Kerajaan Pajajaran didirikan pada 1333 oleh beberapa bangsawan dari Galuh. Kerajaan yang beribu kota di Pakuan (kini, Bogor) itu untuk pertama kalinya berhasil menyatukan seluruh wilayah Jawa Barat, dari selatan sampai utara, di bawah kekuasaan tunggal.
Pajajaran melancarkan serangan ke pelabuhan-pelabuhan pesisir utara, termasuk ke Wahanten Girang atau Banten Girang.
Sejarawan Claude Guillot mencatat bahwa karena tak ada satu indikasi pun yang memungkinkan dugaan bencana alam, terpaksa disimpulkan bahwa Banten Girang musnah dalam perang sekitar tahun 1400. Banten Girang hancur dan perekonomian berhenti.
“Untuk periode tersebut diketahui hanya satu serangan terhadap kota ini yang menurut teks berbahasa Sunda, Carita Parahyangan, dilakukan oleh pasukan Pajajaran,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII.
Baca juga: Mataram Batal Menyerang Banten
Banten berada di bawah kekuasaan Pajajaran hingga awal abad ke-16. Ketika kekuasaan Pajajaran merosot, Kerajaan Demak, melancarkan beberapa serangan ke Banten paling tidak mulai tahun 1520. Untuk menghadapi serangan pasukan Islam itu, pada 1511 penguasa Banten berusaha meminta bantuan kepada Portugis di Malaka.
Penguasa Demak kemudian mengutus seorang ulama, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Hasanuddin, ke Banten Girang, untuk membantu dari dalam. Portugis tidak segera merespons permintaan penguasa Banten.
Penguasa Banten yang disebut “Sanghyang” keburu meninggal dan mungkin peristiwa inilah yang melemahkan kekuatan militer Banten. Sunan Gunung Jati pun memanfaatkan kesempatan itu untuk memberi tahu pasukan Demak agar merebut pelabuhan Banten.
“Di pengujung tahun 1526, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Hasanuddin, dibantu dari dalam oleh Ki Jongjo, salah seorang petinggi kota yang menjadi mualaf dan memihak kaum Islam, pasukan Demak berhasil merebut pelabuhan Banten, kemudian ibu kota Banten Girang,” tulis Guillot. Setahun kemudian, pada 1527, Sunan Gunung Jati merebut pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta.
Jadi, lanjut Guillot, dinasti Islam bukanlah pendiri Banten. Sebenarnya dinasti ini merebut kekuasaan dari sebuah negara yang memiliki sejarah panjang dan yang kemakmurannya sejak lama bertumpu pada penghasilan biji lada dan perdagangan internasional.
Baca juga: Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan
Sunan Gunung Jati kemudian menetap selamanya di Cirebon. Hasanuddin menggantikannya berkuasa di Banten. Dia memerintah selama beberapa tahun di Banten Girang. Ayahnya kemudian memerintahkan untuk memindahkan istana ke pelabuhan Banten. Di sana, dia membangun istana Surosowan, alun-alun, pasar, masjid agung, dan masjid di kawasan Pacinan.
Hasanuddin meninggal dunia pada 1570, pada tahun yang sama dengan ayahnya. Dia digantikan anaknya, Maulana Yusuf. Pembangunan yang dilakukannya dalam naskah Babad Banten disebut gawe kuta buluwarti bata kalawan kawis (membangun kota dengan menggunakan bata dan karang).
Yusuf membangun saluran-saluran, bendungan, benteng pertahanan, memperluas serambi masjid agung yang dibangun ayahnya, dan membangun sebuah masjid di Kasunyatan. Selain pembangunan fisik, dia juga mengembangkan perkampungan dan pertanian (ladang dan sawah).
Peran lain Yusuf yang sangat penting adalah penyebaran agama Islam melalui penaklukan.
“Beliau berhasil meruntuhkan seluruh kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran. Penyerangan ini dilandasi oleh tekadnya untuk menyebarkan agama Islam ke daerah pedalaman Banten, sehingga sejak saat itu Jawa Barat menjadi daerah penyebaran agama baru ini,” tulis Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan Banten 1522-1684.
Baca juga: Perang Dua Pangeran Banten
Menurut H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, motivasi lain Banten menyerang Pajajaran mungkin merasa penyaluran hasil bumi ke kota pelabuhan, guna usaha perdagangannya, terancam. Mungkin juga harapan untuk mendapat banyak rampasan perang merangsang semangat tempur mereka.
Seperti strategi kakeknya ketika merebut Banten, keberhasilan Yusuf menaklukkan Pajajaran juga berkat bantuan orang dalam.
De Graaf dan Pigeaud mencatat, berdasarkan uraian yang cukup panjang dalam Sadjarah Banten dapat disimpulkan bahwa kemenangan tentara Banten dipermudah oleh pengkhianatan seorang pegawai raja Pajajaran. Pengkhianat itu telah membuka pintu bagi saudaranya yang memegang komando atas sebagian laskar Banten. Dari cerita itu juga diketahui bahwa sudah ada orang Sunda Islam yang ikut bertempur di pihak Banten.
Baca juga: Ratu Banten Ditahan di Pulau Edam
Sadjarah Banten juga menyebut banyak penguasa dan alim ulama ikut menyerang Pakuan. “Pimpinan agama dipegang oleh Molana Judah (dari Jeddah, Arab); tentang Molana ini tidak diketahui lebih lanjut,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Setelah Pakuan jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Karenanya mereka diperbolehkan tetap menyandang pangkat dan gelarnya.
Setahun setelah penaklukkan Pakuan Pajajaran, Maulana Yusuf meninggal dunia pada 1580.