Pada zaman dahulu di Kerajaan Pajajaran pernah hidup Nyi Sombro. Ia adalah pembuat keris yang sakti. Konon saking saktinya Nyi Sombro mampu menciptakan keris sambil mengambang di atas Samudra. Ia hanya butuh alas kain jarik untuk membuatnya.
Katanya juga, saking saktinya, Mpu Sombro tak butuh perapian ketika membuat keris. Tak perlu pemukul juga. Ia cukup memijit bilah keris itu. Itulah kenapa keris hasil karyanya selalu berciri lekukan yang seolah bekas dipijat jari.
Begitulah cerita yang berkembang di masyarakat. Tak diketahui sumber asalnya.
“Sebagian besar sumber ceritanya dari cerita tradisi, walaupun ada yang kemudian ditulis,” kata Boedi Adhitya kepada Historia.id. Boedi adalah pemerhati keris dari Paheman Memetri Wesi Aji (Pametri Wiji), organisasi pecinta budaya keris yang didirikan di Yogyakarta.
Baca juga: Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air
Kesaktian Mpu Sombro itu tampaknya sampai juga kepada keris buatannya. Toni Junus, konsultan keris, dalam bukunya Tafsir Keris, menulis keris buatan Nyi Sombro dipercaya pula dapat membantu melancarkan proses kelahiran bayi. Kerisnya diyakini memiliki kekuatan gaib untuk membantu menyelesaikan berbagai persoalan rumit yang dialami dalam kehidupan.
Yang jelas, kata Boedhi, nama Mpu Sombro hingga kini diingat sebagai pembuat keris perempuan yang karyanya banyak diincar. Mpu Sombro menciptakan keris yang dikenal dengan nama keris Sombro. Dalam pemahaman umum, keris Sombro adalah keris lurus, berukuran relatif pendek, yaitu kurang dari sejengkal, dan bilahnya lebar. Keris ini memiliki gandhik yang polos, bagian dasar keris (ganja) dan bilahnya menyatu tanpa sambungan (ganja iras).
“Bilahnya tidak rata, tapi ada semacam cekungan-cekungan seperti bekas pijatan jari, yang dipercaya dibuatnya dengan pijatan tangan saja, tidak dipalu,” kata Boedhi.
Baca juga: Dhapur dan Penamaan Keris yang Berbeda Itu Biasa
Kendati begitu, Boedhi mengatakan, nama keris Sombro atau dhapur Sombro tak ditemukan dalam naskah-naskah lama. Nama ini hanya populer dalam dunia perdagangan keris. “Yang tercatat adalah mpu perempuan bernama Ni Mbok Sombro. Karenanya apa yang saat ini lazim disebut keris Sombro bisa jadi istilah yang belum terlalu lama dibuat,” ujarnya.
Boedhi menerangkan, dalam hikayat di dunia perkerisan, Mpu Sombro dikisahkan sebagai mpu yang berkarya di daerah Tuban. Kira-kira pada zaman Majapahit. Namun, ia dipercaya berasal dari wilayah Kerajaan Pajajaran. Ni Mbok Sombro atau Nyi Sombro adalah keturunan dari keluarga pembuat keris. Ayahnya bernama Mpu Manca.
Unggul Sudrajat, peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang, Kemendikbud, mengungkapkan keluarga Mpu Manca menjadi salah satu dari banyak mpu yang memilih pindah ke daerah lain di luar Jawa Barat. Mpu Mercukundo memilih pindah ke Sumatra. Mereka lalu mulai menyebarkan budaya keris di tempat yang baru.
Baca juga: Sebelum Keris Berfungsi Magis
“Mpu Manca memilih pindah ke daerah Tuban, Jawa Timur. Ia yang pada akhirnya banyak menurunkan mpu-mpu lainnya, khususnya di tanah Jawa,” tulis Unggul dalam “Keris Nusantara: Warisan Adiluhung Bangsa” termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan.
Tak banyak pembuat keris perempuan pada masa lalu yang tercatat. Selain Mpu Sombro, dikenal juga Mpu Anjani yang menghasilkan keris bernama blarak ijo. Selain itu, Mpu Omayi bersama suaminya, Mpu Maja, hidup pada masa sebelum Mpu Sombro. Menurut Prasida Wibawa dalam Pesona Tosan Aji mereka hidup pada zaman Segaluh Pajajaran.
Menurut Prasida, Mpu Anjani juga merupakan anak perempuan dari seorang mpu, bernama Bromokedhi. Mpu Anjani terkenal pada zaman pemerintahan Prabu Sri Pamekas dari Pajajaran.
Dalam cerita tradisi Babad Tanah Jawi disebutkan, Sri Pamekas berputra Arya Bangah dan Raden Sesuruh. Arya Bangah menjadi raja di Galuh. Sementara Raden Sesuruh awalnya diharapkan menjadi raja di Pajajaran, tetapi akhirnya mendirikan Kerajaan Majapahit.
Kendati begitu, kata Boedhi, Mpu Anjani dalam catatan tak begitu jelas apakah ia seorang perempuan atau lelaki. “Ni Mbok Sombro jelas disebut sebagai Ni Mbok, perempuan. Mungkin karena mpu ini (Anjani, red.) termasuk mpu kuno,” ujar Boedhi.
Maksudnya, mpu kuno adalah mpu yang dalam hikayat perkerisan hidup di masa legenda. Tak jelas betul kebenarannya. Ciri-ciri karyanya pun sudah tak dikenal lagi. Mereka juga biasanya dianggap sebagai pencipta dhapur tertentu.
Baca juga: Di Balik Mistik Keris
Sementara mpu dari generasi selanjutnya ciri karyanya secara tradisi masih tercatat. Kendati ada pula yang sulit untuk diidentifikasi. “Mpu yang lebih modern lazimnya tidak banyak mencipta dhapur baru, tetapi memiliki ciri-ciri khas tertentu dalam berkarya,” jelas Boedhi.
Biarpun tak banyak tercatat, pada dasarnya tak ada larangan bagi perempuan untuk menekuni profesi ini. Apalagi jika ia memang keturunan mpu pembuat keris.
“Jadi pada masa lalu, profesi mpu dilakukan turun-temurun. Keahlian menempa besi tidak mudah dipelajari, dan bahkan bersifat rahasia,” jelas Boedhi.
Keris untuk Perempuan
Begitu juga dengan pemakaian kerisnya. Tak selamanya keris identik dengan laki-laki. “Sebenarnya ada yang khusus perempuan. Biasa disebut patrem,” ujar Boedhi. Keris ini ukurannya lebih pendek. Ia hanya sepanjang kurang lebih sejengkal atau kurang.
Sementara menurut Prasida senjata tradisional tosan aji yang biasa dipakai perempuan namanya cundrik. Senjata ini berbentuk keris dengan ukuran lebih kecil dan ramping. Adapun warangka atau sarungnya menyerupai keris gayaman kecil.
“Ada juga senjata untuk perempuan yang disebut patrem, bentuknya lebih mungil dan sarungnya model sandang walikat,” jelasnya.
Kadang-kadang, Prasida melanjutkan, tusuk konde pun dapat juga terbuat dari tosan aji. Ini pun dapat berfungsi sebagai senjata.
Baca juga: Perempuan-Perempuan Bersenjata
Pada masa lalu catatan mengenai perempuan yang bersenjata banyak ditemukan. Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX menyebutkan seorang penyewa tanah kesultanan dari Prancis, Joseph Donatien Boutet pernah mengunjungi Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwono V (1820-1823).
Boutet memberi gambaran menarik tentang keberadaan Korps Srikandi Surakarta. Sebanyak 40 perempuan duduk berbaris di bawah takhta sunan. Mereka bersenjata lengkap, seperti berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di sana. Masing-masing juga memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil.
“Harus diakui mereka pasukan kawal yang mengagumkan,” catat Boutet yang dikutip Peter.
Kakawin Sumanasantaka yang ditulis oleh Mpu Monaguna dari sekira abad ke-13 juga mengisahkan pemakaian keris oleh para janda. Mereka menggunakan keris ini untuk bunuh diri atau bela pati. Keris dalam naskah ini disebut dengan istilah patrem.
Ceritanya, di Kerajaan Widarbha, ketika raja, ayah Putri Sri Indumati, mangkat, permaisurinya, ikut menyusul dengan melakukan bela pati.
“Kerismu (patrem) ini, Tuanku, akan kutikamkan pada tubuhku. Mari temui aku di perjalanan,” kata sang ratu.
Selain permaisuri, Jayaluh, abdi setia Putri Indumati, juga begitu sedih gustinya mangkat. Ia pun mengakhiri hidupnya mengikuti junjungannya itu.
“Lihat ini, putri, kris (patrem) ini, alat maut ini akan kupakai menikam diriku sekarang,” ujarnya.
Baca juga: Keris Sakti dan Pagebluk Corona
S. Supomo dalam Kakawin Sumanasantaka: Mati karena Bunga Sumanasa menjelaskan, dalam kakawin lain diketahui juga kalau para janda memakai beragam senjata untuk bunuh diri seperti khadga dalam Bharatayuddha dan Hariwangsa, curiga dalam Hariwangsa dan Sutasoma.
“Apa bedanya semua senjata itu, yaitu kata lain dari keris, tak jelas. Namun acuan dalam Hariwangsa mengisyaratkan khadga, curiga, dan patrem adalah sinonim,” jelas Supomo.
Pada masa perkembangan Hindu-Buddha, lewat adegan-adegan relief candi dijumpai pula tokoh perempuan yang memegang senjata tajam. Salah satunya arca Dewi Durga Mahisasuramardini yang bertangan 8 atau 10, pada salah satu tangannya memegang khadga (pedang pendek).
Uniknya, terdapat arca Druga Mahisasuramardini di Jombang Jawa Timur dan di Pura Penataran Panglan Pejeng, Gianyar, Bali yang salah satu tangannya memegang keris. Di Pura Penataran Panglan Pejeng, tangan kanan-tengah Durga memegang keris yang bentuknya berliku dengan tiga luk dan patah ujungnya.
Baca juga: Keris dalam Lukisan Rembrandt
Menurut Dewa Gede Yadhu Basudewa dari Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, dalam mitologinya tidak pernah disebutkan keris sebagai salah satu senjata yang diberikan dewa untuk Durga. Bisa jadi, si pemahat begitu percaya pada nilai magis keris, sehingga menjadikannya sebagai salah satu senjata Durga.
“Harapannya Durga sebagai dewi perang dapat lebih berhasil dalam menghancurkan musuhnya (asura), seperti makna simbolisnya sebagai penjaga, pelindung, dan kekuatan yang sempurna,” tulisnya dalam “Laksana Arca Durga Mahisasuramardhini di Bali: Sebuah Tinjauan Variasi dan Makna” termuat di Jurnal Siddhayatra.
Bagaimanapun dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara bukan hal aneh bila perempuan memegang senjata, khususnya keris, dan berperang. Bahkan menjadi pembuat keris yang sakti dan melegenda, seperti Nyi Sombro.
“Peran perempuan Nusantara memang secara tradisi sesungguhnya lebih berdaya,” ucap Boedhi.