SELAMA lebih dari 500 tahun, Pakuan Pajajaran berhasil menjaga ajaran Hindu tetap hidup di tatar Sunda. Puncaknya, di bawah kuasa Prabu Siliwangi –bernama asli Raden Pamanah Rasa atau Pangeran Jaya Dewata– Pajajaran menjadi Kerajaan Hindu-Budha terbesar di barat pulau Jawa.
Namun besarnya pengaruh Prabu Siliwangi di tatar Sunda tidak menjadi jaminan ajaran Hindu akan tetap bertahan di sana. Itu terbukti para leluhur Sunda gagal mewariskan keyakinan yang dianutnya itu kepada generasi setelahnya.
Baca juga: Pemimpin Ideal ala Sunda
Antara Hindu dan Islam
Dikisahkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, pada 1422, Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gedheng Tapa, Nyai Subang Larang. Peneliti Atje, dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, menyebut Ki Gedheng Tapa sendiri adalah seorang penguasa tanah dan syahbandar Muara Jati yang tinggal di daerah kekuasaan Kerajaan Sunda Galuh.
Sebelum memperistri Subang Larang, Prabu Siliwangi harus memenuhi beberapa syarat yang diberikan oleh guru sang calon istri, yakni Syaikh Hasanuddin dari Pondok Quro Pura Dalem Karawang. Pertama, Subang Larang harus menjadi permaisuri saat Prabu Siliwangi menduduki takhta raja. Kedua, ia diperbolehkan tetap menganut agama Islam sebagai kepercayaannya karena Subang Larang merupakan penganut Islam yang taat dan murid kesayangan Syaikh Hasanuddin.
“Pangeran Jaya Dewata berjanji akan memenuhi persyaratan tersebut, dan janjinya ini dibuktikannya setelah ia dinobatkan menjadi raja,” kata Eman Suryaman dalam Jalan Hidup Sunan Gunung Jati: Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja.
Baca juga: Menggali Peninggalan Kerajaan Sunda Kuno
Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Subang Larang itu lahirlah tiga anak, yaitu Raden Walasungsang, Nyai Rara Santang, dan Raden Sangara (Kiansantang). Ketiganya dibesarkan dalam kemewahan istana dan dua agama berbeda. Sang ibu dengan Islamnya dan sang ayah dengan Hindunya. Meski Islam telah diperkenalkan di kerajaannya, Prabu Siliwangi tetap menjadi penganut Hindu yang taat.
Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari tidak dijelaskan dengan jelas agama apa yang ditekuni oleh ketiga anak Prabu Siliwangi selama di istana. Namun setelah kematiam ibunya, Prabu Walasungsang yang telah ditetapkan sebagai putra mahkota memutuskan untuk meninggalkan istana. Ia pergi dalam sebuah pengembaraan mendalami agama Islam.
Kepergian Walasungsang itu membuat seisi negeri gempar. Bagaimana tidak, putra tertua yang telah ditunjuk meneruskan Pajajaran memilih untuk keluar istana. Rara Santang yang dekat dengan kakaknya itu juga merasa sangat kehilangan. Tidak lama ia pun akhirnya memutuskan pergi untuk mencari Walasungsang. Melepaskan seluruh kemewahan istana yang selama ini didapatkan.
Baca juga: Muslim Pertama di Tatar Sunda
Mulanya Rara Santang pergi ke sekitar Gunung Tangkuban Perahu. Di sana ia bertemu dengan Nyai Indang Saketi. Olehnya, Rara Santang disarankan menemui Ki Ajar Saketi di Argaliwung –naskah Carita Purwaka Caruban Nagari tidak menjelaskan di mana letaknya tetapi para ahli menyebut lokasinya ada di sekitar Ciamis. Setelah bertemu, Ki Ajar Saketi menyuruh Rara Santang pergi ke Gunung Mara Api (Marapi) di Ciamis.
“Di tempat ini berakhirlah pengembaraan Nyari Rara Santang dalam mencari sang kakak, Walasungsang, dan akhirnya mereka pun bertemu,” tulis Eman.
Dalam Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad, Ridwan Sofwan dkk menceritakan bahwa di tempat pertemuan itu, Walasungsang telah lebih dahulu bertemu seorang pendeta Budha bernama Ki Gedheng Danuwarsih. Keduanya pun tinggal di rumah sang pendeta untuk waktu yang cukup lama. Walasungsang diceritakan jatuh hati kepada putri Ki Gedheng Danuwarsih bernama Nyai Indah Geulis. Setelah menikah, Rara Santang bersama Walasungsang serta kakak iparnya, melanjutkan perjalanan menuju Amparan Jati, Cirebon.
Tiba di Amparan Jati, mereka disambut langsung oleh penguasa di sana, yakni Ki Gedheng Tapa, yang tidak lain adalah kakek Rara Santang dan Walasungsang sendiri. Amparan Jati saat itu telah menjadi wilayah persebaran Islam pertama di tatar Sunda.
Baca juga: Putri Sunda Penyebab Perang Bubat
Di sana, adik-kakak itu diperkenalkan kepada Syaikh Datuk Kahfi, penyebar Islam pertama di Sunda. Keduanya pun diangkat menjadi murid sang ulama dan mempelajari lebih dalam tentang agama Islam. Syaikh Datuk Kahfi lalu memberi Walasungsang gelar Ki Somadullah, dan Nyai Rara Santang gelar Syarifah Mudaim. Dirasa mampu, Ki Somadullah oleh gurunya diberi tugas membangun perkampungan di Kebon Pesisir sambil menyebarkan Islam.
Babad Cirebon yang disunting oleh ahli bahasa dan penyusunan kamus berkebangsaan Belanda J.L.A. Brandes menjelaskan bahwa daerah Kebon Pasisir yang menjadi pusat penyebaran ajaran Islam oleh Ki Somadullah berada di sebelah timur Pasambangan, di sebuah wilayah yang dikenal sebagai Tegal Alang-Alang. Sekarang daerah itu disebut Lemah Wungkuk, masuk di dalam administrasi Cirebon.
Menurunkan Ajaran Islam
Setelah berhasil membangun Kebon Pasisir menjadi salah satu pusat dakwah dan dagang di Cirebon, Ki Somadullah dan Syarifah Mudaim disarankan oleh Syaikh Datuk Kahfi pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka pun mengikuti saran gurunya tersebut. Di Tanah Suci, keduanya menetap di rumah Syaikh Bayanullah, adik Syaikh Datuk Kahfi.
Ketika sedang melangsungkan ibadah di Makkah ini, Syarifah Mudaim bertemu dengan suaminya. Sejarawan Edi S. Ekadjati di dalam penelitiannya mengkaji Babad Cirebon Edisi Brandes, dimuat Sunan Gunung Jati: Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda, menyebut kalau suami Syarifah Mudaim adalah Molana Huda, seorang sultan di Mesir yang menguasai jazirah Arab. Ia bertemu dengan Molana Huda saat berkunjung ke Beta’lmuqdas
“Kiranya yang dimaksud dengan Beta’lmuqdas itu adalah Masjidil Aqsa yang terletak di kota Yerusalem yang kini di bawah kuasa Israel, walaupun masuk ke dalam wilayah Palestina,” kata Edi.
Baca juga: Taktik Banten Taklukkan Pakuan Pajajaran
Molana Huda yang saat itu sedang dirundung duka setelah orang yang sangat dicintainya wafat, memerintahkan salah seorang pejabat istana, Qadi Jamaluddin, mencari seorang perempuan yang memiliki wajah mirip istrinya. Setelah cukup lama mencari, sang utusan menemukan Nyari Rara Santang sedang beribadah di Beta’lmuqdas. Ia menilai perempuan asing ini sesuai dengan kriteria yang diminta sultan.
Bersama kakaknya, Ki Somadullah, dibawalah Syarifah Mudaim menghadap Molana Huda. Sultan langsung jatuh hati, dan segera meminang sang gadis. “Syarifah Mudaim menerima lamaran itu, tetapi dengan syarat bahwa dari pernikahannya akan menurunkan anak lelaki yang akan menjadi penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di tanah Sunda,” kata Edi.
Setelah pernikahannya, Syarifah Mudaim ikut Molana Huda ke Mesir. Sementara Ki Somadullah kembali ke Amparan Jati untuk melanjutkan dakwahnya. Seperti diketahui dari pernikahannya itu Syarifah Mudaim dikaruniai dua orang putra, yakni Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah. Sesuai kesepakatan, setelah menginjak usia yang cukup Syarif Hidayatullah meninggalkan Mesir untuk menyebarkan Islam di Tatar Sunda. Kemudian hari, ia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, wali penyebar Islam terbesar di Jawa Barat.
Baca juga: Enam Istri Sunan Gunung Jati