19 November 1846: Mula Tambang Batu Bara
Inilah salah satu tonggak penting awal eksploitasi batu bara di Kalimantan Selatan.
Demi memenuhi kebutuhan batu bara yang terus meningkat, Ratu Belanda menggelontorkan anggaran sebesar f50.000 per tahun untuk penggalian tambang batu bara di wilayah Kalimantan Selatan. Keputusan yang dibuat pada 19 November 1846 didasarkan atas hasil eskpedisi sebuah tim penelitian.
Kala itu Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Zuider-en Oosterafdeeling van Borneo atau Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur. Kekayaan alam Kalimantan sejak lama menarik perhatian orang Eropa untuk melakukan penelitian. Salah satunya H. von Gaffron yang kemudian terkenal dengan eksplorasi emas dan batu bara.
Kemudian pada 1843 geolog C.A.L.M. Schwaner dan beberapa orang yang tergabung dalam De Natuurkundige Commissie (Komisi Ilmu Pengetahuan Alam) melakukan ekspedisi di Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur. Ekspedisi ini dilakukan atas permintaan pemerintah kolonial. Pengetahuan Schwaner tentang geologi Kalimantan digunakan untuk kegiatan eksplorasi batu bara pada tahun-tahun berikutnya.
Baca juga: Kontes Kuasa Alam Kalimantan
Menurut Nugroho Nur Susanto dalam Oranje Nassau, Pengaron: Awal Batu Bara di Indonesia, hasil penjelajahan Schwaner pada tahun 1843-1846, yang kemudian baru diterbitkan tahun 1853 dengan judul Borneo Beschuving Het Stroom Gebied Van Den Barito, berisi informasi tentang kekayaan alam tambang batu bara di daerah Riam. Berbekal laporan ini, kegiatan survei lanjutan pun dilakukan. Dikirimlah tim-tim eksplorasi dan usaha lanjutan.
Operasional tambang pemula “De Hoop” dan Hermina memang belum bisa memenuhi target yang diharapkan. Tapi, catat Susanto, harapan membumbung tinggi bahwa bahan tambang batu bara melimpah di Kalimantan bagian selatan ini.
Informasi itu juga memunculkan hasrat dari pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan eksploitasi. Residen Kalimantan Selatan A. L. Weddik kemudian menyampaikan kepada Kerajaan Belanda bahwa sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan mengandung sumber daya bumi yang melimpah. Itulah sebabnya pada 19 November 1846 Ratu Belanda menyediakan anggaran sebesar f50.000 per tahun untuk menggarap “daerah baru” ini.
Bambang Subiyakto dalam Dinamika Perekonomian Hulu-Hilir Sungai: Bank Indonesia dalam Lintasan Sejarah Kalimantan Selatan menyebut anggaran tersebut diberikan melalui aparatur pemerintahan daerah setempat. Hal itu disampaikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Jacob Rochussen. Rochussen juga memberikan instruksi untuk menambang batu bara dan memilih daerah Riam dekat Martapura.
Untuk melakukan penambangan di Kalimantan Selatan, pemerintah Hindia Belanda mendesak Sultan Banjarmasin untuk memberikan konsesi tambang batu bara di wilayah sekitar kekuasaan Kesultanan Banjarmasin. Sebab, Kalimantan Selatan merupakan wilayah inti warisan dari Kesultanan Banjarmasin. Izin konsesi diperoleh pada 1849 untuk penggalian tambang batu bara di wilayah Pengaron (Riam Kiwa), Kalangan, dan Banyu Irang.
Konsesi tambang batu bara pertama di Pengaron dengan nama Oranje Nassau diresmikan oleh Gubernur Jenderal J. J. Rochussen pada 28 September 1849. Konsesi ini menghasilkan 10.000 ton batu bara per tahun. Jumlah produksinya terus meningkat hingga 14.794 ton di tahun 1854.
Seiring perkembangannya, pemerintah Hindia Belanda memberikan konsesi kepada perusahaan swasta Julia Hermin untuk membuka tambang batu bara di Banyu Irang pada 1853. Setahun kemudian, di lokasi yang sama, perusahaan Delf juga membuka dua tambang batu bara. Tahun-tahun berikutnya konsesi diberikan kepada perusahaan-perusahaan swasta lainnya.
Dalam koleksi Arsip Nasional RI, Kontrak Kalimantan No. 23 dan 56-2, izin konsesi dari Kesultanan Banjarmasin kepada Pemerintah Hindia Belanda ditegaskan melalui surat perjanjian bertanggal 30 April 1856 tentang batas-batas penggarapan tambang batu bara di Banyu Irang.
Konsesi tambang batu bara pertama di Pengaron menjadi tonggak penting awal eksploitasi batu bara di Nusantara. Tapi Oranje Nassau juga menyimpan cerita kelam, yang bertalian dengan suksesi kepemimpinan Kesultanan Banjarmasin.
Baca juga: Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara
Menyusul wafatnya Sultan Adam (1857), Belanda mengangkat Pengeran Tamjidillah sebagai sultan karena menyetujui keberlangsungan tambang di Pengaron. Rakyat Banjar yang lebih menghendaki Pengeran Hidayatullah sebagai sultan pun mengobarkan perlawanan yang dikenal dengan Perang Banjar.
Perang Banjar meletus pada 1859 dan dipimpin oleh Pangeran Antasari. Menurut Nugroho Nur Susanto, Perang Banjar tidak serta merta meletus begitu saja. Ada kaitan langsung dengan penolakan aktivitas pertambangan batu bara Oranje Nassau, yang lokasinya tak jauh dari tanah apanage Pangeran Antasari.
Selain itu, Belanda mengeksploitasi masyarakat lokal untuk bekerja di Oranje Nassau secara paksa dan dibayar sangat murah. Pekerja yang dianggap malas tak jarang dihukum cambuk menggunakan rotan.
Perang Banjar berdampak pada kedaulatan Kesultanan. Secara sepihak Belanda membubarkan Kesultanan Banjarmasin, kendati perlawanan rakyat terus berkobar.
Hingga kini, Kalimantan Selatan dikenal sebagai salah satu penghasil batu bara terbesar di Indonesia.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar