SORE 13 Juni 2024 silam, Pameran Arsip Toety Heraty bertajuk “Aku Dalam Budaya” dibuka di Galeri Cemara 6, Menteng, Jakarta. Hadir dalam pebukaan tersebut Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan juga para pegiat dan penikmat kebudayaan berbagai usia. Arsip-arsip tulisan dari Toety Heraty Noerhadi Roosseno dipamerkan dalam pameran arsip yang bertepatan dengan tiga tahun kepergian Toety Heraty, yang tutup usia pada 13 Juni 2021.
Seperti judul pamerannya, buku Aku Dalam Budaya menjadi sesuatu yang sangat ditonjolkan dalam pameran. Semasa hidup, Toety memang dekat dengan kebudayaan. Putri dari insinyur kenamaan Roosseno Soerjohadikoesoemo yang pernah menjadi menteri perhubungan ini mengalami sekolah di zaman perang. Dia masih SD ketika Perang Dunia berkecamuk. Dia belum lama masuk SMP ketika revolusi kemerdekaan pecah. Perang mulai reda ketika dia duduk di SMA.
Pertama kuliah, Toety mendalami kedokteran di Universitas Indonesia. Selama kuliah itu, dirinya sempat menjadi asisten botani dan fisiologi, dan pernah pula bekerja di Apotek Tunggal di bawah Rukmini Abidin. Alhasil, dalam sebulan dirinya bisa mendapat pemasukan Rp500, angka yang terlalu tinggi untuk seorang mahasiswi.
Kendati dokter adalah pekerjaan impian banyak orang, kedokteran ternyata bukan bidangnya. Bukan itu yang dicari Toety.
“Lalu tahun 1955 aku pindah studi psikologi di Amsterdam hingga sarjana muda,” aku Toety Heraty dalam Pencarian Hampir Selesai: Otobiografi Toety Heraty.
Di tahun ketiganya, Toety yang sudah menikah dengan ahli biologi lulusan Universitas Utrecht Eddi Noeradi pada 1959 dikaruniai sepasang putri kembar. Pada tahun yang sama, hubungan Indonesia-Belanda memburuk sehingga Toety harus pergi dari Amsterdam.
Sejak 1958 Toety tinggal di Bandung karena suaminya bekerja di Institut Teknologi Bandung. Toety sempat menjadi asisten dari Drs Wulur, namun kemudian cuti karena ingin merampungkan studi psikologinya di Jakarta sebagai sarjana penuh (Drs). Dia pun rela bolak-balik Bandung-Jakarta.
“Tahun 1961 aku membaca buku Simone de Beauvoir yang aku peroleh dari Siti Nuraini Jatim, mantan istri Asrul Sani, di rumah sakit tiga bulan setelah melahirkan anakku yang ke-4 dan menulis skripsi untuk gelar sarjana psikologi tentang The second sex,” aku Toety.
Toety berhasil lulus pada 1962. Pada tahun yang sama, dia menjadi dosen psikologi di Universitas Padjadjaran. Setelah mengajar empat tahun di Bandung, Toety kembali ke Jakarta.
Setelah hubungan Indonesia dengan Belanda membaik, pada 1971 Toety berusaha mendalami filsafat di Negeri Belanda. Pertengahan 1974 “pendalamannya” rampung. Hampir bersamaan, Universitas Indonesia membuka Jurusan Filsafat di Fakultas Ilmu Sastra. Toety kemudian ikut serta di dalamnya dan menjalani masa studi doktor filsafatnya hingga rampung di sana pada 1979. Aku Dalam Budaya adalah disertasi Toety Heraty yang membuatnya menjadi doktor filsafat perempuan pertama di Indonesia.
“Adapun filsafat itu titik tolaknya adalah ketakjuban manusia yang sedang bertanya,” tulis Toety dalam Aku Dalam Budaya: Telaah Toeri & Metodologi Filsafat Budaya. “Soal filsafat menuntut jawaban yang setiap saat dapat ditinjau kembali, takkan terhenti pada otoritas dogma atau tradisi dan menuntut kemampuan manusia menyelami dan menghayatinya.”
Filsafat, kata Romo Mudji Sutrisno, menjadi terminal penting bagi Toety Heraty dalam menjelajahi pikiran seni dan budaya.
“Ibu Toeti Heraty selalu berkarya dari, karena, dan dalam jiwa yang bebas. Baginya melalui kemerdekaan jiwa inilah ia bebas meniti, melukis, menyeni, merupa, menyair sebagai Aku yang bebas tanpa terpengaruh oleh orang lain,” catat Mudji Sutrisno dalam Mengenang Sang Baronese Kebudayaan.*