Seorang tokoh asal Tiongkok, Tjong A Fie pergi meninggalkan duka bagi kota Medan. Ia berperan dalam bidang ekonomi hingga pembangunan dan sosial.
Tjong A Fie lahir pada 1869 di Distrik Meixian, Guang Dong, Tiongkok, dengan nama Tjong Fung Nam. Ia juga dikenal sebagai Tjong Yiauw Hian. Terlahir dari keluarga yang tergolong miskin, sehingga ia tidak menyelesaikan pendidikannya. Aktivitas kesehariannya bekerja di toko kelontong milik keluarganya.
Saat berusia 17 tahun, Tjong A Fie mengikuti jejak kakaknya, Tjong Yong Hian, meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu nasib di Labuan Deli, Sumatra. Ketika itu, Tjong Yong Hian telah lebih dulu tinggal di Medan. Di sana, Tjong A Fie bekerja di toko kelontong milik orang Tionghoa yang ia kenal di perkumpulan Tionghoa di Medan.
Baca juga:
28 Januari 1939: Ordonansi Kontrak Kopra di Manado
Kakak beradik itu kemudian sukses merintis bisnis. Mereka membangun hubungan baik dengan penguasa Belanda dan Kesultanan Deli. Mereka juga menjalin relasi dengan para pebisnis asal Tiongkok di Sumatra dan sekitarnya.
Pada 1906, Tjong A Fie dan Tjong Yong Hian, bekerja sama dengan pengusaha asal Penang, Cheong Fatt Tze, untuk membangun Chao Chow dan Sukow Railway, lintasan kereta api pertama di Tiongkok. Pembangunannya dilakukan dan dibiayai oleh orang-orang Tiongkok di perantauan.
Atas dedikasinya, Tjong bersaudara pun memperoleh banyak penghargaan dari pemerintah Kekaisaran Tiongkok. Salah satunya Tjong A Fie memperoleh gelar kehormatan dari Universitas Hong Kong pada 1907.
Di kalangan Belanda, Tjong A Fie dikenal sebagai penengah kala terjadi keributan di wilayah perkebunan. Pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai letnan Tionghoa yang membuatnya hijrah ke Medan. Melihat kemampuan dan kiprahnya, pada 1911 Tjong A Fie dipilih sebagai kapitan Tionghoa menggantikan saudaranya yang wafat untuk memimpin komunitas Tionghoa di Medan.
Dari Kerajaan Belanda, Tjong A Fie juga menerima sejumlah penghargaan, termasuk tanda kehormatan Orde van de Oranje-Nassau. Ia juga merupakan pendiri lembaga ilmu pengetahuan Koninklijk Instituut voor de Tropen.
Baca juga:
15 Januari 1932: Malaise Membuat Belanda Masuk Kampung
Sebagai Kapitan Tionghoa, Tjong A Fie tak hanya dikenal sebagai pemimpin yang bijak, ia juga dikenal murah hati. Selama masa itu, ia berkomitmen mengembalikan sebagian kekayaannya kepada masyarakat Medan, tanpa membedakan ras dan agama.
Tak hanya pemerintah Belanda, kesan positif juga didapat Tjong A Fie dari Kesultanan Deli. Sultan Deli bahkan sempat menjadikannya orang kepercayaan untuk menangani urusan bisnis. Di kalangan para pedagang pun Tjong A Fie dikenal bereputasi baik.
Kedekatan dengan Sultan Deli menjadi awal mula kesuksesan Tjong A Fie dalam merintis bisnis. Ia memperoleh konsesi menyediakan atap daun nipah untuk keperluan perkebunan tembakau. Ia kemudian memperluas ekspansi bisnisnya ke sektor pertambangan. Hal ini termuat dalam Besluit No. 78, 9 Mei 1912 koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, berisi tentang perizinan yang diperoleh Tjong A Fie dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk melakukan pengeboran sumur minyak di daerah Pulau Brayan, Sumatra Timur.
Dalam Berjuang dengan Uang: Mempertahankan dan Memajukan Republik Indonesia, Semangat Juang Otoritas dan Masyarakat Sumatera Utara, di bidang ekonomi Tjong A Fie tak hanya dikenal sebagai pengusaha, melainkan juga seorang bankir. Hal ini terlihat manakala ia dan mayor Tionghoa di Batavia, Khouw Kim An, mendirikan bank swasta Bataviasche Bank.
Baca juga:
2 Desember 1918: DJB Agentschap Koetaradja Didirikan di Aceh
Di bidang sosial, Tjong A Fie membangun sekolah, rumah sakit, fasilitas umum, dan rumah-rumah ibadah seperti vihara, masjid, dan gereja di Sumatra, Malaysia, dan Tiongkok. Ia merupakan sosok yang dihormati oleh masyarakat Medan karena terkenal akan kepemimpinannya yang dermawan.
Tjong A Fie meninggal dunia pada 4 Februari 1921. Kepergiannya menjadi duka bagi kota Medan. Meski telah lama pergi, sebagaimana termuat dalam arsip KIT Sumut 390/6 tahun 1930 (ANRI), makam Tjong A Fie terus dikunjungi orang-orang untuk melakukan peribadatan.*