MALAM telah larut saat rangkaian kereta api yang mengangkut berbagai barang dan paket bernilai tinggi melintas menuju London pada awal Agustus 1963. Mulanya tak ada hal aneh yang terjadi di sepanjang perjalanan kereta api yang berangkat dari Glasgow, Skotlandia, tersebut. Namun, ketika kereta melintasi kawasan Buckinghamshire di Sears Crossing, dekat desa Ledburn, terjadi aksi perampokan yang di kemudian dikenal dengan The Great Train Robbery.
Sejumlah nama yang disebut sebagai pelaku aksi perampokan itu, di antaranya Bruce Reynolds, pria jangkung dan berambut cokelat berusia 32 tahun yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang barang antik; Ronald Christopher “Buster” Edwards, mantan petinju bertubuh kekar yang mengelola sebuah klub malam; Charlie Wilson, pria berusia 31 tahun yang mengelola sebuah toko bahan makanan; serta Gordon Goody, seorang pria muda yang pernah ikut ambil bagian dalam Perang Dunia II.
Dalam majalah Life, 8 April 1966, dikisahkan Goody memiliki kebiasaan buruk yang berseberangan dengan citranya sebagai seorang pahlawan perang. “Jika Goody mencuri £200.000 malam ini, dia akan mencuri £20 besok hanya untuk iseng. Ketenangan, pengalaman, dan keberaniannya membuat partisipasinya dalam aksi perampokan ini menjadi wajib,” tulis Life.
Baca juga: Intel Indonesia Mengejar Perampok Inggris
Periode tahun 1950–1960-an menjadi masa-masa cukup berat bagi sejumlah negara di Eropa, termasuk Inggris. Sebab, negara itu tengah berupaya untuk bangkit setelah berhasil memenangkan Perang Dunia II. Pada awal tahun 1960-an, kehidupan banyak warga London dilanda kemiskinan dan menjemukan. Penghematan jatah pascaperang masih membekas dalam ingatan, yang baru berakhir enam tahun sebelumnya. Kondisi inilah yang mendasari Bruce Reynolds dan kawan-kawannya melakukan aksi kriminal.
Namun, pertemuan dengan Brian Field, seorang pria yang bekerja di bidang hukum, membuka kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari tindak kejahatan. “Terdorong oleh keuntungan besar yang dapat dihasilkan, Field kerap memberikan rincian mengenai klien-klien firma hukumnya kepada Buster Edwards maupun Gordon Goody sebagai target potensial,” demikian termuat dalam The Crime Book yang diterbitkan oleh DK Publishing.
Di awal tahun 1963, Field memperkenalkan Edward dan Goody kepada seorang pria yang dikenal sebagai “the Ulsterman”. Pekerja pos Manchester yang korup ini membawa berita menarik yakni, sejumlah besar uang tunai dibawa dengan kereta api pos malam hari dari Glasgow ke London. Aktivitas ini berkaitan dengan praktik moneter Inggris yang terbilang unik. Kala itu negara tersebut memberlakukan Hari Libur Bank selama tiga hari yang umum diselenggarakan pada setiap musim panas. Selain itu bank-bank Skotlandia juga masih memiliki hak istimewa untuk menerbitkan uang kertas.
“Meskipun uang kertas Bank of England (satu-satunya alat pembayaran yang sah yang diterbitkan di tempat lain di Britania Raya) juga berlaku di Skotlandia, bank-bank Skotlandia juga memiliki kepentingan untuk mempertahankan uang mereka sendiri yang beredar di masyarakat. Oleh karena itu, mereka mengumpulkan semua mata uang ‘Inggris’ yang mereka terima setiap hari dan mengirimkannya kembali ke bank-bank di London,” tulis Life. Informasi ini tentu menarik perhatian kedua pria tersebut yang segera membawa informasi itu kepada Bruce Reynolds, penjahat berpengalaman yang namanya telah tersohor di London selatan.
Baca juga: A.W.V. Hinne, Sherlock Holmes dari Hindia Belanda
Para pentolan kelompok itu menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mempersiapkan rencana perampokan kereta api. Mereka mempelajari aktivitas dan proses pengiriman uang tersebut. Selain itu, mereka juga merekrut sejumlah orang untuk membantu proses eksekusi. Di antara mereka ada Ronald Biggs, 34 tahun, tukang kayu dan penjahat paruh waktu yang mengagumi Bruce Reynolds– hal ini yang membuatnya menjadi orang yang paling bisa diandalkan; Jimmy White, 44 tahun, “penjahat kelas kakap” yang pernah menjadi penerjun payung dan tukang kunci yang mampu membuka apa saja; Roger John Cordrey, 41 tahun, seorang penjudi yang juga ahli listrik dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengubah sinyal; Roy “The Weasel” James, 28 tahun, seorang pencuri dan pembalap yang tidak asing lagi dengan kendaraan yang dapat digunakan untuk melarikan diri. Serta tak ketinggalan, Brian Field yang mengatur pembelian Leatherslade Farm, tempat persembunyian kelompok penjahat ini setelah melakukan perampokan.
Rencana yang dibuat terbilang sederhana tetapi rapi. Mulanya, kelompok ini akan menghentikan kereta yang melintas di Buckinghamshire, sebuah area pedesaan di Sears Crossing, dengan membuat sinyal perlintasan terganggu. Meski begitu, walau tempat ini sangat cocok untuk menghentikan kereta, tanggul yang tinggi membuat kelompok itu sulit untuk menurunkan barang jarahan. Untuk itu, kereta api akan dipindahkan ke Jembatan Bridego di dekatnya.
Baca juga: "Steve McQueen" Merampok Duit Haram Presiden
Sementara itu, setelah melakukan riset aktivitas kereta api barang, mereka mengetahui bahwa kereta yang mengangkut barang maupun surat biasanya panjang dan gerbongnya diawaki hingga delapan puluh pekerja pos yang menghabiskan waktu selama perjalanan untuk menyortir surat dan paket. Mereka pun tahu bahwa paket bernilai tinggi (HVP) disimpan di gerbong kedua dari depan, sehingga kelompok ini berencana untuk membongkar dua gerbong pertama. Begitu mereka mencapai Jembatan Bridego, mereka dapat menurunkan karung-karung berisi barang-barang yang telah diperiksa dengan menggunakan rantai manusia dari tanggul yang tinggi ke sebuah truk yang sudah menunggu di jalan di bawahnya.
Reynolds ingin agar rencana yang telah dibuatnya berjalan sempurna. Oleh karena itu, untuk berjaga-jaga jika masinis yang dibajak menolak membantu mereka, ia menugaskan salah satu anggota kelompoknya untuk belajar mengemudikan kereta. Anggota ini menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mempelajari buku petunjuk lokomotif, dan dengan menyamar sebagai guru sekolah, ia membujuk seorang masinis di jalur pinggiran kota untuk mengajaknya berkendara, di mana ia dengan seksama memperhatikan cara masinis tersebut bekerja. Selain itu, Reynolds juga merekrut seorang masinis yang sudah berpengalaman untuk berjaga-jaga. Rencana yang disusun boleh dibilang sudah sempurna, dan para anggota kelompok Reynolds juga telah siap menjalankannya.
Baca juga: Kasus Pencurian Uang yang Menggegerkan Hindia Belanda
Tepat sebelum jam 7 malam pada hari Rabu, 7 Agustus 1963, kereta meninggalkan Glasgow, dengan masinis veteran Jack Mills didampingi oleh David Whitby sebagai pengemudi. Gerbong HVP membawa lebih dari 26 juta poundsterling dalam bentuk uang tunai. Pada saat kereta mencapai Sears Crossing, para anggota kelompok Reynolds telah lebih dahulu merusak lampu sinyal; mereka menyelipkan sarung tangan di atas lampu hijau untuk memadamkannya dan menyambungkan tanda merah “berhenti” ke baterai yang terpisah. Mills yang terkejut kemudian menghentikan kereta api, sementara Whitby turun untuk menyelidiki. Ketika ia mencoba untuk melapor melalui telepon di pinggir rel, ia menemukan kabel lampu sinyal telah dipotong.
Saat Whitby hendak berjalan kembali ke arah kereta, ia dilempar ke bawah tanggul curam oleh sejumlah orang yang mengenakan pelindung kepala dan masker ski. Sementara itu, beberapa orang yang mengenakan topeng dan sarung tangan naik ke dalam gerbong Mills dan membuatnya pingsan dengan sebatang besi; yang lainnya menuju gerbong HVP dan memborgol para pekerja pos.
Meski rencana yang disusun Reynolds dan kawan-kawannya sudah sempurna, saat eksekusi dilakukan mereka baru mengetahui bahwa masinis yang sudah berpengalaman yang direkrut untuk menjalankan aksi ini ternyata tidak dapat mengoperasikan lokomotif diesel-listrik kelas 40 yang canggih. Akibatnya mereka memaksa Mills untuk membawa kereta menuju Jembatan Bridego. Setibanya di sana, satu per satu kantung dioper untuk diangkut ke dalam truk yang tersedia. Dengan memperingatkan para pekerja pos yang diborgol di dalam gerbong HVP untuk tidak menelpon polisi selama 30 menit, kelompok Reynolds berhasil kembali ke tempat persembunyian mereka di Leatherslade Farm.
Baca juga: Ketika Pangeran Inggris Jadi Korban Pencurian
Aksi perampokan ini memang berjalan dengan baik, namun bukan berarti tanpa celah. Kejahatan seperti ini tidak hanya berisiko tetapi juga sangat menguras tenaga, dan banyaknya orang yang terlibat dalam operasi ini terbukti menjadi kelemahan terbesar yang berujung pada terbongkarnya perampokan legendaris tersebut. Bukan karena pembagian uang yang tidak adil – para pemimpin kelompok ini justru memilih untuk membagi hasil rampokan secara merata, agar tidak menimbulkan perpecahan- tapi karena anggota kelompok ini cenderung tidak peduli dan abai mengenai keamanan informasi. Tak sedikit di antara mereka yang memamerkan barang-barang yang mereka beli dari uang hasil curian, selain itu ada pula yang bicara mengenai rencana yang disusun untuk menjalankan operasi itu kepada pencuri lain. Hal ini yang kemudian membantu pihak kepolisian menelusuri jejak para pelaku perampokan itu.
Sebuah informasi tak terduga semakin membuka jalan bagi polisi juga mendapat informasi dari penduduk yang tinggal di dekat Leatherslade Farm. Ia melaporkan adanya aktivitas yang tidak biasa di peternakan tersebut. Polisi melakukan penyelidikan. Hasilnya, sebuah sidik jari ditemukan dan persekongkolan itu runtuh meski perencanannya sudah matang.
Sebelas perampok dengan cepat ditangkap di London selatan. Mayoritas dari sebelas orang itu dipenjara selama 30 tahun. Namun, beberapa waktu berselang, dua di antara mereka melarikan diri dari penjara –pada Agustus 1964, teman-teman Charlie Wilson masuk ke Penjara Winson Green di Birmingham untuk mengeluarkannya; sedangkan pada Juli berikutnya, Ronnie Biggs memanjat tembok di Penjara Wandsworth, London.*