SEORANG mahasiswi kedokteran bernama Karmila hamil setelah diperkosa Feisal dalam sebuah pesta. Feisal lalu menikahi si mahasiswi tadi. Feisal menyesali kejahatannya.
Betapapun Karmila sulit menerima pemerkosanya, seorang jabang bayi kemudian lahir dari rahimnya. Karmila sulit menerima kenyataan itu mulanya. Namun sikap Feisal lama-kelamaan membuat Karmila bisa menerimanya dan anaknya. Begitulah sinopsis cerita film Karmila (1973).
Di lain tempat, waktu, dan cerita, seorang mahasiswa kedokteran bernama Leo bertaruh dengan kawan-kawannya (termasuk Johny) bahwa dia bisa mendekati hati Siska. Siska merupakan adik Johny yang sedang patah hati karena tunangannya menikahi sahabatnya sendiri.
Leo akhirnya dengan tulus membuat Siska keluar dari patah hatinya. Setelah Siska berhasil bangkit dari patah hatinya, taruhan Leo dan kawan-kawannya terbongkar. Leo pun ditinggalkan Siska. Namun setelah mengalami hal-hal buruk bersama Helmi—yang sempat menikah dan punya anak, Siska kembali ke Leo yang akhirnya jadi dokter. Begitulah kisah film Badai Pasti Berlalu (1977), salah satu film terbaik Indonesia. Leo diperankan Roy Marten dan Siska diperankan Christine Hakim.
Di balik dua cerita film yang masing-masing menyajikan karakter mahasiswa kedokteran tadi, ada mantan mahasiswa kedokteran yang menjadi pengarangnya. Namanya Tjoa Liang Tjoe alias Margaretha Harjamulia yang beken sebagai Marga T.
"Setelah Soeharto memperkenalkan aturan ganti nama, Marga pun mengganti namanya. Selama dia menulis cerpen dan novel, dia menggunakan nama penanya, Marga T. Ada anggapan bahwa T adalah inisial untuk nama marga Cina sebelumnya, Tjoa, tetapi dia mengatakan bukan itu masalahnya. Ia menerangkan Marga T jika disingkat menjadi MT, dan jika MT diucapkan dalam bahasa Inggris, terdengar seperti 'kosong'," tulis Leo Suryadinata dalam Peranakan Chinese Identities in the Globalizing Malay Archipelago.
Baca juga: Misteri Fredy S
Marga T lahir di Jakarta, 25 September 1943. Menurut Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, ia pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta.
Ketika berusia 21 tahun, nama Tjoa Liang Tjoe muncul di koran Sin Po lewat tulisan cerita pendek berjudul “Kamar 27”. Pada 1969, novelnya yang berjudul Rumahku adalah Istanaku terbit. Di masa-masa menulis itu dia masih berstatus sebagai mahasiswa kedokteran.
Novel Karmila sebagai “anak rohani” Marga T punya sejarah unik. Karya itu mulanya hanyalah cerita bersambung di harian Kompas era 1970-an. Cerita tentang mahasiswi kedokteran yang malang itu dibaca banyak orang di koran yang oplahnya besar ini.
“Barangkali untuk pertama kali dalam sejarah pemuatan cerita bersambung di koran, cerita Marga T. itu mendapat perhatian sangat besar dari para perempuan pembaca,” catat Sapari Djoko Damono dalam Politik Ideologi dan Sastra Hibrida.
Baca juga: Sastrawan Peranakan yang Terlupakan
Lantaran punya banyak penggemar, kisah Karmila lalu diterbitkan menjadi novel. Lalu pada 1973, kisah Karmila menjadi cerita sebuah film. Tokoh Karmila diperankan oleh Muriani Budiman dan Feisal diperankan Awang Darmawan.
Tak hanya sekali, kisah Karmila dibuatkan lagi filmnya pada 1981 dengan judul Dr Karmila. Disutradarai Nico Pelamonia, tokoh Karmila dalam Dr Karmila diperankan Tanty Josepha dan Feisal diperankan Robby Sugara. Film ini menang untuk kategori aktris dan sutradara terbaik dalam Festival Film Indonesia 1982.
Pada 1997, versi sinetron kisah Karmila yang berjudul Karmila juga dibuat dan ditayangkan di Indosiar. Tokoh Karmilanya diperankan Paramitha Rusady.
Setelah sukses dengan kisah Karmila, Marga T sukses lagi pada 1974 lewat novel Badai Pasti Berlalu. Sama seperti Karmila, sebelum dinovelkan Badai Pasti Berlalu juga dimuat di harian Kompas pada Juni-September 1972. Sutradara Teguh Karya pada 1977 memfilmkan Badai Pasti Berlalu. Musik dalam film itu bahkan juga menjadi bagian terbaik dalam sejarah musik Indonesia.
Baca juga: Rahasia Dini
Marga T sendiri baru jadi dokter sekitar 1975, setelah menulis cerita fiksi yang sukses di Indonesia. Berkat novelnya yang sukses, catat Sam Setyautama, Marga T bisa mengunjungi Eropa. Dia melanjutkan kuliahnya.
"Namun, kualifikasi (kuliah kedokteran, red.) Indonesianya tidak diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia, dan dia harus belajar kedokteran lagi di Wolfgang von Goethe Universitat–Frankfurt. Pada 1979 ia lulus ujian yang diminta oleh ECFMG (Educational Commission for Foreign Medical Graduates) untuk mengizinkannya berpraktik sebagai dokter di Amerika Serikat. Dia bekerja untuk sementara di Texas tetapi memutuskan untuk pulang ke rumah untuk menjadi 'dokter desa' di Indonesia," tulis Leo Suryadinata.
Di Jerman, dia menemukan kawan kuliahnya di Trisakti yang telah menjadi insinyur kimia. Mereka menikah lalu tinggal di Jerman.
Produktivitas Marga T tak berhenti usai menikah. Dari imajinasi dan ketikan tangannya, novel-novel lain kemudian lahir. Novel-novel itulah yang membuat nama Marga T populer di tanah air. Novel-novel itulah yang kini menjadi satu-satunya “penghubung” dengan Marga T usai dirinya tutup usia pada 18 Agustus 2023 ini dalam usianya yang mendekati 80 tahun. Selamat jalan, Marga T.*