TIDAK ada orang yang ingin sakit. Selain rasa badan tak enak, sedikit-banyak akan merepotkan orang lain. Terlebih, bila uang untuk berobat tidak punya. Hal itulah yang dialami Atim, perempuan petani asal Probolinggo, pada awal dekade 1950-an.
Saat itu kemiskinan masih mendominasi Pulau Jawa. Selain roda pemerintahan baru mulai bisa berjalan normal setelah lima tahun “mandek” karena Perang Kemerdekaan, mayoritas penduduk Jawa yang berprofesi sebagai petani pun masih subsisten. Banyak dari mereka juga masih buta huruf. Akibatnya, cengkeraman kemiskinan hampir mustahil mereka lepaskan. Kondisi tersebut tak pernah beranjak sejak era kolonial.
“Harapan optimis bahwa potensi pribumi maupun Barat akan tumbuh bersama-sama dalam harmoni ekonomi, ternyat total urung dan berujung pada kekecewaan belaka. Gelombang baru liberalisme tidak membuat kesejahteraan meningkat, malahan menciptakan kemiskinan,” tulis Sindhunata dalam Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik.
Baca juga:
Perkawinan Anak yang Tak Kunjung Hilang
Dalam kondisi miskin itulah beban hidup Atim makin berat lantaran sakitnya tak kunjung sembuh. Praktis, dirinya hanya mengandalkan pertolongan keluarganya dan membuat beban hidup Kasim, ayahnya yang hanya petani miskin, makin berat.
Namun bukan ayah namanya bila tak peduli pada kesehatan anak. Kendati tanah garapan satu-satunya sudah tergadai karena utangnya yang Rp.20 tak mampu dilunasinya, Kasim tak mau menyerah demi mengobati putrinya. Dia lalu pergi ke rumah Raden Abdul Rasad, penghulu sekaligus tuan tanah di desanya.
RA Rasad lalu memberi Kasim utang. Namun, ada syarat yang dia berikan untuk utang itu. Koran De Weerheid tanggal 3 Februari 1954 memberitakan, tiap satu rupiah utang yang dikeluarkannya ada bunga satu sen tiap harinya. Dengan demikian, diperkirakan bunganya lebih dari 350 persen tiap tahunnya.
Kasim yang tak punya pilihan mau tak mau menerima ketentuan dari RA Rasad. Uang itu rencananya hendak dia bayarkan Rp.15 ke dukun dan sisanya untuk membeli obat yang terbuat dari getah daun.
Baca juga:
Dengan utang tersebut, Atim dan Kasim tentu harus bekerja lebih keras di sawah. Namun, kerja keras itu tetap tak mampu membuat utang mereka menjadi lunas dengan segera. Sampai akhirnya RA Rasad datang untuk menagihnya utang.
“Hai kuli, kapan kamu akan membayar hutangmu?” tanya raden.
“Kami sendiri tidak tahu, Tuan Besar,” jawab Kasim.
“Oh, kalian orang-orang pemalas tidak akan pernah mampu membayarnya kembali. Saya, juragan kalian yang baik, akan memberikan uluran tangan dan menghapuskan semua utang-utang kalian, tetapi kemudian Piati harus ikut dengan saya dan menikah dengan saya,” kata RA Rasad.
Piati adalah adik perempuan Atim yang masih berusia 16 tahun. RA Rasad sendiri dikenal seorang tukang kawin. Sebelum ingin mengambil Piati, RA Rasad setidaknya pernah kawin dengan delapan perempuan yang terbelit utang.
Sementara Piati tak kuasa untuk melawan keadaan tidak menyenangkan itu, Kasim sebagai ayah berusaha agar tidak kehilangan anaknya. Dia pun berkilah kepada RA Rasad.
“Bukankah kamu sudah menikah?" kata Kasim.
Baca juga:
Usaha Alot Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan
Tak mau kalah omong dari Kasim, RA Rasad berkilah juga dalam memberi jawaban. “Lagipula, besok aku akan menceraikannya. Saya penghulu di desa, jadi itu mudah diselesaikan,” kata RA Rasad menunjukkan kuasanya.
Atim tak bisa berbuat apa-apa menghadapi keadaan itu. Hanya terbesit dalam pikirannya, “mungkin lebih baik begini. Karena nanti setidaknya adikku punya sesuatu untuk dimakan.”
Piati akhirnya jadi istri RA Rasad. Namun, apa yang kemudian dialaminya membuat Atim muak. Piati sering dipukuli RA Rasad sang penghulu itu. Terlebih, RA Rasad ternyata sudah menambah istri lagi. Pada 30 Desember 1953, Piati akhirnya kabur dari rumah RA Rasad.
Mengetahui nasib malang adiknya, Atim kemudian bertindak. Dia mendatangi kawannya yang anggota Pemuda Rakyat, organ pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI). Kepada si kawan, Atim menceritakan masalah keluarganya dan terkhusus penderitaan adik perempuannya.
Kawan Atim yang anggota Pemuda Rakyat itu jelas tak mendiamkan derita Piati. Surat Atim soal utang keluarganya dan derita Piati itu dimuat di koran PKI, Harian Rakyat edisi 14 Januari 1954. Setelahnya, kemarahan massa PKI terhadap perkawinan Piati dan tuan tanah Rasad pun merebak.*