BAGI dwitunggal Sukarno dan Moh. Hatta, politik adalah jalan untuk mewujudkan idealisme. Karena itu, keduanya kerap berdebat bahkan hingga ketika sudah sama-sama tak muda. Namun bagi keduanya, politik tak boleh memasuki ranah kehidupan pribadi. Maka kendati perdebatan kerap mewarnai perjalanan keduanya dalam kehidupan bernegara, hubungan pribadi dan keluarga Bung Karno dan Bung Hatta selalu baik dan hangat. Persahabatan keduanya merupakan kisah manis dalam perjalanan sejarah bangsa. Banyak orang menjadi saksinya.
Pengusaha Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang kemudian menjadi sahabat Bung Karno, merupakan salah seorang yang paling sering menyaksikan persahabatan kedua proklamator itu. Persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta bahkan sudah lebih dulu ada sebelum Hasjim mengenal Bung Karno.
Kisah itu terjadi pada 1938, ketika Hasjim mengerjakan tugas dari ayahnya yang menjadi pemegang proyek rehabilitasi jalan raya Bengkulu-Manna. Suatu hari, Hasjim mendapat telepon dari sang ayah yang mengatakan dirinya mendapat surat dari Bung Hatta di Banda Neira. Surat yang dibawa oleh orang Tionghoa rekan Bung Hatta dan ayah Hasjim itu memuat pesan Bung Hatta agar ayah Hasjim membantu keperluan Bung Karno selama di Bengkulu. Bung Hatta mendengar kabar Bung Karno dipindahkan tempat pengasingannya dari Ende ke Bengkulu.
Mendapat tugas untuk menemui tahanan politik di masa itu merupakan masalah tersendiri. Hasjim lalu mengutarakannya kepada Raden Mas Rasjid, orang yang ditunjuk ayah Hasjim mengepalai proyek tersebut. Rasjid, yang ternyata kenal Bung Karno sejak di Bandung, lalu mempertemukan Hasjim dengan Bung Karno dua hari kemudian.
Di rumah Bung Karno, Hasjim langsung disambut hangat sang tuan rumah. Dia langsung menjelaskan maksud kedatangannya. Namun alih-alih merespon maksud kedatangan Hasjim, Bung Karno justru menyatakan yang lain.
“Wah, Hatta masih memikirkan aku. Tapi bagaimana dengan dia sendiri?” kata Bung Karno, dikutip Hasjim dalam memoarnya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Mereka pun terlibat obrolan panjang, mulai dari penjelasan hubungan saudara antara Hasjim dan Bung Hatta hingga hal-hal lain. Upaya pemberian bantuan Hasjim baru direspon Bung Karno setelah itu. “Aku perlu sepeda dan topi helm. Topi helm berwarna gading tua. Bukan cokelat,” kata Bung Karno.
“Tak ada yang lain, Bung?” tanya Hasjim.
“Tiga helai kemeja. Mereknya Van Huizen.”
Tak berapa lama kemudian, Hasjim pun mewujudkan permintaan itu.
Kebaikan itu tak pernah dilupakan Bung Karno. Saat keduanya kembali bertemu, pada masa pendudukan Jepang di rumah Bung Hatta di Oranje Boulevard 57, Bung Karno menceritakan itu semua di depan Hatta. Bung Hatta hanya berkomentar singkat dan datar.
“Ya, kebetulan sekali ada seorang kenalanku, pedagang Cina yang waktu itu mau ke Palembang menemui kakeknya yang sedang sakit,” kata Bung Hatta.
Jauh setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, Sukarno dan Hatta bahu-membahu menghadapi lawan-lawan politik baik dari luar maupun dalam. Toh, keduanya akhirnya berpisah jalan setelah Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Bung Hatta tidak setuju konsep Demokrasi Terpimpin yang diperjuangkan Bung Karno.
Namun, hubungan pribadi keduanya tetap berjalan baik. PM Ali Sastroamidjojo, kawan kedua bung sejak muda, menuliskan kesaksiannya tentang itu dalam otobiografi berjudul Tonggak-Tonggak di Perjalananku. “Oleh karena saya mengenal baik Bung Karno maupun Bung Hatta sudah begitu lama, saya menghubungi mereka tidak sebagai Perdana Menteri, melainkan secara pribadi dan sebagai kawan lama. Lebih dahulu saya datang kepada Bung Karno,” kata Ali.
Di rumah presiden, Ali menanyakan apakah keretakan Bung Karno dan Bung Hatta disebabkan sentimen pribadi. “’Saya anggap Hatta sebagai saudara kandung saya sendiri,’ kata Bung Karno, ‘yang saya tidak dapat menyetujui hanya pemandangan politiknya.’ Dari Bung Karno saya mengunjungi Bung Hatta, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sama seperti yang saya tanyakan kepada Bung Karno. Jawaban Bung Hatta pun hampir sama dengan jawaban Bung Karno,” sambung Ali.
Hatta akhirnya tetap mengundurkan diri. Namun, fasilitas pengawalan dan penjagaan rumah tetap didapatkannya dari negara. “Bung Karno memerintahkan kepada saya agar Bung Hatta tetap dikawal seperti biasa,” kata AKBP Mangil Martowidjojo, komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden dan Wakil Presiden, dalam memoarnya Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967.
“’Bung Hatta adalah seorang proklamator negara Indonesia,’ kata Bung Karno. Bung Karno juga berkata, ‘Presiden dan Wakil Presiden RI, dapat diganti setiap saat menurut kehendak rakyat, tetapi proklamator negara RI tidak dapat diganti oleh siapapun. Maka dari itu, jagalah Bung Hatta baik-baik, sebagai penghormatan bangsa Indonesia kepada Bung Hatta’,” kata presiden, dikutip Mangil.
Namun, fasilitas itu ternyata hanya berjalan sampai pengujung 1959. Menteri Keamanan Nasional/KSAD Jenderal AH Nasution selaku pelaksana tertinggi UU Kedaan Darurat Perang memerintahkan penarikan pasukan penjagaan untuk Bung Hatta. Perintah itu dijalankan Mangil dan anak buahnya, mereka berpamitan kepada Bung Hatta pada 27 November.
“Dalam acara pamitan ini maka Bung Hatta pesan kepada saya, agar Bung Karno dijaga baik-baik. Menurut Bung Hatta, Bung Karno adalah pemersatu bangsa Indonesia. ‘Tetapi kamu harus hati-hati kepada orang-orang yang mengelilingi Bung Karno’,” tulis Mangil.
Mendengar hal itu dari Mangil, Sukarno pun amat kecewa. “Bung Hatta kan proklamator negara RI, Bung Hatta kan berhak mendapat kehormatan pengawalan,” kata Bung Karno.