Lema “piting” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti apit atau jepit (dengan kaki atau lengan). Kata ini kemungkinan diserap dari sifat hewan kepiting, yang memiliki capit untuk menangkap dan memakan mangsanya. Kata "piting" juga biasanya akrab di arena gulat sebagai jurus untuk mengunci atau membuat lawan tidak mampu bergerak.
Kata “dipiting” baru-baru ini jadi viral usai Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyerukannya di hadapan jajaran prajurit TNI menyikapi kerusuhan di Pulau Rempang. Bermula dari instruksi Yudo kepada komandan satuan bawahan untuk memiting pelaku kerusuhan di sana. Sebenarnya Yudo bermaksud agar prajuritnya tidak menggunakan senjata atau kekerasan. Tapi, barangkali dia tidak menemukan kata yang tepat, sehingga terlontarlah kata “dipitingi aja satu-satu.”
Atas ucapan blundernya itu, Yudo mengaku salah dalam bertutur kata. Dia mengaku, waktu kecil suka bermain piting-pitingan dengan kawannya. Dia pun meminta maaf atas pernyataannya yang sempat menghebohkan publik itu. Permintaan maaf Yudo sekaligus mementahkan klarifikasi dari Kepala Pusat Penerangan TNI, yang menerangkan maksud kata dipiting adalah merangkul.
Baca juga: Ahmad Yani, Sang Flamboyan Pilihan Bung Karno
Berbicara soal piting-memiting, Jenderal Ahmad Yani juga pernah memiting orang. Tak tanggung-tanggung, yang dia piting adalah anaknya sendiri. Cerita ini dikisahkan langsung oleh putri ketiga Yani, Amelia Yani, yang menulis biografi ayahnya Profil Seorang Prajurit TNI.
Pada paruh kedua 1950, Yani beserta keluarganya pindah ke Jakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan staf dan komando di Amerika tahun 1956, Yani bertugas di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Semula Yani menjabat Asisten IV KASAD, kemudian naik menjadi Deputi I.
Keluarga Yani tinggal di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka bertetangga dengan keluarga Rukmito Hendraningrat. Saat itu, Yani dan Rukmito sama-sama berpangkat letnan kolonel. Rukmito bertugas sebagai komandan operasi Kodam Merdeka di Sulawesi Utara. Karena bertetangga, anak-anak Yani dan Rukmito berkawan karib dan sering main bareng.
Baca juga: Ahmad Yani Berkelahi
Sekali waktu, Untung, anak ketujuh dalam keluarga Yani, bermain dengan Yanto, putra tertua Rukmito. Namanya juga bocah, di tengah permainan mereka terlibat perkelahian. Karena Untung lebih kecil, dia kalah dan menangis. Untung menangis sejadi-jadinya.
“Ketika Bapak tahu, Bapak tidak suka melihat anak laki-lakinya menangis. Pulang dari kantor, Bapak mengajak Untung berkelahi, memiting, menjotos dan lain-lain,” tutur Amelia.
Setelah memberikan “pelajaran”, Yani memerintahkan Untung untuk kembali duel dengan Yanto keesokan harinya. Dan benar saja. Gantian Yanto yang menangis dibikin Untung. Begitulah cara Yani membentuk mental anak-anaknya.
Menurut Amelia, Yani bukanlah orang yang keras wataknya. Yani, kenang Amelia, jarang sekali marah, bahkan hampir tidak pernah. Meski begitu, ada kalanya pula Yani bersikap tegas atau menghukum anak-anaknya bila perlu.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis
Karier militer Yani sendiri terus melesat hingga mencapai pucuk pimpinan Angkatan Darat (AD). Pada pertengahan 1962, Presiden Sukarno menunjuk Yani sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang kemudian berganti sebutan menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Jabatan itu terus diemban Yani hingga akhir hayatnya pada 1965. Dia menjadi korban dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965. Setelahnya, pemerintah menganugerahi Yani gelar Pahlawan Revolusi bersama enam perwira AD lain yang turut menjadi korban.