SETELAH Islam masuk ke Barus, Sumatra Utara, ajaran Al-Qur'an dan Hadis mempengaruhi mantra perdukunan. Mantra ini dipakai para datu untuk pengobatan. Awalnya para datu berperan sebagai wakil raja atau wakil pemimpin desa. Tugasnya membimbing dalam keagamaan, adat istiadat, pengolahan tanah pertanian, peperangan, pencegahan, dan pengobatan penyakit.
Peran datu kemudian menyempit, terutama sejak berkembangnya sistem pemerintahan negara dan datangnya agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen. Mereka kini lebih banyak berkecimpung dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit.
Ketika mengobati pasien, para datu menggunakan ramuan tradisional berupa tumbuhan, hewan, dan benda. Mereka juga melakukan ritual.
Rusmin Tumanggor, Guru Besar Antropologi Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam Gerbang Agama-Agama Nusantara, menjelaskan dalam praktiknya, para datu menggunakan sumber-sumber ilmu yang mendapat pengaruh dari ajaran Islam. Di antaranya Al-Qur'an, Hadis, Pustaha, Tajul Mulk, dan doa-doa Mujarrabat.
Baca juga: Jejak Peradaban Barus
Pusataha adalah kumpulan ilmu-ilmu kuno Batak. Isinya terdiri atas dua bagian: keagamaan dan perdukunan. Bagian perdukunan berisi pencegahan dan pengobatan penyakit. Cirinya terlihat dari ungkapan pada awal dan akhir jampi (tabas) dan mantra (tonggo) atau doa yang dipakai untuk mengiringi penggunaan ramuan tradisional pada pengobatan penyakit.
“Para datu biasanya memulai dengan bacaan binsumirloh dirahaman dirahamin, seterusnya jampi dan mantra diakhiri dengan bacaan ya sah ya sih,” jelas Rusmin.
Pemakaian Al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber ilmu perdukunan terlihat pada pembuka dan penutup mantra dan jampi yang biasanya digunakan untuk mengiringi ramuan pengobatan.
Sang datu akan memulai dengan mengatakan “bismillaahirrahmaanirraahiim”. Lalu di tengah mantra ada variasi antara bahasa Batak dan Melayu. Kemudian diakhiri dengan “barkat Rasulullah, barkat Laa Ilaaha Illallaah”. Ada pula yang mengakhiri dengan kalimat “barkat Bagindo Ali, barkat Pitua Guru, barkat Rasulullah, barkat Laa Ilaaha Illallaah”.
“Kalimat barkat Bagindo Ali, barkat Pitua Guru, barkat Rasulullah, barkat Laa Ilaaha Illallaah, menggambarkan masuknya paham tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yang menggunakan perantara dalam doa secara berjenjang menuju Allah Swt.,” jelas Rusmin. “Ilmu ini berkisar sejak masuknya Islam ke Barus pada abad ke-7 hingga abad ke-20.”
Baca juga: Kisah Tanah Kuno Leluhur Barus
Tajul Mulk atau Mahkota Raja-Raja adalah buku yang tak diketahui pengarangnya. Penulisannya diperkirakan tumbuh dan berkembang antara abad ke-13 hingga abad ke-20. Ditulis dalam aksara Arab dan berbahasa Melayu.
Tajul Mulk bisa dibilang merupakan interpretasi terhadap kehidupan manusia dan mengaitkannya dengan kandungan Hadis dan mazhab-mazhab dalam Islam. Tidak pula meninggalkan ajaran Al-Qur'an. Di dalamnya juga ditemukan kumpulan nama obat-obatan ramuan tradisional.
“Tidak ada datu yang hanya menggunakan Tajul Mulk. Tapi hampir 20 persen datu menggunakan sebagian pengobatannya karena banyak yang tahu nama tumbuh-tumbuhan dalam kitab itu,” jelas Rusmin.
Adapun doa-doa Mujarrabat adalah rangkaian hasil rekayasa para ulama perakit doa berdasarkan penafsiran ayat Al-Qur'an dan Hadis. Ayat dan Hadis yang diambil adalah yang dianggap mujarab untuk berbagai tujuan, khususnya penyembuhan.
Baca juga: Catatan tentang Islamisasi di Sumatra
Para datu biasanya memakai doa-doa ini ketika sedang mengaduk atau meracik obat. Kalau tidak, doa ini dipakai ketika mereka ingin mengetahui ramuan tradisional apa yang cocok bagi pasiennya.
Rangkaian doanya, dimulai dengan basmalah dan salawat. Lalu membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, An-Naas, dan Al-Falaq. Selanjutnya membaca surat Al-Lahab dan Yaasin. Berikutnya ayat Qursi, zikir, dan Asmaul Husna. Diikuti dengan doa yang diambil dari Al-Qur'an dan Hadis, ditambah dengan doa yang dibuat para ulama. Juga menunaikan salat tahajud dan berpuasa pada hari tertentu serta iktikaf di masjid.
“Datu pengguna doa ini hanya sekira lima persen,” kata Rusmin.
Selain doa-doa itu, para datu juga mendapatkan mantra dan ramuan tradisional melalui mimpi. Bisa juga datang tiba-tiba dari bisikan atau kata hati. Doa dan ramuan bisa pula dikatakan langsung oleh makhluk gaib yang masuk ke dalam tubuh dan jiwa datu sebagai mediatornya.
Di luar itu, biasanya datu memiliki catatan khusus yang bersumber dari guru-guru mereka terdahulu. Isi catatannya ini antara lain berisi doa yang bersumber dari agama Yahudi bahkan Cina Kuno.
Ada doa yang dimulai dari kata Hong! Lalu dilanjutkan jampi dan mantra dan diakhiri dengan haah!
“Doa ini diperkirakan berasal dari Cina Kuno,” kata Rusmin.
Islam di Barus
Umumnya mantra atau jampi yang digunakan para datu bersumber dari Pustaha, Al-Qur'an, Tajul Mulk, dan catatan para datu. Menurut Rusmin, setelah Islam masuk ke Barus sekira abad ke-7 atau ke-8, sejumlah mantra dan jampi dipengaruhi oleh ajaran Al-Qur'an dan Hadis, kecuali Pusataha.
Unsur-unsur bahasa yang dipakai dalam Pustaha diperkirakan mendapat pengaruh yang lebih tua lagi, yaitu bahasa Ibrani sebagai akar bahasa Arab. Meskipun ketika Islam masuk, penyalinan Pustaha turut mendapat pengaruh Islam. Seperti terlihat dari mantra yang diawali Bincumirloh Dirahaman Dirahamin.
Baca juga: Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara
Menurut Claude Guillot, peneliti asal Prancis, dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus, mayoritas masyarakat Barus memang beragama Islam. Penduduknya adalah keturunan Melayu dan Batak. Sementara di kampung-kampung sekitar Barus, yang kebanyakan penduduknya orang Batak, agama terbesarnya adalah berbagai aliran Kristen Katolik dan Protestan.
“Sebelum berkembang ke pedalaman Batak lainnya, Pustaha Batak dan Al-Qur'an serta Hadis yang digunakan sebagai sumber doa dan pengobatan, diperkirakan berpusat di Barus,” jelas Rusmin lagi.
Namun apakah benar proses Islamisasi di Barus sudah terjadi sejak abad ke-7? Ini masih menjadi perdebatan. Banyak yang membantah.
Di antaranya Daniel Perret, arkeolog dari École française d’Extrême-Orient (EFEO), pernah mengatakan tak ada bukti arkeologis yang mendukung pendapat Islam telah masuk di Barus sejak abad ke-7. Dari hasil penggalian di Situs Lobu Tua, wilayah itu baru digunakan pada pertengahan abad ke-9 hingga akhir abad ke-11.
“Kami yakin muslim sudah ada di sana. Pedagang muslim ada di sana. Tapi tak ada bukti sudah ada Islamisasi,” kata Perret dalam sebuah diskusi di Institut Français d’Indonésie (IFI), Jakarta.
Baca juga: Adakah Peran Cheng Ho dan Cina dalam Islamisasi Nusantara?
Lobu Tua merupakan tempat perdagangan yang dibuka oleh para pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka. Mereka kemudian diikuti para pedagang dari Timur Tengah. Karenanya lokasi itu menjadi tempat persinggahan dalam jaringan perdagangan yang menghubungkan Timur Tengah, India, Sri Lanka, dan Nusantara.
Di sana juga tak ada bukti okupasi yang permanen. Situs itu dulunya hanya dipakai para pedagang untuk transit.
Berbeda dengan situs di Bukit Hasang, Barus. Di kawasan itu banyak ditemukan nisan kuno. Artinya, di tempat itu dulunya dipakai untuk tinggal dan menetap. Kedati begitu, Bukit Hasang baru mulai digunakan pada abad ke-12 hingga abad ke-16
Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan klaim Islamisasi di Barus telah terjadi sejak abad ke-7 tak berbukti. Meskipun demikian, ia tak ragu kalau orang Islam sudah datang ke Nusantara sejak abad pertama Hijriah. Namun, tak jelas apakah mereka hanya datang atau mengislamkan penduduk lokal.
“Kalau saya, ya, mulai akhir abad ke-12 M (proses Islamisasi berlangsung, red.),” kata Azra.
Baca juga: Kapur Barus, Agen Persebaran Agama di Nusantara
Barus sebagai kota transit pedagang antarnegara telah meninggalkan pengaruh budaya. Peninggalan mereka bertemu dengan ilmu pengetahuan dan religi pribumi. Keberagaman ini menghasilkan sistem kepercayaan masyarakat yang plural dalam memahami dunia kesehatan.
Maka, dalam praktiknya penganut Islam dan Kristen di Barus dapat menggunakan doa penganut Sipele Begu dan Dinamisme. Begitu juga sebaliknya, penganut Sipele Begu dan Kristen dapat menggunakan doa para penganut Islam.
Lalu mengapa banyak doa yang berakar dari ajaran Islam? Sumber ajaran Islam, kata Rusmin, dianggap masih terbuka bagi berbagai penafsiran, terutama mengenai proses kerasukan. Teks-teks Islam juga mengandung perintah untuk mempercayai keberadaan makhluk gaib. Umat Islam pun memiliki banyak penafsiran tentang ada atau tidaknya campur tangan Tuhan dan makhluk halus lainnya terhadap kehidupan manusia dan hewan.
“Sekalipun isi doa yang digunakan para datu mencerminkan pemaduan dari beberapa sistem kepercayaan,” kata Rusmin.*