HASJIM Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi pengusaha nasional berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, menyaksikan bagaimana banyak “serigala” di sekitar Presiden Sukarno ketika si bung berkuasa. Demi mencari muka dan tempat di hati presiden, para “serigala” itu saling memangsa kendati di permukaan terlihat selalu mesra.
“Tradisi yang menjadi anggapan umum itu juga menjadi pedoman kerja para petugas intel dari berbagai instansi keamanan dan juga bagi instansi yang mengeluarkan izin, izin apa saja. Terutama oleh kalangan entrepreneur yang tidak mempunyai dukungan kekuatan politik, kondisi itu akan sama dengan penempatannya sebaga ‘mangsa’ yang setiap saat akan diserbu oleh para serigala yang kelaparan, yang sudah lama mengintai waktunya untuk melahap,” kata Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Sikap menjilat itulah yang membuat orang-orang non-politik yang bersabahat dengan Sukarno seperti Hasjim kerap jadi korban. Meski persahabatannya dengan presiden murni secara personal, Hasjim tak aman dari “terkaman” para serigala lantaran sebagai keponakan Bung Hatta, yang sering dianggap lawan politik pemerintah. Hasjim kerap ketiban sial oleh intrik atau insinuasi orang-orang yang tak suka pada dirinya ataupun Bung Hatta.
Baca juga: Hatta Bikin Pengusaha Hasjim Ning Pening
“Suatu hari aku ‘terkena larangan’ menemui Bung Karno. Yang melarangku masuk dan menemui Bung Karno ke Istana adalah Kolonel Sabur, ajudan presiden sendiri,” sambung Hasjim. “Saudara tidak dibenarkan lagi masuk Istana, karena Suadara keponakan Hatta, lawan presiden,” kata Sabur sebagaimana dikutip Hasjim.
Akibat larangan itu, enam bulan Hasjim tak pernah lagi ke Istana dan bertemu Sukarno. Keduanya baru kembali bertemu setelah menghadiri makan siang bersama antara presiden dan IPKI, partai politik yang ikut disokong Hasjim pada awal 1950-an.
Sukarno kaget ketika di antara penyambutnya terdapat Hasjim. Saat berjabat tangan, Sukarno langsung menanyakan kenapa Hasjim tak pernah lagi ke Istana. Pertanyaan itu dijawab Hasjim dengan pemberitahuan bahwa dirinya dilarang Kol. Sabur.
Jawaban Hasjim jelas membuat Sukarno kaget. Dia langsung marah pada Sabur yang berada di dekatnya. “Siapa yang kasih perintah sama kamu?” kata Sukarno bertanya kepada ajudannya.
Sabur yang ketakutan pun menjawab sambil gelagapan bahwa larangan yang dikeluarkan terhadap Hasjim diambil atas inisiatifnya karena Hasjim merupakan keponakan Bung Hatta yang saat itu merupakan lawan politik Sukarno.
Jawaban Sabur membuat presiden makin naik pitam. “Jangan kamu campur adukkan masalahku dengan Bung Hatta. Betul aku tidak suka pada sikap politiknya, tapi dia adalah sahabat baikku, tahu?”
Sabur langsung mengambil sikap sempurna dan menyatakan kesiapannya begitu mendengar perkataan Sukarno.
“Aku tidak suka kamu larang-larang Hasjim datang ke Istana. Kapan dia suka, dia boleh datang!”
Begitulah Sukarno yang diketahui Hasjim. Ia hampir selalu “berkelahi” dengan Bung Hatta dalam soal politik, namun tak pernah terima bila kehidupan pribadi Hatta diusik orang.
Baca juga: Secuil Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta
Saking pahamnya terhadap Sukarno, Hasjim langsung menemui sang presiden begitu mendengar di masyarakat terlontar isu Bung Hatta akan ditangkap tak lama setelah Bung Hatta mengkritik penguasa lewat tulisannya, “Demokrasi Kita”.
“’Demokrasi Kita’ ditulis Bung Hatta pada tahun 1960 dan dimuat dalam Pandji Masjarakat, dengan Buya Hamka sendiri sebagai pengawas pencetakannya, meneliti sampai titik-komanya, tidak boleh ada salah cetak sedikitpun, untuk menyesuaikan dengan kebiasaan Bung Hatta yang selalu correct,” tulis Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal dalam Satu Abad Bung Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan.
Tulisan itu membuat Sukarno marah. Hasjim melihatnya sendiri ketika bertemu di Istana. “Hai, Hasjim, Hatta itu mau apa sebenarnya menulis begitu?” kata Sukarno, dikutip Hasjim. Namun karena Hasjim tak tahu dan menyuruh Sukarno bertanya langsung pada pamannya, kemarahan Sukarno pun reda dan keduanya kembali bercanda.
Yang pasti, tulisan itu dijadikan lawan-lawan politik Hatta untuk mencari simpati politik presiden. “Semua media massa yang memuat tulisan Bung Hatta itu diberangus oleh pemerintah. Sesungguhnya aku tidak percaya Bung Karno sampai mau memerintahkan pemberangusan itu. Meski tahu beberapa di antara media massa itu sangat tidak disukainya, aku percaya bahwa ada kekuatan politik tertentu yang meniup-niupkan api agar pemberangusan terjadi sehingga ketika yang berwenang melakukan pemberangusan itu, Bung Karno membiarkannya saja,” kata Hasjim.
Maka begitu bertemu Sukarno di Istana, Hasjim langsung menanyakan benar-tidaknya isu penangkapan Bung Hatta. “Bapak, aku tahu bahwa Bapak tidak pernah bertindak keliru dalam hal-hal yang prinsipil,” kata Hasjim membuka pembicaraan.
“Jadi, sekarang jij percaya bahwa aku telah melakukan kekeliruan?” jawab Sukarno untuk mendapatkan kejelasan maksud pertanyaan Hasjim.
“Ya, kalau Bapak menangkap Bung Hatta,” kata Hasjim.
Jawaban itu membuat Sukarno terperanjat. “Gila kamu bisa berpikir begitu. Tidak ada orang yang bisa berani-berani menangkapnya,” kata Sukarno setengah berteriak.