Minat Chairil Anwar terhadap dunia sastra memang telah terasah sedari remaja. Waktu bersekolah di MULO Medan, Chairil tercantum sebagai anggota redaksi majalah dinding Ons MULO Blad. Di sana, Charil kerap menuangkan karya dalam bentuk prosa. Di balik jiwa seninya, Chairil memiliki kepribadian yang nyentrik. Chairil yang gemar bermain pingpong itu akan selalu berteriak jingkrak-jingkrak kalau menang.
“Tingkah laku inilah yang menarik perhatian saya. Ah, jadi inilah Chairil Anwar,” tutur Hans Bague Jassin dalam bunga rampai Memoar Senarai Kiprah Sejarah Jilid 1. Waktu itu, Chairil siswa MULO (setara SMP) berusia 14 sedangkan Jassin lima tahun lebih tua dan duduk di bangku HBS (setara SMA).
Perkenalan Chairil dan Jassin selanjutnya terjadi di Batavia. Pada zaman pendudukan Jepang, Chairil menjadi penyiar radio Jepang sembari menulis puisi dan sajak. Sementara itu, Jassin bergiat di majalah Panji Pustaka sebagai wakil pemimpin redaksi. Mereka terlibat aktif diskusi sastra yang diselenggarakan Himpunan Sastrawan Angkatan Baru. Dalam wadah itu, Chairil dan Jassin mulai bersahabat karib.
Baca juga:
Inilah 8 Perempuan Gebetan Penyair Chairil Anwar
Chairil, seperti diakui Jassin kerap kali bertindak sesuka hati. Seperti misalnya, bertandang ke rumah atau ke kantor Jasin tanpa kenal waktu. Pernah pula Chairil berkunjung ke rumah Jassin menumpang becak dan meminta Jassin yang membayar ongkos becaknya. Jassin paling sebal dengan kebiasaan Chairil yang suka pinjam buku tapi lupa mengembalikan.
Karena menyadari bakat dan potensi Chairil, Jassin maklum saja menghadapi ulah sahabatnya itu. Namun tidak demikian dengan kawan-kawan sastrawan yang lain. Pasalnya, Chairil suka petantang-petenteng. Dia tidak sungkan mengangkat kaki ketika duduk atau berbicara lantang ketika mengkritik orang. Banyak pengarang tua, seperti Aman Datuk Mandjoindo dan Tulis Sutan Sati yang tidak menyukai sikap Chairil. Datuk Mandjoindo bahkan pernah berujar dengan wajah berang, “Gantung saja dia”.
Pada 1945, Jassin bersama rekan-rekannya menerbitkan majalah Pantja Raja sebagai ganti Panji Pustaka. Sajak-sajak Chairil Anwar pun diberi tempat untuk dimuat dalam Pantja Raja. Nama dan reputasi Chairil sebagai penyair semakin menjulang. Namun menurut Jassin, Chairil tetap tidak pernah mengubah perangainya.
Baca juga:
Ketika Chairil Anwar Berdebat dengan Serdadu Belanda
Hingga pada 1949, tali persahabatan itu pun merenggang. Waktu itu, Jassin sedang bermain sandiwara berjudul Api karya sutradara kenamaan Usmar Ismail di Gedung Kesenian Jakarta. Di belakang layar, Jassin mempersiapkan diri untuk melakoni peran sebagai seorang mantri yang bekerja pada seorang apoteker. Rosihan Anwar yang berperan sebagai apoteker menyimpan keinginan untuk menghancurkan musuh dengan alat peledak racikannya. Jassin dalam peran itu, mengetahui rahasia tersebut namun tidak boleh buka mulut.
Sementara Jassin meresapi peran itu dalam-dalam, tiba-tiba tubuh kurus Chairil Anwar datang lalu-lalang di depannya. Tanpa basa-basi, Chairil mencibiri Jassin. Rupanya Chairil tersinggung dengan tulisan Jassin yang mengulas puisinya “Krawang-Bekasi” di majalah Mimbar Indonesia. Ulasan itu diberi judul “Karya Asli, Saduran, dan Plagiat”. Beberapa kalangan sastrawan saat itu menganggap puisi herois Chairil itu menyadur dari sajak bertajuk “The Dead Young Soldiers” karya sastrawan Amerika Archibald MacLeash.
“Kamu cuma bisa menyindir saja! Tak ada yang lain,” teriak Chairil. Semprotan itu bikin konsentrasi Jassin yang terlanjur meresapi peran mantri yang tertekan itu buyar seketika. Dengan emosi tersulut, Jassin merespon omelan Chairil secara spontan.
Baca juga:
“Saya juga bisa lebih dari itu!” kata Jassin. Tanpa banyak cakap, Jassin segera melayangkan kepalan tangannya ke arah Chairil. Bogem mentah itu menyebabkan tubuh kurus Chairil terpelanting. Orang-orang berkerumun menyaksikan perkelahian itu lalu melerainya. Chairil didorong keluar. Uniknya, pertunjukan sandiwara tetap berlanjut setelah keributan itu. Chairil bahkan mengambil tempat duduk di depan menonton pertunjukan Sesekali tangannya menunjuk-nunjuk Jassin. Barangkali karena masih jengkel.
Pasca insiden itu, terbetik kabar bahwa Chairil sering mengunjungi Taman Siswa tempat pelukis Affandi biasa melukis. Tapi Chairil datang ke sana bukanlah untuk belajar melukis melainkan latihan angkat besi. Rupanya Chairil menyiapkan diri untuk “tanding ulang” melawan Jassin alias balas dendam.
Suatu sore, Chairil muncul di ruang tamu kediaman Jassin. Melihat pertanda buruk, Jasin bersiap pasang badan menghadapinya. Namun tiba-tiba, Chairil dengan gayanya yang khas berkata, “Jassin, saya lapar.” Permusuhan di antara mereka seketika lenyap. Demikianlah, setelah makan bersama persahabatan sepasang sastrawan pun terajut kembali.
Ketika Chairil wafat pada 26 April 1949, Jassin turut mengantarkannya ke pemakaman Karet. Jassin menyebut Chairil sebagai sastrawan pelopor angkatan 45. Untuk menghormati sahabatnya itu, pada 1959, Jassin menerbitkan biografi berjudul Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45. Jassin sendiri kelak dikenal sebagai “Paus Sastra Indonesia”. Namanya diabadikan sebagai Pusat Dokumentasi Sastra terlengkap di Indonesia.