelaar dianggap sebagai buku Freemason. Selain itu mereka juga khawatir akan timbul pertentangan besar karena Freemason memiliki prinsip anti-politik dalam arti tak boleh ada pembicaraan politik di dalam loji.

Loji Concordia Vinci Aminos kemudian menyilahkan para anggotanya untuk memberi bantuan atas nama pribadi. Maka Multatuli berkonsultasi dengan Freemason yang juga menjadi ketua loji W.J.C. van Hasselt. Setelah membacanya, van Hasselt meneruskan draf itu kepada Freemason lainnya yakni Jacob van Lennep.

Baca juga: Benarkah R.A. Kartini Dipengaruhi Freemason?

“Jadi kalau secara formil tidak ada campur tangan loji. Tapi kita tahu bahwa Van Hasselt dan Jacob adalah Freemason,” terang Ardi.

Ubaidillah Mochtar, Kepala Museum Multatuli mengatakan bahwa Multatuli memang meminta bantuan kepada van Hasselt dan van Lennep untuk menerbitkan Max Havelaar.

“Multatuli percaya kepada Lennep karena dianggap sebagai teman yang punya modal. Kemudian dia punya jaringan penerbitan di masa itu,” kata Ubaidillah kepada Historia.

Namun, penerbitan pertama Max Havelaar ternyata gagal menurut Multatuli sendiri. Van Lennep dianggap telah merusak novel itu dengan mengedit beberapa bagian dan menghapus nama-nama orang Belanda.

Selama sepuluh tahun, Max Havelaar dianggap ‘hilang’. Van Lennep sendiri pada akhirnya tidak membantu menyebarluaskan Max Havelaar karena dia sendiri justru menjualnya secara mahal supaya buku itu tidak dibaca secara luas.

Baca juga: Gedung Bappenas Bekas Loji Freemason

Multatuli menerima kembali hak cipta karyanya pada 1870. Meski demikian, sejak 1867 novel itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan meluas di negara-negara Eropa Timur.

“Jacob van Lennep sendiri tetap dianggap sebagai teman oleh Multatuli meskipun dia sempat kecewa,” sebut Ubaidillah.

Sementara itu hubungan Multatuli dengan kawan-kawan Freemason masih berlanjut. “Bahkan di hari-hari yang cemas setelah kembali ke Eropa, ketika kontak dengan hampir semua teman lamanya terputus, dia masih mengenal beberapa Mason: saudaranya Jan misalnya dan temannya di Maastricht, De Chateleux,” tulis Meulen.

TAG

multatuli freemason max havelaar

ARTIKEL TERKAIT

Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Multatuli dalam Bingkai Kritik Pascakolonial Membuka Mata dan Hati Setelah Multatuli Pergi Era Soekanto, Era Emas Kepolisian Indonesia Setelah Sukarno Melarang Freemason Benarkah R.A. Kartini Dipengaruhi Freemason? Akhir Riwayat Freemason di Indonesia Kapolri Pertama dan Freemason Radermacher, Pendiri Freemason di Hindia Belanda