Masuk Daftar
My Getplus

Jejak Sutradara Kotot Sukardi

Melalui Si Pintjang (1951), Kotot Sukardi mempelopori pembuatan film anak. Filmnya ikut Festival Film Internasional Karlovy Vary dan diputar keliling Cekoslowakia.

Oleh: Andri Setiawan | 02 Feb 2021
Kotot Sukardi (jongkok) setelah syuting film Ki Hadjar Dewantara. (Repro. Mengenal Taman Wijaya Brata: Makam Pahlawan Pejuang Bangsa).

Pada 1954, Misbach Yusa Biran muda menemui kepala Bagian Film Cerita Perusahaan Film Negara (PFN). Harapnya, ia bisa bergabung dengan PFN meski tak punya ijazah SMA. Oleh orang tersebut, Misbach dipertimbangkan karena pernah mengikuti ujian di Taman Siswa dan diminta mengambil ijasah ke sekolahnya.

Namun sayang, Misbach tak jadi mengambil ijazah. Ia tak jadi masuk PFN lewat orang dalam. Akan tetapi niat baik kepala Bagian Film Cerita itu selalu dikenangnya. Namanya Kotot Sukardi, sutradara terkemuka dekade 1950-an yang terkenal karena filmnya: Si Pintjang (1951).

“Pak Kotot tahu bahwa ijazah swasta tidak berlaku di kantor pemerintah, tapi beliau merenung lama dan mengatakan mau mencoba memperjuangkan. Jadilah saya harus minta ijazah Taman Siswa ke sekolah,” tulis Misbcah dalam Kenang-Kenangan Orang Bandel.

Advertising
Advertising

Meski tak jadi mengambil ijasah, belakangan Misbach banyak belajar dari Kotot. Mereka bekerja sama dalam pembuatan film Holiday In Bali (1962) di Ubud, Bali. Misbach bahkan tidur dalam satu kamar yang sama dengan Kotot dan sering mengobrol tentang banyak hal.

Menurut Misbcah, Kotot dulunya merupakan guru Taman Siswa Bali. Nyoman S. Pendit dalam Bali Berjuang menyebut Kototlah yang merintis dan kemudian memimpin Taman Siswa yang didirikan di Tejakula, Buleleng itu.

Baca juga: Jagat Sinema Orde Lama

Pada masa pendudukan Jepang, Kotot bekerja untuk Keimin Bunka Sidhoso (Badan Kebudayaan). Kotot juga memimpin Badan Permusyawaratan Tjerita POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa). Salah satu sandiwara gubahan Kotot yang paling terkenal ialah Turut Sama Amat. Sandiwara propaganda mendukung militer Jepang ini dipentaskan serentak pada 18-22 Juni 1945 di berbagai kota di Jawa.

Selain Turut Sama Amat, Kotot juga menggubah beberapa sandiwara. Antara lain Pecah Sebagai Ratna dan Bende Mataram yang cukup terkenal, ditulis bersama Soekarsih dan Inu Kertapati. Pada saat menjadi penulis sandiwara, Kotot juga dikenal sebagai pemimpin Suluh Pemuda Indonesa (SPI).

Pada masa Revolusi Fisik, Kotot berada di Yogyakarta. Dalam Sudjojono dan Aku, Mia Bustam mengenang Kotot sebagai seorang bujangan yang tinggal di paseban sisi timur alun-alun. Kotot dikenal sebagai “Bapak para gelandangan dan pencopet”.

“Ia mengumpulkan anak-anak gelandangan dan pencopet cilik di situ, diberi makan dan minum serta pendidikan rohani dan jasmani. Pendek kata dilatih memasuki hidup bermasyarakat yang berbudi dan berpekerti. Kotot kemudian lebih dikenal bukan sebagai pendidik anak terlantar, tetapi lebih sebagai seorang tokoh dalam dunia perfilman nasional Indonesia,” tulis Mia.

Baca juga: Pekerja Seks dalam Pusaran Revolusi Indonesia

Geladangan yang dimasud Mia Bustam itu barangkali adalah Barisan P. Barisan P merupakan barisan yang meliputi pengemis, pencopet, hingga pekerja seks yang dilatih untuk menjadi mata-mata untuk mengorek informasi dari tentara-tentara Belanda. Oleh Kotot, Barisan P juga dilatih sandiwara dan bahkan diajak bermain film di kemudian hari.

Film itu adalah Si Pintjang (1951). Film yang membuat nama Kotot semakin terkenal ini menceritakan tentang anak-anak korban perang. Film ini turut dalam Festival Film Interasional Karlovy Vary di Cekoslowakia.

Si Pintjang satu-satunya film Indonesia yang dipertunjukan dalam Festival Film Internasional di Praha, mendapat hadiah kehormatan istimewa pada penutupan festival itu, berupa diploma untuk Kotot Sukardi dan PFN,” tulis Majalah Minggu Pagi, 10 Agustus 1952.

Si Pintjang dibuat ketika Kotot telah bekerja di PFN. Film ini mendapat tanggapan baik dari para sineas kala itu. Antara lain dari Usmar Ismail.

"’Si Pintjang’ film Kotot Sukardi yang pertama sebagai sutradara mempunyai arti penting karena pemakaian anak sebagai pemain dengan secara efektif,” tulis Usmar dalam Usmar Ismail Mengupas Film.

Meski demikian, menurut Usmar, Kotot belum dapat melepaskan pengaruh sandiwara masa pendudukan Jepang yang propagandistis sehingga merusak tendensi sosial yang ingin ditonjolkan Kotot dalam Si Pintjang.

Baca juga: Film Anak Riwayatmu Dulu

Sementara, Salim Said dalam Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar menyebut Kotot tidak lagi bicara muluk-muluk tentang buah kemerdekaan. Menurutnya, dalam Si Pintjang, Kotot hanya ingin menyuarakan nasib anak-anak terlantar akibat perang.

“Setelah para bekas pejuang sendiri sudah mulai mengkhianati cita-cita mereka, yang diminta Kotot Sukardi cumalah agar anak-anak terlantar, akibat revolusi, juga mendapat perhatian. Api harapan yang tadinya amat menyala-nyala, makin redup saja oleh kenyataan yang makin menyimpang dari dambaan awal,” tulis Salim.

Selain Si Pintjang, menurut data indonesianfilmcenter.com, Kotot telah menyutradari beberapa film: Djajaprana (1955), Tiga-Nol (1958), Ni Gowok (1958), Lajang-Lajangku Putus (1958), Kantjil Mencuri Timun (1958), dan Melati Dibalik Terali (1961). Kotot juga menulis naskah untuk beberapa film yang disutradarai rekan-rekannya sendiri, seperti Si Mientje (1952), Si Melati (1954), Sajem (1961), dan Dibalik Dinding Sekolah (1961).

Kotot juga diketahui membuat film dokumenter sejarah Ki Hadjar Dewantara dan melakukan perjalanan ke Maluku pada 1953 untuk membuat film dokumenter tentang pembangunan di pulau itu.

Merujuk obituari Kotot yang diterbitkan suratkabar Bintang Timur, 23 November 1963, Kotot merupakan Wakil Ketua Lembaga Film Indonesia yang berada di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kotot juga merupakan anggota Pleno PP Lekra, wakil Lekra dalam Panitia Sensor Film, serta anggota Pleno Sarbufis (Sarekat Buruh Film dan Sandiwara).

Baca juga: Riwayat Tan Sing Hwat

Kotot meninggal pada Sabtu, 21 November 1963 di Jakarta pada usia 47 tahun. Pemakamannnya dihadiri oleh tokoh-tokoh Lekra seperti Joebaar Ajoeb, Njoto, Bakri Siregar, dan Agam Wispi serta para tokoh perfilman seperti Bachtiar Siagian, Basuki Effendi, hingga Tan Sing Hwat.

Pasca 1965, anasir-anasir kiri diberantas rezim militer. Lekra menjadi salah satu lembaga yang juga kena bulan-bulanan. Tokoh-tokohnya ditangkap, dipenjara bahkan dihilangkan. Bagian film juga tak luput dari kekejaman ini. Film-film karya sutradara Lekra seperti Bachtiar Siagian, Basuki Effendi, Tan Sing Hwat dan Kotot Sukardi absen dari sejarah perfilman Indonesia.

Menurut Khrisna Sen dalam Indonesian Cinema: Framing the New Order, hanya ada satu film utuh karya Kotot Sukardi yakni Si Pintjang yang disimpan Sinematek Indonesia. Setelah absen dalam narasi Orde Baru, nama Kotot baru muncul kembali pada 2015. Kotot dianugerahi Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.

TAG

kotot sukardi sutradara lekra

ARTIKEL TERKAIT

Derita Djoko Pekik Sebelum Jual Celeng Ratna Asmara Jadi Nama Penghargaan FFI Adieu, Jean-Luc Godard! Proses Kreatif Usmar Ismail di Balik Layar Pemikiran Usmar Ismail dalam Film-filmnya Oliver Stone, Perang Vietnam, dan Pembunuhan JFK Francis Ford Coppola dan Trilogi The Godfather Spike Lee Joints, dari Malcolm X hingga Viagra Subronto K. Atmodjo, Komponis Sukarnois Mengenang Ansambel Gembira