2 Desember 1918: DJB Agentschap Koetaradja Didirikan di Aceh
Upaya Belanda menguasai Aceh secara ekonomi. Salah satunya dengan mendirikan kantor cabang baru DJB di Aceh.
Ambisi menguasai Aceh membuat Belanda mengubah strategi dengan menerapkan Politik Pasifikasi. Kebijakan tersebut untuk menghidupkan perekonomian Aceh melalui pembangunan sarana dan prasarana ekonomi. Salah satunya mendirikan cabang DJB Koetaradja (kini Banda Aceh) pada 2 Desember 1918.
Terlepas dari politik dan kekuasaan, ekonomi juga menjadi alasan lain bagi Belanda untuk menghegemoni Aceh. Pendorongnya pembukaan Terusan Suez (1869) dan terbitnya Undang-Undang Agraria 1870.
Dibukanya Terusan Suez membuat pelayaran dari Eropa menuju Asia menjadi lebih singkat. Pelayaran dan perdagangan di wilayah Asia pun semakin ramai. Akibatnya, persaingan pelayaran dan perdagangan antar bangsa-bangsa Barat kian tak terhindari.
Baca juga: Berebut Kendali Terusan Suez
Posisi Aceh menjadi penting bagi bangsa Barat lantaran berada di pintu gerbang Selat Malaka. Inilah yang membuat Belanda khawatir Aceh akan jatuhnya ke bangsa Barat lain. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Belanda menginvasi Aceh secara masif.
Pemberlakuan UU Agraria 1870 dengan prinsip-prinsip liberalisme menjadi landasan bagi Belanda untuk membuka Aceh sebagai wilayah investasi swasta. Dalam perjalanannya, Gubernur Militer dan Sipil Aceh, Johannes Benedictus van Heutsz mengubah strategi Belanda dengan menerapkan kebijakan Politik Pasifikasi sejak akhir abad ke-19.
Mawardi Umar dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal: Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh menulis, Politik Pasifikasi merupakan upaya Belanda menaklukkan Aceh dengan pembangunan infrastruktur ekonomi pasca perang. “Selain melanjutkan operasi militer juga dilakukan perbaikan prasarana ekonomi untuk menarik simpati rakyat Aceh agar menghentikan perlawanan,” tulis Mawardi.
Seiring dibukanya Aceh sebagai wilayah investasi, infrastruktur seperti kereta api, pelabuhan, dan jalan raya pun dibangun. Masuknya modal swasta menjadi awal ekspansi perkebunan di Aceh, salah satunya karet. Konsesi perkebunan karet paling banyak di Aceh Timur.
Baca juga: Kemenangan dan Kegagalan di Aceh
Dalam buku Seuneubok Lada, Uleebalang, dan Kompeni: Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas: Aceh Timur 1840–1942 tercatat hingga tahun 1912 jumlah konsesi perkebunan karet mencapai 18. Angka tersebut terus meningkat bahkan pada 1921 jumlahnya mencapai 31 konsesi yang dimiliki 21 perusahaan.
Selain karet, produksi lada dan pinang turut meningkatkan laju perekonomian Aceh. Pada 1903, jumlah lada yang diekspor kurang dari 1.000 ton, tahun berikutnya naik menjadi 2.216 ton. Angkanya cenderung naik dan stabil hingga dekade 1920.
Awal abad ke-20 ekspor pinang menggantikan lada. Saat itu, harga lada mengalami penurunan sehingga pemerintah Hindia Belanda menyarankan petani untuk menggerakkan penanaman pinang. Pada 1901, jumlah ekspor pinang dari Aceh sebesar 2.037 ton. Tiga tahun berikutnya naik tiga kali lipat menjadi 7.320 ton pinang.
Baca juga: 19 November 1846: Mula Tambang Batu Bara
Upaya lain juga dilakukan Belanda dengan menetapkan Sabang sebagai Pelabuhan Bebas pada 1896. Di tahun tersebut berdiri pula perusahaan stasiun pengisian batu bara yang modern. Sabang tumbuh sebagai Pelabuhan Bebas dan lokasi perbaikan kapal-kapal.
Pesatnya perekonomian Aceh berdampak pada peredaran mata uang, tak terkecuali kebutuhan permodalan. Instrumen perbankan dibutuhkan untuk mengatur lalu lintas peredaran uang dan bantuan kredit terhadap perdagangan dan perekonomian.
Oleh karena itu, Presiden DJB, E. A. Zeilinga menilai perlunya lembaga sirkulasi keuangan di Aceh. Gagasan tersebut muncul saat Zeilinga melakukan perjalanan dinas ke Aceh dan Sumatra Timur. Dari laporan perjalanan tersebut diketahui bahwa Aceh dianggap sebagai kawasan perkebunan baru potensial di Sumatra.
Baca juga: 25 November 1867: Kantor Cabang DJB Surakarta Didirikan
Pada 8 Juli 1915, Direksi DJB mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda terkait perizinan pendirian kantor cabang DJB di Aceh. Pemerintah Hindia Belanda melalui Keputusan Gubernur No. 21 tanggal 16 Oktober 1915 mengizinkan pembukaan kantor cabang DJB di Koetaradja (Banda Aceh).
Namun, rencana tersebut tidak segera terealisasi. Pendirian kantor cabang DJB Koetaradja tertunda karena pecah Perang Dunia I. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyayangkan penundaan tersebut yang harus menunggu Perang Dunia I berakhir. Hal ini sebagaimana tertulis dalam Arsip Bank Indonesia koleksi Arsip De Javasche Bank No. 1456, Vertrouwelijk Brieven van De Javasche Bank Agentschap Koetaradja (1918–1941).
Akhirnya, pada 2 Desember 1918 DJB secara resmi membuka kantor cabang barunya dengan nama DJB Agentschap Koetaradja. Di luar alasan ekonomi, pendirian kantor cabang DJB di Aceh juga beralasan politis. Kendati Belanda telah memenangkan perang, penguasaan ekonomi dan moneter juga dianggap penting.
Baca juga: Air Mata Bung Karno Meleleh di Aceh
Koetaradja dipilih sebagai lokasi pendirian kantor cabang DJB berkaitan dengan statusnya sebagai pusat Kesultanan Aceh Darussalam. Kehadiran DJB Agentschap Koetaradja dianggap sebagai simbol kedaulatan Belanda sekaligus menunjukkan bahwa di bidang ekonomi Aceh berada di bawah kendali pemerintah kolonial.
Berbeda dengan kantor cabang lainnya, DJB Agentschap Koetaradja ditutup sejak masa pendudukan Jepang hingga tahun 1964. Kegagalan Belanda menguasai kembali Aceh pada masa revolusi membuat DJB Agentschap Koetaradja tidak dibuka.
Ketidakstabilan politik di Aceh pasca revolusi menyebabkan pembukaan kembali DJB Agentschap Koetaradja baru terlaksana pada 1964. Pembukaan kantor cabang DJB tersebut diikuti dengan perubahan nama yang kini bertransformasi menjadi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar