NAMA David John Moore Cornwell mungkin terdengar asing bagi penikmat novel bertema intelijen, apalagi tema non-intelijen. Padahal hanya satu sosok yang menyandang namanya.
Cornwell tutup usia pada Sabtu (12/12/2020) malam waktu setempat di Rumahsakit Royal Cornwall di Truro, Inggris. Dalam pernyataan keluarganya, Cornwell meninggal setelah lama menderita pneumonia.
Sejumlah sejarawan dan novelis Inggris pun terpukul mendengar wafatnya salah satu novelis sohor Inggris era Perang Dingin itu.
“Hati saya terasa sakit. Dia (Cornwell) adalah figur besar dalam sastra Inggris,” tutur sejarawan dan novelis Simon Sebag Montefiore sebagaimana dikutip BBC, Senin (14/12/2020).
Baca juga: Drama Perumusan Kamus Oxford dalam The Professor and the Madman
Jonny Geller, agen sekaligus manajer almarhum, menyatakan bahwa dunia novel akan sangat kehilangan sosok yang bisa membawa jutaan pembacanya memahami situasi politik dan manusianya yang kompleks di masa Perang Dingin.
“Dia tokoh besar dalam sastra Inggris yang tiada duanya. Kita takkan melihat penulis yang seperti dia lagi. Kematiannya akan sangat berpengaruh pada setiap pecinta buku dan semua orang yang perhatian terhadap kondisi manusia (dalam dunia mata-mata, red.). Ia sosok yang ramah, humoris, dan cerdas. Saya pribadi kehilangan seorang sahabat, mentor, dan inspirasi,” imbuh Geller.
Sepanjang hayatnya, Cornwell yang menggunakan nama pena John le Carré sudah menghasilkan puluhan karya bertema intelijen, di mana 27 di antaranya adalah novel yang laris di pasar global. Beberapa dari karya best seller-nya diadaptasi ke layar kaca maupun layar lebar dengan judul serupa, antara lain: The Tailor of Panama (2001), The Constant Gardener (2005), Tinker Tailor Soldier Spy (2011), dan Our Kind of Traitor (2016).
Karya-karya Cornwell bisa membawa para pembacanya menyelami alam kerahasiaan para karakter yang bergelut sebagai agen intelijen. Tak lain lantaran Cornwell merupakan mantan agen MI5 dan kemudian MI6, dinas intelijen Inggris yang beroperasi di area domestik dan luar negeri.
Mata-mata Penulis Novel Mata-mata
Lahir pada 19 Oktober 1931 di kota pelabuhan Poole, Inggris sebagai anak kedua pasangan Olive Moore Glassey dan Ronald Thomas Archibald ‘Ronnie’ Cornwell, sejak dini ia sudah belajar untuk jadi pria dewasa di jalanan. Hal itu disebabkan karena sejak usia lima tahun Cornwell sudah dititipkan ibunya ke asrama St. Andrew’s Preparatory School. Ayahnya jarang memberikan kasih sayang lantaran berkecimpung di “dunia hitam”. Ronnie merupakan anak buah bos geng Kray Twins. Ia sering dipenjara karena kasus penipuan asuransi.
Menurut Adam Sisman dalam biografi sang novelis, John le Carré: The Biography, latar belakang keluarganya itu membuatnya mulai gemar menciptakan fantasi tersendiri dalam kepalanya yang kemudian ia tuangkan menjadi cerita fiktif dengan pena.
“John le Carre pernah mengatakan: ‘Orang yang punya masa kecil tidak bahagia, biasanya sangat terampil menciptakan sesuatu. Saya seorang pembohong. Diciptakan, lahir, dan dilatih untuk berbohong.’ Sebagai seorang bocah, dia belajar untuk menciptakan dan merekayasa cerita fantasi untuk menghibur diri, untuk melarikan diri dari kenyataan. Ia lalu memanfaatkannya sebagai mata-mata dan kemudian penulis,” tulis Sisman.
Minimnya kasih sayang orangtua membuat Cornwell jadi anak yang sering mendapat masalah dengan gurunya selama di asrama. Meski begitu ia tetap mampu lulus hingga tingkat atas dan bahkan kuliah jurusan bahasa asing di University of Bern, Swiss tiga tahun pasca-Perang Dunia II berakhir. Di situlah ia yang menjadi poliglot tertarik pada dunia intelijen.
Setelah lulus pada 1950, ia diterima di Korps Intelijen Angkatan Darat Inggris. Cornwell yang fasih bahasa Jerman ditugaskan sebagai anggota tim penerjemah dan interogasi mata-mata di Austria yang saat itu masih diduduki Sekutu. Kebanyakan yang diinterogasinya adalah pelarian dari Jerman Timur, yang dikhawatirkan disusupi agen rahasia Uni Soviet.
Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi
Dua tahun bertugas di Austria, Cornwell kembali ke Inggris dan ditempatkan di MI5, dinas intelijen dalam negeri Inggris. Dalam salah satu tugas untuk mendeteksi kelompok-kelompok kiri di Inggris, ia menyamar jadi mahasiswa di Lincoln College di Oxford, kemudian di Millifield Preparatory School di Somerset, dan menjadi guru sastra Prancis dan Jerman di Eton College.
Sejak menjadi perwira intel pada 1958 di bawah asuhan mata-mata senior MI5, Lord Clanmorris, Cornwell mulai tergelitik untuk berbagi cerita pengalamannya lewat karya fiksi. Di tahun 1958 itulah dia menulis novel mata-mata pertamanya, Call for the Dead, yang rampung dan dirilis pada 1961.
Novel yang mengisahkan sosok George Smiley, agen MI6 yang bertugas di luar negeri, itu memuat beberapa sosok yang terinspirasi dari orang-orang di sekitar Cornwell. Sosok Smiley sendiri merupakan kombinasi karakter bijak Vivian H. H. Green (mantan dosennya di Lincoln College) dan karakter cerdas Lord Clanmorris (bosnya di MI5) yang cekatan dan sigap bertindak di masa genting.
Kepada atasannya, Cornwell berterus terang bahwa ia menulis novel tentang dunia intelijen. Atasannya, sebagaimana ditulis George Plimpton dalam artikel “John le Carré, The Art of Fiction” yang dimuat Majalah The Paris Review edisi Agustus 1997, mengaku tak keberatan asal Cornwell menerbitkannya dengan nama samaran.
Baca juga: Ketika Dokter Gila Turut Merumuskan Kamus Oxford
Cornwell lalu merilisnya dengan nama pena John le Carré di bawah Penerbit Victor Gollancz Ltd. Berulangkali ia ditanya dari mana mendapatkan inspirasi nama pena berbau nama Prancis itu. Namun setiap kali itu juga ia memberikan jawaban berbeda-beda.
“Saat Anda berada di dinas intelijen dan Anda menulis buku, entah itu hanya buku tentang serangga, harus ditulis dengan nama samaran. Penerbit saya, Victor Gollancz, menyarankan nama yang monosilabel, seperti ‘Chuck-Smith’, misalnya. Saya sering bohong tentang dari mana saya dapat nama itu tapi sejujurnya saya tidak ingat dan sengaja saya bohong karena sering saya tidak bisa meyakinkan semua orang bahwa saya tidak ingat nama itu saya dapat dari mana,” aku Cornwell kepada Plimpton.
Kegiatan menulis novel tetap dilanjutkan ketika Cornwell sudah dipindahtugaskan ke MI6 (dinas intelijen luar negeri Inggris) pada 1960. Dengan tugas samaran sebagai diplomat di Kedutaan Inggris di Bonn, Jerman Barat, Cornwell menelurkan novel-novel intelijen era Perang Dingin yang kemudian laris di pasaran. Hampir semuanya terinspirasi dari pengalaman Cornwell semasa tugasnya.
Dalam Tinker Tailor Soldier Spy (1974), misalnya, ceritanya masih seputar tokoh George Smiley. Namun kali ini misinya memburu Bill Haydon, intel pengkhianat yang menjadi agen ganda di KGB (dinas intelijen Soviet). Tokoh Haydon diciptakan Cornwell yang terinspirasi Kim Philby di dunia nyata.
Philby adalah agen MI6 yang kemudian jadi agen ganda dalam lingkaran “Cambridge Five”, semacam kelompok agen ganda yang bekerja untuk KGB pada medio 1964. Philby yang mencari suaka di Moskow, beberapa kali mengoper informasi rahasia kepada KGB yang berimbas pada kematian sejumlah agen lapangan Inggris, termasuk agen-agen yang disebar Cornwell.
Baca juga: Rekayasa Intel Inggris Mengelabui Hitler
“Dia (Philby) adalah pengkhianat dan pembunuh. Dia mengkhianati orang-orang yang mati secara mengenaskan sebagai konsekuensi perbuatannya,” kata Le Carré, dikutip John L. Cobbs dalam Understanding John le Carré.
Sejak terungkapnya borok Philby, karier Cornwell di MI6 pun tutup buku. Semenjak itulah Cornwell total bergelut dengan penanya sampai akhir hayatnya. Dari puluhan novelnya, Cornwell mengoleksi 21 anugerah penghargaan dan mendapat doktor honoris causa dari Universitas Oxford. Anugerah terakhir diterimanya beberapa bulan sebelum maut menjemput, yakni Olof Palme Prize, pada Januari 2020. Hadiah uangnya senilai USD100 ribu ia sumbangkan ke LSM kesehatan Médecins Sans Frontières.