Sosok Adolf Wilhelm Verbond Hinne begitu populer di kalangan masyarakat Batavia pada awal abad ke-20. Selama lebih dari 20 tahun bertugas sebagai polisi di Batavia, ia turut andil dalam penangkapan tokoh-tokoh terkenal, salah satunya Si Pitung.
Sebelum bertugas sebagai polisi di Batavia, pria kelahiran Borneo pada 1852 itu memulai kariernya di kantor Keresidenan Padang, Sumatra Barat. Ia juga pernah menjadi kepala kantor pos di Ternate dan penjaga hutan di Jawa Tengah.
Menurut Margreet van Till dalam Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api, karier Hinne di kepolisian dimulai dari jabatan onderschout di wilayah Batavia, yakni di kawasan Tanah Abang. Kemunculannya sebagai polisi di Batavia terjadi pada 1887.
Hinne dikenal sebagai sosok polisi pemberani. Dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10 Februari 1915, disebutkan saat bertugas sebagai schout di Diestpoort, sebutan untuk Glodokplein saat itu, Hinne segera melakukan sejumlah aksi untuk melawan para preman yang kerap membuat kota Batavia menjadi tidak aman.
Baca juga: Bandit Menguasai Malam di Batavia
Mengutip surat kabar Java Bode, 26 Maret 1903, Margreet van Till menyebut Hinne bersama satu kesatuan khusus diperintah untuk membersihkan Ommelanden (wilayah di luar tembok kota) dari gerombolan perampok.
Sosok Hinne kian populer setelah ambil bagian dalam menangani sejumlah kasus yang menjadi perbincangan publik, mulai dari operasi penangkapan Si Pitung hingga mengungkap kematian Fatimah, seorang perempuan yang ditemukan terbunuh dan dirampok di tanah properti seorang tuan tanah Arab.
Margreet van Till menyebut aksi Hinne menangkap para jago yang tersohor di kawasan Batavia tersebut menjadi cerita bersambung di surat kabar Bataviaasch Handelsblad pada 1913 berjudul “De Indische Sherlock Holmes” yang menjadikan Hinne sebagai model. Dalam tulisan itu, dikisahkan Hinne mengenakan pakaian seperti kusir sado dalam operasi penangkapan Gantang, yang meski telah berhasil ditangkap, dapat melarikan diri dari penjara.
Kisah penangkapan Si Pitung tak kalah menarik perhatian publik. Salah satu jago yang terkenal pada abad ke-19 itu dikenal luas sebagai pembela para petani yang mendapat perlakuan sewenang-wenang dari para tuan tanah.
Baca juga: Bandit-Bandit Kakap Batavia dan Sekitarnya
Pada 1893, dikisahkan Hinne mendapat informasi bahwa Si Pitung berada di Kampung Bambu, yang berada di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis, kini Jatinegara. Namun, di tengah perjalanan, Hinne mendengar kabar dari seorang penyelidik bahwa Si Pitung tengah menuju perkuburan di Tanah Abang.
“Sang schout dan para pembantunya mengepung perkuburan itu sehingga Si Pitung tidak dapat melarikan diri. Dua pembantu Hinne tentu saja memberi tanda bahwa Pitung berada di antara kuburan tersebut,” tulis Margreet van Till.
Si Pitung memakai celana pendek dan membawa sarung revolver berpola. Baku tembak tak terhindarkan. Tembakan demi tembakan diarahkan kepada Si Pitung hingga mengenai sejumlah bagian tubuhnya. Tak berselang lama Si Pitung kemudian tewas. Kematian Si Pitung membuat Hinne menerima banyak pujian. Ia kemudian diangkat menjadi schout dengan wilayah tugas keseluruhan residen Batavia.
Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie menyebut keberhasilan Hinne menjalankan tugasnya sebagai polisi di Batavia adalah kemampuannya dalam memilih orang yang cocok untuk menjadi mata-mata dan asistennya.
Nama Hinne kembali menjadi sorotan saat ia turut ambil bagian dalam penyelidikan kasus kematian Fatimah. Ketika tiba di tempat kejadian, rumah perempuan tersebut telah digeledah atas inisiatif kontrolir kepolisian W.H.L. Johan. Di dalam rumah itu tak ditemukan materi-materi bukti terkait kematian Fatimah.
Seminggu kemudian Hinne menemukan lima tersangka, salah satunya kontrolir kepolisian Johan. Setelah penyelidikan lanjutan ditemukan fakta bahwa banyak barang bukti yang dihancurkan oleh bawahan Johan.
Temuan itu kian meruncingkan perdebatan antara Johan dengan Hinne. Namun, dari kasus kematian Fatimah itu pula nama Hinne kian harum di kalangan publik. “Dalam kasus ini, Hinne dianggap sebagai satunya-satunya pejabat polisi yang jujur,” tulis Margreet van Till.
Baca juga: Siapa Sebenarnya Si Pitung?
Karier Hinne kian menanjak setelah memperoleh kenaikan pangkat sebagai asisten kepala komisaris tahun 1911. Namun, ia tidak dapat mencapai pangkat tertinggi sebagai kepala komisaris kepolisian.
Menurut Margreet van Till ada sejumlah kemungkinan yang memengaruhi hal tersebut, di antaranya faktor usia serta latar belakang Hindia dan kurangnya pengetahuan teknis. Sementara itu, kematian bawahannya yang tak sengaja menarik pelatuk saat tengah membersihkan senjata Hinne berdampak besar hingga membuatnya terpuruk secara psikis. Hinne kemudian mengajukan pensiun setelah menerima bintang tanda jasa kedua.
Setelah kematiannya tahun 1915, Hinne seakan menjadi legenda. Margreet van Till menyebut kisah-kisah Hinne selama bertugas sebagai polisi di Batavia disiarkan oleh radio Nederlands-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM) pada 1932 untuk menghibur para pendengar.
Selain itu, muncul satu cerita fiksi detektif berbahasa Melayu berjudul Fatima karangan F. Wiggers. Seperti halnya tokoh Sherlock Holmes karangan Sir Arthur Conan Doyle, dalam cerita detektif tersebut, Hinne memecahkan misteri pembunuhan Fatima untuk mengungkap kebenaran dan pelakunya.*