KH Said Aqil Siraj ikut berkomentar soal polemik penayangan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI. Saat mengumumkan persiapan pelaksanaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU 2017, Jumat (22/9/2017), Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menyatakan setuju dengan penayangan kembali film itu sebagai bahan refleksi sejarah. Dia juga sepakat pada ide pembuatan ulang film tersebut.
Baca juga: Orang-orang di balik penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI
Hanya saja, Said Aqil menambahkan, kini sudah saatnya dibuat pula film-film lain yang juga menggambarkan peristiwa kelam yang penting dalam sejarah Indonesia. Dia menyebut perlunya dibuat film sejarah tentang pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII pimpinan SM Kartosoewiro, PRRI-Permesta, dan pemberontakan PKI di Madiun 1948, serta sejumlah peristiwa-peristiwa terorisme seperti bom Bali.
Film-film tentang peristiwa sejarah kelam yang dialami Indonesia bukannya belum pernah dibuat. Setidaknya peristiwa pemberontakan DI/TII menjadi bagian cerita dalam film Darah dan Doa (1950). Film besutan Usmar Ismail itu merekam peristiwa long march Divisi Siliwangi dari Jawa Tengah kembali ke pos-pos mereka di Jawa Barat pada Desember 1948.
Baca juga: Kisah tragis akhir hidup Usmar Ismail Bapak Film Nasional
Dalam Darah dan Doa digambarkan bahwa prajurit Siliwangi yang kembali ke basisnya itu belum mengetahui benar tentang DI/TII. Selama long march di daerah Jawa Tengah mereka hanya menghadapi serangan Belanda. Karenanya, ketika sampai di daerah Jawa Barat mereka tidak mengantisipasi akan adanya serangan dari DI/TII.
Diceritakan, sepasukan Siliwangi pimpinan Kolonel Sudarto (Del Juzar) telah sampai di suatu desa di Jawa Barat. Kedatangan mereka disambut baik oleh penduduk dan lurah desa itu. Pasukan Kapten Sudarto yang kelelahan itu juga mendapat bantuan keamanan dari penduduk desa. Mereka dipersilakan istirahat dan tidur dengan penjagaan dari warga.
Kapten Sudarto menyambut baik bantuan itu, tetapi sekondannya, Kapten Adam (R. Soetjipto), memilih tetap siaga. Untuk menjaga kewaspadaan, Adam memerintahkan beberapa anak buahnya untuk tetap berjaga. Dia juga mengeluhkan Kapten Sudarto yang terlalu percaya diri dan gampang lengah. Kekhawatiran Adam terbukti manakala pada malam harinya segerombolan warga desa bersenjata menyergap pasukannya yang sedang terlelap. Tanpa mengetahui siapa sebenarnya musuhnya, mereka terpaksa melawan.
Kapten Sudarto dan Adam yang kaget atas sergapan itu hanya bisa menduga-duga. “Apakah ini yang disebut Darul Islam itu?” kata Adam seraya bergegas mengambil senjata. Untungnya, meskipun tanpa persiapan memadai, pasukan Kapten Sudarto berhasil melawan. Tetapi, dia sendiri tertembak lengannya.
Dalam pertempuran singkat itu, para pemberontak Darul Islam berhasil dilumpuhkan. Seorang pemimpin ditangkap dan disidang oleh Kapten Sudarto. Sidang memutuskan untuk mengeksekusi mati dengan ditembak. Sersan Sumbara Karta yang diperintahkan untuk mengeksekusi sangat tertekan. Sumbara mengatakan kepada Suster Widya dan seorang tentara bahwa orang yang akan dieksekusi itu adalah ayahnya. Kapten Sudarto merasa sangat menyesal.
Baca juga: NU membentuk KPK untuk melawan DI/TII
Fragmen dalam film Darah dan Doa itu bukan isapan jempol. Lepas Perjanjian Renville, militer Indonesia hijrah ke Jawa Tengah. Tetapi ada sebagian laskar yang menolak hijrah atau melucuti senjatanya. Di antara laskar-laskar itu adalah Hizbullah dan Sabilillah. Mereka tetap aktif di Jawa Barat ketika Divisi Siliwangi hijrah.
Agar laskar-laskar ini tetap terkendali, Jenderal Soedirman mengangkat Sutoko sebagai koordinator laskar gerilya di Jawa Barat. Sayangnya, dia tidak begitu berhasil menjalankan tugasnya. Menurut sejarawan Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, umumnya laskar-laskar itu menolak dilucuti dan tetap aktif. Situasi bebas itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh SM Kartosoewirjo untuk menggalang kekuatan DI/TII.
“Bebas dari pengawasan aktif Tentara Republik di Jawa Tengah, dan terutama atas prakarsa Kartosuwiryo, kedua satuan ini mengadakan organisasi militer dan pemerintahan sendiri, yang dalam jangka satu tahun akan menjadi inti Negara Islam Indonesia,” tulis Van Dijk.
Baca juga: Detik-detik terakhir Imam DI/TII SM Kartosoewirjo menghadapi eksekusi
Saat Divisi Siliwangi long march kembali ke Jawa Barat, laskar-laskar yang telah disatukan oleh Kartosoewirjo itu menghadangnya. Salah satu tujuan mereka adalah merebut senjata TNI untuk memperkuat Tentara Islam Indonesia. Sejauh itu, menurut Van Dijk, Kartosoewirjo belum secara terang-terangan memusuhi Republik. Tetapi, Kartosoewirjo dengan kekuatan politiknya menekan seluruh tentara dan laskar yang tetap tinggal di Jawa Barat untuk mengakui kekuasaannya. Yang menolak akan ditundukkan dengan kekerasan.
“Maka, dengan mendadak dia menyerang sebuah kompi Tentara Republik yang tetap tinggal di Jawa Barat dan mendirikan markas besarnya di Banyuresmi dan mengusir mereka setelah menolak tiga kali berturut-turut untuk menyerah kepadanya,” tulis Van Dijk.
Usai Agresi Militer Belanda II, Kartosoewirjo mulai berani menggunakan nama Negara Islam Indonesia. Karena itulah ketika Divisi Siliwangi sampai di Jawa Barat mereka disambut dengan pamflet-pamflet yang mendesak untuk bergabung dengan NII. Dan ketika menolak tentu saja mereka diperangi.