Ketika menyerahkan surat kepercayaannya di Istana Negara pada 26 Juli 1965, kesabaran Duta Besar Amerika Marshall Green langsung diuji oleh Presiden Sukarno. Dalam sesi pertukaran pernyataan, Sukarno menyerang dengan keras kebijakan politik luar negeri AS. Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel Maulwi Saelan turut hadir dan memperhatikan gerak-gerik Green.
“Marshal Green pura-pura tidak mendengarkan serangan Bung Karno. Sebaliknya, ia dengan tertib berdiri dengan tegaknya di ruangan upacara, meskipun kemudian hari ia mengakui tidak tahan dan ingin pergi meninggalkan Istana,” kenang Saelan dalam Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa.
Green dalam memoarnya mencatat, perlu waktu berminggu-minggu bagi duta besar yang bertugas di Indonesia untuk memasuki upacara seperti itu. Penerimaan yang cepat ditafsirkan Green sebagai suatu penghormatan. Tetapi, kemudian dia sadar, Sukarno barangkali ingin menggunakan kesempatan awal ini untuk menghina duta besar AS yang baru.
Baca juga: Sukarno, Jones, dan Green
“Meskipun kebiasaan diplomatik akan membenarkan jika saya meninggalkan ruangan saat itu, saya tidak punya pilihan lain kecuali tetap berdiri di sana. Meninggalkan ruangan barangkali akan menyebabkan Sukarno menyatakan saya persona non grata, memaksakan kepergian saya dari Indonesia,” tutur Green dalam Dari Sukarno ke Soeharto: G30S-PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar.
Sedari awal Bung Karno menolak kehadiran Green untuk menggantikan Howard Jones sebagai duta besar AS di Indonesia. Green menyandang reputasi jelek karena di negara tempatnya bertugas sebelumnya terjadi kudeta kepemimpinan, seperti di Iran dan Korea Selatan. Meski demikian, Menteri Luar Negeri Soebandrio menyarankan Sukarno untuk tetap menerima Green demi langgengnya hubungan diplomatik AS dan Indonesia.
Green pernah dibuat resah ketika Bung Karno sekali waktu mengajaknya ke pesanggrahan kepresidenan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Saat itu beredar kabar tentang pejabat kedutaan Bulgaria yang meninggal karena tenggelam di pantai itu. Konon, sang pejabat mengenakan pakain dalam berwarna hijau saat berenang.
Baca juga: Siapakah Sebenarnya Nyi Roro Kidul?
Warna hijau disebut-sebut warna kesukaan penguasa Pantai Selatan Nyi Roro Kidul. Tradisi setempat menuturkan, penguasa Pantai Selatan akan mengambil tumbal orang yang berenang bila mengenakan pakaian warna hijau. Lukisan Nyi Roro Kidul paling terkenal karya Basuki Abdullah menjadi koleksi Presiden Sukarno di istana presiden di Yogyakarta. Itu sebabnya, Marshall Green selalu ragu apabila diajak Sukarno ke Pelabuhan Ratu.
“Pak Presiden, saya khawatir, jangan-jangan nama saya yang green, hijau, memikat Ratu Kidul. Saya masih ingin bermain-main di Pantai Florida, katanya,” sebagaimana dikisahkan Agus Dermawan T dalam Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan.
Yang paling menjengkelkan Green barangkali ketika Sukarno mendesaknya makan durian. Green diketahui membenci durian yang aromanya dia sebut seperti keju busuk. Saat itu, 28 September 1965, berlangsung upacara peletakan batu pertama pembangunan Universitas Indonesia. Green diundang bersama Duta Besar Albaran dari Meksiko. Setelah upacara usai, Sukarno naik ke atas panggung sambil membawa durian. Kemudian, dia menyerukan para mahasiswa berteriak, “makan, makan!” kepada Green.
“Saya terpaksa menelan makanan yang menjijikan itu demi kehormatan negara saya," kata Green.
Baca juga: Ketika Dubes AS Dipaksa Makan Durian
Itulah pertemuan terakhir Green dengan Sukarno. Setelahnya terjadi terjadi geger politik yang diawali Gerakan 30 September (G30S) 1965. Green menyaksikan peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Jenderal Soeharto. Desas-desus di kalangan Indonesia mengaitkan Green punya hubungan rapat dengan dinas intelijen AS (CIA). Namun, Green membantah anggapan tersebut dalam memoarnya. Green merupakan duta besar AS untuk Indonesia terakhir yang bertugas di masa kepresidenan Sukarno.