Berebut Kendali Terusan Suez
Terusan Suez menjadi titik stategis geopolitik dunia. Inggris merebutnya dan mati-matian mempertahankannya.
Setelah dibuka pada 1869, Terusan Suez menjadi salah satu jalur penting perdagangan dunia. Pada tahun pertama, sekira 500 kapal dengan total 400 ribu ton muatan melintasinya. Angka itu ternyata masih jauh dari target yang diinginkan perusahaan, yakni lima juta ton per tahun. Tingginya potensi ekonomi yang dimilikinya membuat Terusan Suez jadi rebutan di tahun-tahun berikutnya.
Inggris dan Prancis merupakan dua negara paling berkepentingan pada terusan sepanjang 193 kilometer itu. Kepentingan itu membuat keduanya mendesak Kesultanan Ottoman menyingkirkan Ismail Pasha yang menghalangi kepentingan Inggris-Prancis.
Ismail merupakan pemimpin Mesir yang mencoba “berdikari”. Kendati pada 1875 Mesir dinyatakan terancam bangkrut karena utang, Ismail tak akan menjual sahamnya di Terusan Suez sebagai aset paling menjanjikan. Sebaliknya, Ismail justru tengah mencoba menyingkirkan pengaruh Eropa dari negerinya.
Inggris dan Prancis akhirnya berhasil. Ismail jatuh pada 1879 dan diasingkan ke vila terpencil dekat Gunung Vesuvius, Italia. Ia digantikan oleh anaknya, Tewfik Pasha, yang tidak berpengalaman.
Baca juga: Menggali Suez, Menghubungkan Dua Peradaban
Pada masa Tewfik inilah 15 persen keuntungan Terusan Suez yang menjadi hak Mesir jatuh ke tangan bank Prancis. Saham Mesir dibeli seharga 20 juta Franc yang pada tahun-tahun berikutnya bernilai lebih dari 100 juta Franc. Ini menjadi awal dari kehilangan Mesir terhadap terusan yang dibangun di atas wilayahnya itu.
“Dengan penjualan itu, pemerintah Mesir tidak lagi memiliki kepentingan finansial di kanal yang telah dibiayainya,” tulis Zachary Karabell dalam Parting The Desert, The Creation of The Suez Canal.
Tewfik bukan hanya membuat Terusan Suez lepas. Ia bahkan berpaling pada Prancis dan Inggris dengan meminta bantuan keduanya kala kerusuhan anti-Eropa melanda Mesir.
Inggris tentu menyambut baik permintaan bantuan itu. Pasukan Inggris membombardir Aleksandria dan mendaratkan pasukan pada 1882. Akibatnya, Inggris juga merebut Terusan Suez.
Ferdinand de Lesseps, insinyur di balik Terusan Suez, mengecam aksi Inggris itu sebagai pelanggaran netralitas terusan. Namun kecaman itu tak digubris, Inggris ternyata telah menduduki seluruh negeri piramida itu dan bertahan hingga 74 tahun kemudian.
Pada awal abad ke-20, Terusan Suez telah menjadi tumpuan Inggris. Inggris memperlakukan terusan sebagai titik vital dan rentan di seluruh wilayah koloni Inggris. Terusan ini telah menjadi penghubung Inggris dengan koloni seberang lautannya: India, Singapura, Hong Kong, dan Australia. Terusan Suez menjadi semakin penting bagi Inggris ketika Inggris mengubah bahan bakar kapal-kapal angkatan lautnya dari batu bara menjadi minyak pada 1912.
Baca juga: Utusan Mesir Terdampar di Singapura
Itu semua jelas berkaitan dengan keamanan dalam negeri Inggris sendiri. Terusan Suez lalu menjadi alasan Inggris melakukan ekspansi. Kendali Inggris atas terusan kemudian dijadikan alasan pembenar ekspansinya ke Afghanistan, pantai Afrika Timur, Iran, dan Timur Tengah. Inggris khawatir jika wilayah itu jatuh ke tangan Rusia, Jerman, atau Prancis, Terusan Suez akan terancam dan seluruh Kerajaan Inggris akan terpisah-pisah.
“Berdasarkan asumsi itu, Inggris menduduki Mesir setelah pecahnya Perang Dunia I dan memerintah negara itu secara langsung,” tulis Karabell.
Kendali Inggris atas Suez terancam pada 1914, ketika Kesultanan Ottoman memutuskan bergabung dengan Blok Sentral melawan Inggris dan sekutu Triple Entente-nya (Prancis dan Rusia) dalam Perang Dunia I. Pada Februari 1915, pasukan Turki dan Jerman di Palestina menyerbu ke Suez.
“Meskipun upaya ini gagal untuk mengambil alih atau menutup terusan, kejutan karena hampir kehilangan aset penting tersebut membuat para pemimpin Inggris memperluas pasukan pendudukan Mesir menjadi 100.000 tentara selama sisa Perang Dunia I,” tulis Derek Varble dalam The Suez Crisis 1956.
Untuk melindungi kanal, Inggris juga mengobok-obok Turki, mensponsori pemberontakan Arab, serta mengirim agennya T.E Lawrence yang terkenal sebagai Lawrence of Arabia. Bersamaan dengan itu, Inggris telah memegang pememerintahan Irak, Yordania, dan Palestina serta meningkatkan kehadiran militer mereka di zona terusan.
Ketika nasionalisme Mesir bangkit pada 1920-an hingga 1930-an, Inggris mengendor. Orang Mesir diberi lebih banyak hak bicara mengenai bagaimana mengelola kanal. Inggris kemudian setuju untuk membayar sewa tahunan.
Namun, ketika Perang Dunia II pecah, Mesir kembali menjadi palagan yang signifikan. Strategisnya Terusan Suez menarik bagi Jerman. Hitler paham betul bahwa jika jalur ini bisa diblokir, Inggris akan terisolasi dari aset dan sekutunya di luar negeri. Maka demi merebut Terusan Suez, Jerman membom Suez pada Maret 1941 yang menghentikan semua lalu lintas laut selama beberapa hari. Namun upaya itu tidak cukup berhasil.
Baca juga: Mesir dan Kemerdekaan Indonesia
Menurut Marvin F. Gordon dalam Physiography and Military Perception yang termuat dalam buletin Army History isu 26-45, para pengamat menduga kala itu Jerman telah menyiapkan pincer movement atau taktik pengepungan ganda. Satu pasukan dari arah Kaukasus. Sementara Korps Afrika Jerman yang dipimpin Jenderal Erwin Rommel terus bergerak ke timur dari arah Libya. Namun, pasukan Rommel berhasil dihentikan setelah kalah dalam pertempuran tank di El Alamein. Ancaman terhadap Suez pun berkurang.
Lepasnya India dari cengkeraman Inggris pada 1947 ikut berdampak besar bagi Inggris. Peran Terusan Suez bagi Inggris terus berkurang. Salah satu komoditas yang masih dipertahankan Inggris ialah minyak dari Iran, Irak, Kuwait, dan Kesultanan Teluk Persia yang kini menjadi Oman dan Uni Emirat Arab. Terusan Suez masih dianggap penting karena jaringan pipa darat sering terganggu ketidakstabilan negara-negara Timur Tengah.
Namun, tantangan kembali muncul. Pada 23 Juli 1952, Raja Farouk, keturunan terakhir Muhammad Ali yang memerintah Mesir, digulingkan lalu disingkan ke Italia. Gamal Abdul Nasser kemudian muncul sebagai pemimpin Republik Mesir. Dengan platform nasionalisme dan kehendak merdeka dari kekuatan Barat, Nasser berkeinginan menasionalisasi Terusan Suez. Upaya Nasser ini kelak melahirkan masa penting dalam sejarah Mesir dan dunia: Krisis Suez 1956.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar