PEMANDANGAN alam Gunung Bromo yang memukau membuat kawasan ini menjadi salah satu objek wisata terpopuler di Jawa Timur. Wisatawan dari dalam maupun luar negeri datang silih berganti untuk melihat langsung keindahannya. Salah satunya adalah John Whitehead, penjelajah Inggris yang mendaki Gunung Bromo tahun 1880-an. Selama melakukan penjelajahan di kawasan Bromo, ahli ornitologi itu turut meneliti sejumlah burung.
Kisah pendakian dan penjelajahan Whitehead di kawasan Gunung Bromo menjadi salah satu bagian dalam bukunya, Exploration of Mount Kina Balu, North Borneo yang dipublikasikan tahun 1893. Whitehead tak hanya menceritakan pengalamannya mendaki Gunung Bromo. Pria kelahiran 30 Juni 1860 itu juga menulis kesan-kesannya mengenai kebiasaan orang-orang Belanda.
“Orang-orang Belanda memiliki beberapa kebiasaan aneh yang, secara keseluruhan, lebih cocok dengan iklim di wilayah koloni daripada kerapian penampilan pribadi mereka. Di pagi hari, para pria berkeliaran di sekitar rumah mereka dan kadang-kadang di jalan umum dengan piyama, yang terdiri dari luaran berbahan linen putih longgar dan celana panjang linen longgar yang berwarna mencolok dan bermotif mewah; sepasang sandal mandi melengkapi kostum tersebut,” tulis Whitehead.
Piyama itu tak hanya dikenakan setelah mandi pagi. Selepas makan siang, para pria Belanda kembali mengenakan piyama untuk tidur siang hingga pukul empat sore. Sementara pakaian para wanita di pagi hari terdiri dari luaran longgar berumbai berwarna putih, sarung berwarna cerah, stoking putih, dan sepatu hak tinggi, dengan rambut tergerai bebas di belakang. pakaian ini akan kembali digunakan untuk tidur siang.
Baca juga: Meredam Murka Gunung Kelud
Hal lain yang menarik perhatian Whitehead adalah kurangnya kesadaran orang Belanda untuk berolahraga. “Tidak seperti orang Inggris, orang Belanda tidak pernah memaksakan diri olahraga keras di iklim panas ini; akibatnya mereka menjadi gemuk, tetapi, setelah lama tinggal di daerah tropis, mungkin kembali ke tanah air dalam kondisi kesehatan yang jauh lebih baik daripada orang Inggris, yang sering mengekspos diri mereka terlalu banyak di tengah teriknya siang hari,” tulis Whitehead.
Whitehead memulai penjelajahannya di wilayah Bromo dari Tosari, yang menurut sejarawan James R. Rush dalam Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat, 1330–1985, merupakan pos perbukitan favorit orang Belanda. Selain suasananya yang menyenangkan dan menyegarkan untuk ditinggali, Tosari juga memiliki pemandangan alam yang memesona. Bahkan Whitehead menyebut desa-desa di dataran tinggi itu sangat mirip dengan desa-desa di Swiss, jika dilihat dari kejauhan, sehingga sangat sulit untuk mempercayai bahwa desa tersebut masih berada di daerah tropis.
Di Tosari, Whitehead menetap di sebuah hotel selama dua bulan. Ia tak hanya meneliti burung dan kupu-kupu, tetapi juga mengamati aktivitas penduduk setempat. Menurutnya, meski pariwisata di Gunung Bromo cukup bergeliat dengan kehadiran wisatawan dan pendaki, mata pencaharian penduduk desa Tosari kebanyakan petani sayuran, salah satunya kubis yang akan dijajakan di pasar kota-kota pesisir, bahkan diekspor ke Singapura.
Whitehead memulai pendakian ke kawah Gunung Bromo pada awal September. Ditemani seorang pemuda Belanda, mereka berangkat dari hotel pukul 5.30 pagi, dan perlahan-lahan mendaki tanjakan Tosari dengan menunggangi kuda poni. Ketika mencapai puncak, panorama indah bukit-bukit dan lembah-lembah di kejauhan terbentang di depan mata. Namun, yang menjulang tinggi di atas segalanya adalah salah satu pemandangan terbaik di Jawa, yakni kerucut Gunung Smeroe (Semeru), gunung berapi aktif setinggi 12.000 kaki, yang saat udara cerah terlihat sangat dekat di pagi hari.
Puncak gunung berapi itu merupakan lahan gundul, yang hingga jarak tertentu sebelum sabuk hutan terlihat, membentuk lingkaran hitam di sekeliling kerucut gunung berwarna kemerahan. Setelah menunggu beberapa waktu, kepulan asap kecil perlahan muncul dari mulut gunung yang berubah bertahap menjadi pilar asap bergelombang berwarna kemerahan. Pilar asap ini pelan-pelan naik dan menghilangkan gelombang pilarnya, berputar pelan lalu menyebar dengan indah ke segala arah hingga lenyap dari kawah –semakin tinggi dan terus membesar hingga asap itu hanya berupa awan biasa, yang nantinya tersebar oleh angin di tempat lebih tinggi dan jatuh kembali berbentuk debu halus ke daerah sekitar gunung.
“Tetapi, saat pilar asap ini perlahan-lahan naik cukup tinggi, pilar ini meninggalkan jurang kawah besar itu dengan kecepatan dan suara menderu yang lebih dahsyat dari yang bisa dilukiskan dengan kata-kata, diiringi dengan batuan dan debu dalam jumlah besar yang jatuh lagi ke dalam mulut kawah, batuan dan debu ini menutup rapat mulut kawah, untuk nantinya dikeluarkan lagi ketika tenaga uap cukup besar sudah terakumulasi,” tulis Whitehead.
Baca juga: Gunung Semeru Memantapkan Pulau Jawa
Letusan ini terjadi setiap seperempat jam sekali. Setelah puas menikmati keindahan pemandangan tersebut, Whitehead kembali berkuda menuju kawah Bromo. Setelah beberapa mil, ia tiba di pinggir kawah tua Bromo, yang dari lokasi itu terbentang pemandangan terindah di dunia. Seribu kaki di bawah ini terbentang padang pasir datar, dikeliling pegunungan abu vulkanik tandus, berparut dan beralur dalam di seluruh permukaannya. Sejumlah kawah kecil telah meletus di sana-sini, menumpukkan gundukan abu vulkanik yang sangat banyak. Salah satu gundukan tersebut, dengan tinggi beberapa ratus kaki, berbentuk menyerupai panci masak raksasa bergalur di sekelilingnya dengan parit dalam serta memiliki jarak yang sama satu sama lain, kawah ini disebut Batok.
Warna alam yang unik menambah keajaiban pemandangan di area ini. Dinding kawah terdiri dari berbagai warna abu-abu serta parut dalam permukaan kawah tampak membiaskan warna mulai dari biru hingga ungu tua dalam sinar matahari pagi. Setelah menuruni lereng kawah cukup curam, Whitehead menyeberangi padang pasir yang jarang ditumbuhi rerumputan. Satu-satunya hewan yang ia lihat adalah burung pipit (Anthus rufulus).
Usai menempuh perjalanan cukup jauh melintasi padang pasir, Whitehead tiba di kaki bukit panjang yang seluruh permukaannya tertutup debu halus. “Dulu lautan pasir ini adalah kawah aktif Gunung Bromo, tetapi saat ini sudah tertutup oleh lapisan lava yang membeku, dengan rongga di dalamnya, membuat setiap langkah kaki kami menimbulkan gema,” sebut Whitehead.
Baca juga: Bencana Gunung Api Menghantui Majapahit
Jalur pendakian di bukit ini sudah difasilitasi dengan anak tangga dan pegangan tangan untuk memudahkan para pendaki. Dalam perjalanan naik dapat dilihat retakan yang mengepul tempat sulfur mengalir keluar. Pada saat itu bukit abu yang rendah ini merupakan satu-satunya bagian yang aktif dari kawah Bromo. Dahulu, kawah aktif gunung ini diperkirakan memiliki garis lingkar 20–25 mil.
Di tepi kawah terdapat jalan setapak sempit yang hampir mengitari kawah tersebut. Dari sini Whitehead dapat melihat lubang kawah, di mana pemandangan ke bagian dasarnya terhalangi uap panas, yang selalu berputar-putar mengepul naik tetapi jarang mencapai puncak kawah. Ia menyebut suara gemuruh pelan ini menyerupai bunyi kuali besar yang tengah digunakan untuk memasak. “Hanya dengan melihat pemandangan seperti itu, seseorang dapat membayangkan keajaiban kekuatan gunung berapi, yang terkadang telah mengubah permukaan dunia ini di area yang luasnya bermil-mil,” sebut Whitehead.
Whitehead kemudian teringat kisah yang diceritakan pemilik hotel. Beberapa bulan sebelum Whitehead tiba di Tosari, sang nyonya pemilik hotel baru saja kehilangan salah satu putranya yang terkubur bersama seluruh perkebunan kopi, rumah-rumah, para penduduk, dan segala yang ada oleh aliran lumpur panas yang dimuntahkan oleh Semeru.
Setelah puas melihat-lihat, Whitehead kemudian turun untuk kembali ke hotel. Di tengah perjalanan, ia menemukan sarang burung chat (Pratincola caprata) di sisi tebing curam. “Dengan demikian berakhirlah ekspedisi ke salah satu pemandangan paling menakjubkan yang pernah saya lihat pada dini hari yang memberikan efek panorama yang terlihat dari puncak dinding kawah tua Bromo yang tak mungkin digambarkan dengan kata-kata,” tutup Whitehead.*