Kehadiran Freemason di Indonesia sudah melewati jalan yang panjang sejak loji mason pertama didirikan di Batavia pada 1762. Perkembangannya makin pesat sejak 1870 ketika loji-loji bermunculan di pusat-pusat komunitas Eropa di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Namun, seabad kemudian senjakala Freemason di Indonesia tiba bersamaan dengan pendudukan Jepang.
Ketika Jepang mulai menancapkan kekuasaannya di Indonesia, semua loji Freemason ditutup. Indisch Maconneik Tijdchrift (IMT) yang rutin diterbitkan oleh kaum Mason juga dihentikan.
TH Stevens dalam Tarekat Mason Bebas di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 menyebut banyak anggota tarekat dipenjara dalam kamp-kamp interniran. Namun, beberapa anggota berhasil melakukan pertemuan-pertemuan rahasia di kamp. Yang menarik, ketika anggota meninggal di dalam kamp, mereka selalu mengusahakan pemakaman gaya Masonik.
“Bahkan sarung tangan putih diletakan di atas peti (ada seorang anggota yang kebetulan memilikinya), bersama sebuah jangka dan sebuah alat kayu pembuat sudut yang kasar yang dibuat di tempat itu. Mereka sendiri mengusung yang meninggal ke kuburan,” tulis Stevens.
Baca juga: Radermacher, Pendiri Freemason di Hindia Belanda
Pasca Proklamasi kemerdekaan dan Jepang hengkang dari Indonesia, kaum Mason mendapat sedikit angin segar. Pada 1 Juli 1946, redaksi IMT menerbitkan edisi pertama pasca perang. Di masa-masa tak menentu itu aktivitas kaum Mason mengalami pasang surut. Terlebih ketika agresi militer Belanda dilancarkan pada 1947 dan 1949.
Menurut Paul W. van der Veur dalam Freemasonry in Indonesia From Radermacher to Soekanto, 1762-1961, pada 1949 Pengurus Besar Provinsial Freemason mengadopsi resolusi yang mendesak penerimaan sebanyak mungkin anggota Indonesia. Mereka juga mendirikan loji-loji independen, dan penyatuan loji-loji tersebut di bawah Grand Orient yang independen.
Pada 3 Maret 1950, Komite Eksekutif mendapat kesempatan audiensi dengan Sukarno. Kala itu Sukarno menyampaikan bahwa ia telah banyak mendengar dan membaca tentang Ordo, meski banyak yang bernada negatif.
Baca juga: Gedung Bappenas Bekas Loji Freemason
Dalam pertemuan itu, Sukarno mengajukan beberapa pertanyaan seperti bagaimana kepercayaan kaum Mason, apakah ateis diterima dalam Ordo, tentang arti nama Freemason, hingga mengenai rumah setan yang sering disematkan pada loji-loji mereka.
“Selama sisa tahun 1950 dan sebagian besar tahun 1951, kemungkinan mendirikan loji-loji Indonesia secara aktif dipertimbangkan oleh anggota Indonesia dan mencapai puncaknya dalam sebuah pertemuan di Jakarta, dihadiri oleh sekitar 25 brothers Indonesia, pada 13 Desember 1951,” tulis Van der Veur.
Pada pertemuan tersebut, lingkaran Masonik Indonesia bernama Purwo duk Sino (Alpha dan Omega) didirikan. Mereka juga mengangkat S. Gondokoesoemo menjadi Suhu Ketua. Namun, Gondokoesoemo meninggal tiga bulan setelah itu. Posisinya digantikan oleh R.A.A. Soemitro Kolopaking Poerbonegoro, seorang Mason lama dari keluarga bupati lama di Banjarnegara.
Dalam rentang dua tahun antara 1952 sampai 1953, tiga loji Mason didirikan. Dharma (Tugas) di Bandung, Pamitrian (Persahabatan) di Surabaya, dan Bhakti (Layanan) di Semarang. Kemudian pada pertengahan 1954, ketua dari empat loji tersebut membentuk Loji Timur Agung Indonesia yang berpusat di Jakarta. Soemitro Kolopaking ditunjuk sebagai Suhu Agung Loji Timur Agung Indonesia.
Baca juga: Kapolri Soekanto dan Freemason
Kala itu, masalah politik dan ekonomi menjadi batu sandungan utama eksistensi mereka. Politik Indonesia yang anti-kolonial dan anti-Belanda tengah bergejolak. Sementara itu, Suhu Agung mereka dianggap pro-Belanda dan punya hubungan dekat dengan Belanda.
“Situasi seperti itu, tentu saja, tidak kondusif untuk mendapatkan anggota baru atau untuk pekerjaan Masonik yang aktif. Selain itu, dari seratus anggota, sekitar lima puluh adalah anggota loji Jakarta. Loji ini beruntung karena beberapa anggotanya berada dalam posisi berpengaruh,” tulis Van der Veur.
Salah satu orang berpengaruh saat itu adalah Raden Said Soekanto Tjokroadiatmodjo, Kepada Kepolisian Negara dan kemudian Menteri Kepolisian yang masuk ke dalam Tarekat pada 1954. Soekanto kemudian menjadi Suhu Ketua Purwa-Daksina dan Suhu Agung Loji Timur Agung Indonesia pada 1959.
Baca juga: Sukarno Dipengaruhi Freemason
Namun, Stevens menyebut fase terakhir Freemason di Indonesia telah terjadi dan langsung berhubungan dengan ketegangan-ketegangan yang memuncak pada 1950-an antara Indonesia dan Belanda. Tekanan terhadap Masonik dan merosotnya jumlah anggota mengakhiri eksistensi loji-loji mereka.
“Dengan semakin memburuknya hubungan politik, air pasang berbalik melawan Tarekat: semakin banyak anggota pulang ke Belanda, dan semakin sulit untuk melanjutkan kehidupan loji,” sebut Stevens.
Pada 27 Februari 1961, Presiden Sukarno menandatangani UU Komando Tinggi Militer yang melarang organisasi Freemason karena “memiliki dasar dan sumber yang berasal dari luar Indonesia dan tidak selaras dengan kepribadian nasional”.
Sejak itu, dua abad kiprah Freemason di Indonesia harus berakhir dan hanya meninggalkan gedung-gedung bekas loji mereka.