Kamajaya dan Anjar Asmara, dua seniman Indonesia pra-kemerdekaan mengunjungi Bung Karno di Jakarta pada suatu hari di tahun 1942. Keduanya meminta bantuan Bung Karno untuk mendirikan sebuah organisasi yang menghimpun para seniman. Pasalnya, saat itu pemerintah Jepang melarang segala bentuk perkumpulan, baik politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Bung Karno ternyata setuju dengan upaya pembentukan Pusat Kesenian Indonesia. Ia bahkan bersedia memprakarsai pembentukannya. Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) pun segera berdiri.
“Prakarsa tersebut dicetuskan dalam pertemuan kaum seniman-seniwati, budayawan dan cendekiawan pada tanggal 6 Oktober 1942 di rumah Bung Karno, Oranye Boulevard No. 11 (sekarang Jalan Diponegoro), Jakarta. Acara tunggal ialah pembentukan ‘Pusat Kesenian Indonesia’,” tulis Kamajaya dalam Sejarah “Bagimu Neg’ri”.
Organisasi kesenian swasta ini berisi para seniman ternama pada masanya seperti S. Sudjojono, Basuki Abdullah, Kusbini, Ratna Asmara, R.Ng. Purbocaroko, hingga Ibu Sud.
Baca juga: Jejak Sutradara Kotot Sukardi
“BPKI ini diketuai Sanusi Pane dengan sekretarisnya Mr. Sumanang,” terang S. Sumardi dalam Sarijah Bintang Sudibyo (Ibu Sud), Karya dan Pengabdiannya.
Pada 8 Desember 1942, BPKI hendak menyelenggarakan pertunjukan di Gedung Komidi Jakarta. Pertunjukan berupa fragmen bertajuk “Lukisan Zaman” itu mengkolaborasikan tari-tarian dan musik yang dipimpin langsung oleh Anjar Asmara dan Kamajaya. Rencananya, fragmen pertunjukkan ingin menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia menuntut kemerdekaan sejak zaman raja-raja hingga kolonialisme.
Tari-tarian diciptakan oleh Ny. Sudjono, musiknya digubah oleh Kusbini, sedang dekorasinya oleh S. Sudjojono. Bung Karno menginginkan pertunjukan ini membutuhkan penari-penari dan gamelan dari Bali untuk menggambarkan episode kebesaran zaman raja-raja. Sayangnya, pada waktu itu membawa seniman-seniman Bali ke Jawa perizinannya begitu sulit.
“Mendatangkan seniman-seniwati dari Bali pada waktu itu ternyata tidak mudah, karena Bali berada di bawah pemerintahan Kaigun (Angkatan Laut), sedang Jawa dikuasai oleh Angkatan Darat,” jelas Kamajaya.
Baca juga: Ibu Sud Bahagiakan Anak Indonesia
Kamajaya kemudian ditugaskan oleh Bung Karno untuk menyelundupkan para seniman Bali menyeberang ke Jawa. Ia dibantu oleh seorang guru Taman Siswa Tedjakula Bali bernama Kotot Sukardi. Tak tanggung-tanggung, Kotot Sukardi berhasil membawa 45 seniman Bali beserta seperangkat gamelan lengkap ke Jakarta secara ilegal.
“Dengan demikian pertunjukan 8 Desember 1942 oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia di gedung Komidi Jakarta sepenuhnya dapat diselenggarakan menurut rencana dan berhasil amat memuaskan,” tulis Kamajaya.
Pertunjukan “Lukisan Zaman” ternyata menjadi pertunjukan pertama dan terakhir BPKI. Pemerintah Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidoso sebagai Badan Kebudayaan resmi.
Baca juga: Film Anak Riwayatmu Dulu
Para seniman Bali dan Kotot Sukardi yang tadinya hanya diminta menyelundupkan rombongan akhirnya menetap di Jakarta. Kotot belakangan menjadi menajer mereka dan menjajakan sandiwara keliling.
Pada 23 September 1944, Djawa Hoso Kanrikyoku (Biro Pengawas Siaran Jawa) dan Sendenbu (Departemen Propaganda) memberi kesempatan Kotot Sukardi dan tarian Bali tampil dalam “programa malam gembira” untuk menyambut “perkenanan kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari” di Shiritsu Gekijo (kini Gedung Kesenian Jakarta).
Belakangan, Kotot Sukardi juga bergabung dengan Djawa Engeki Kyōkai atau Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD) yang memproduksi sandiwara-sandiwara propaganda Jepang. Kotot menggubah beberapa naskah seperti Toeroet Sama Amat, Petjah Sebagai Ratna, Benteng Ngawi, dan Bende Mataram. Kelak ia juga menjadi sutradara kenamaan Indonesia yang mempelopori pembuatan film anak.
Baca juga:
Kisah selengkapnya Kotot Sukardi baca di Historia Premium: Pita Memori Kotot Sukardi