Purnatugas Heli Puma
Dari menjadi heli VIP kepresidenan hingga melakoni misi-misi militer, Heli Puma akhirnya dipensiunkan setelah 45 tahun pengabdian.
SELEPAS seruan aba-aba penghormatan, sebuah helikopter SA 330 Puma ditarik dari apron ke Hangar Skadron Udara 8 Wing Operasi 004 TNI AU di Pangkalan Udara Atang Sendjaja (Lanud ATS), Bogor dengan diiringi sepasang tokoh pewayangan Gatotkaca pada Jumat (29/12/2023) pagi. Disemprotkan rintik air dari water cannon, heli bernomor ekor HT-3315 itu secara simbolik resmi mengakhiri masa baktinya.
Upacaranya sederhana namun tetap mengharukan. Sebab, sudah 45 tahun heli itu bertugas. Tak seperti alutsista udara lain yang juga dimiliki matra darat dan laut, heli angkut multifungsi medium buatan Prancis itu hanya dimiliki matra udara.
TNI AU sempat memiliki 18 unit heli multifungsi itu sejak 1978. Mulanya heli itu bernaung di bawah Skadron 6, tetapi pada 1981 dipindah ke Skadron Udara 8 seiring pengaktifan kembali skadron yang pernah menaungi heli angkut raksasa asal Uni Soviet, Mil Mi-6.
Meski begitu, Danlanud ATS Marsma M. Taufiq Arasj dalam agenda “Pemberhentian Operasional Helikopter SA-330 Puma” di Hangar Skadron Udara 8 pagi ini, menyampaikan bahwa dari 18 unit Puma, kini tersisa enam unit saja yang masih serviceable dan berada di satuan pemeliharaan. Satu unitnya, HT-3315 di atas, akan melakoni handover flight pada Sabtu (30/12/2023) pagi ke Yogyakarta untuk diabadikan di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista Legendaris
Dalam kesempatan itu, Marsma Taufiq juga melayangkan permintaan agar setidaknya dua unit lainnya turut diabadikan pula di Bogor. Satu unit sebagai monumen di Lanud ATS sebagai kenang-kenangan, dan satu lainnya untuk pengabdian di bidang pendidikan.
“Kami memohon agar tugas pengabdian terus-menerus melalui jalur pendidikan dan ilmu pengetahuan, agar sekiranya (kepala staf angkatan udara/KSAU, red.) berkenan mengalokasikan satu pesawat juga sebagai laboratorium pendidikan di SMK Penerbangan (Bogor),” tutur Marsma Taufiq via streaming di akun Youtube Airmen TV Dispenau, Jumat (29/12/2023).
Permintaan itu langsung dikabulkan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo. Sebagai wujud terima kasih dan rasa bangga atas 45 tahun tinta emas pengabdian heli Puma itu.
“Permintaan danlanud (ATS) tidak bisa kita tolak karena kita turut bangga apabila pesawat (rotary wing) ini masih bisa mengabdi untuk kepentingan pendidikan sehingga akan terus dikenang sebagai lesson learn bagi generasi muda sampai kapanpun,” timpal KSAU.
Dari Heli Kepresidenan hingga Aneka Operasi
Pada kesempatan serupa, eks-Kepala Basarnas Marsdya (Purn) Daryatmo yang juga pernah mengoperasikan heli Puma itu mengakui keandalannya dalam berbagai hal. Sebab, heli itu memang didesain oleh para insinyur Prancis sebagai heli multifungsi yang tahan di berbagai iklim dan cuaca, termasuk di iklim tropis seperti Indonesia.
“Siapapun yang pernah menerbangkan pesawat Puma pasti bangga. Kemampuan Puma yang punya daya jelajah bagus, daya angkut yang banyak, dan manuver, serta cocok dengan kondisi geografis di Indonesia ini,” kenangnya.
Seperti diungkapkan Stanley S. McGowen dalam Helicopters: An Illustrated History of Their Impact, heli itu didesain awal pada 1963 oleh Sud Aviation (sejak 1970 menjadi Aérospatiale), untuk menjawab permintaan Angkatan Darat (AD) Prancis yang butuh heli angkut medium dengan kemampuan angkut setidaknya 20 prajurit dan aneka kargo militer. Hasilnya adalah dua purwarupa yang salah satunya sukses menjalani uji terbang perdana pada 15 April 1965. Empat tahun berselang, heli itu mulai jadi bagian dari alutsista AD Prancis.
“Tidak hanya AD Prancis, AU Inggris pun terkesan dengan Puma sampai mereka ikut memesannya. Pada 22 Februari 1967, Sud Aviation mencapai kesepakatan dengan Westland Helicopters dalam hal produksi bersama heli Puma,” tulis McGowen.
Sampai produksi terakhir pada 1987, setidaknya terdapat 697 unit Puma yang mengudara dan digunakan berbagai negara untuk sejumlah misi tempur di Perang Perbatasan Afrika Selatan (1960-1990), Perang Kemerdekaan Mozambik (1961-1974), Perang Saudara Lebanon (1975-1990), Perang Falkland/Malvinas (1982), Perang Teluk (1990-1991), Perang Yugoslavia (1991-2001), dan Perang Irak (2003-2011). Dari 697 unit itu terdiri dari beberapa varian, di antaranya varian standar, IAR 330 (Rumania), Atlas Oryx (Afrika Selatan), dan NAS 330J (Indonesia).
Spesifikasi standar heli berpostur panjang 18,5 meter dan lebar diameter baling-baling 15 meter itu dioperasikan oleh tiga kru yang mampu mengangkut 16 personil dan kargo maksimal 7.000 kilogram. Ditenagai sepasang mesin Turbomeca Turmo IVC turboshaft, heli Puma punya kecepatan maksimal 257 km/jam (138 knot) dengan jangkauan jelajah 580 km (313 mil laut), serta bisa terbang dengan ketinggian maksimal 4,8 km.
Untuk persenjataannya, Puma dilengkapi masing-masing satu senapan mesin kaliber 7,62 mm dan meriam otomatis kaliber 20 mm. Khusus Indonesia, TNI AU memodifikasinya agar Puma juga bisa dipersenjatai sepasang roket di sisi kanan dan kirinya.
“Pesawat Puma sangat berperan membantu tindakan-tindakan taktis karena Puma (versi Indonesia) dipersenjatai Roket FFR 2,75 (inci) dan juga senapan mesin peluru (kaliber) 12,7 mm,” sambung Marsdya Daryatmo.
Baca juga: Kisah Marsekal dari Soreang
Heli Puma mulai jadi tulang punggung TNI AU sejak 1978. Pemerintah Indonesia membeli enam unit pertamanya dari Aérospatiale yang kemudian ditempatkan di Skadron Udara 6.
“Pesawat-pesawat (rotary wing) ini langsung melaksanakan ferry flight dari Prancis dan diberi registrasi H-3301 sampai dengan H-3306. Ini menjadi tantangan baru bagi satuan Skadron 6, mengingat karakteristik pesawat Puma yang merupakan pesawat Eropa tidak sama dengan (Sikorsky) Twin Pac yang pesawat Amerika, meskipun secara umum helikopter bekerja dan terbang dengan prinsip yang sama,” ungkap T. Djohan Basyar dalam Home of Chopper: Perjalanan Sejarah Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja, 1950-2003.
Pada 1980, datang lagi secara berturut-turut lima unit heli Puma anyar yang juga diterbangkan langsung dengan rute Paris-Abu Dhabi-Islamabad-Kolombo-Medan-Jakarta. Kemudian datang lagi tiga unit pada 1982 setelah heli itu sudah dipindah ke Skadron 8. Terakhir, pada 1985 datang dua unit tambahan hasil rakitan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN, kini PT Dirgantara Indonesia) yang memegang lisensinya.
“Dengan demikian Skadron 8 genap punya 18 pesawat yang sungguh ideal, memilki skadron dengan jumlah itu yang serviceable semua,” sambung Daryatmo.
Baca juga: Cerita di Balik Helikopter NBO-105
Pembelian itu juga termasuk program pelatihan. Tidak hanya untuk 27 pilot tapi juga 13 perwira teknis. Semua dikirimkan ke kantor pusat Aérospatiale via dua gelombang pelatihan.
Selain untuk misi-misi militer, lanjut Djohan, dua dari 18 Heli Puma TNI AU dimodifikasi IPTN untuk dijadikan heli VIP kepresidenan. Dua heli bernomor registrasi H-3304 dan H-3306 itu pada 1984 dipindah ke Skadron Udara 17 VIP di Lanud Halim Perdanakusuma, untuk menggantikan Heli Bell-204B “Iroquois” untuk keperluan penerbangan VIP presiden dan wakil presiden.
Sisanya, wara-wiri ke sejumlah wilayah dalam bermacam operasi. Baik operasi militer maupun non-militer seperti SAR sejak 1980-an.
“Puma banyak jasanya. Ada Operasi Malirja, Operasi Tumpas, Operasi Patok MM1-MM17, Operasi Wisnu, Operasi Seroja dalam rangka integrasi Timor Timur (kini Timor Leste), Operasi Halau untuk menghalau pengungsi Vietnam, Operasi Rencong di Aceh dalam rangka menghadapi GAM (Gerakan Aceh Merdeka), misi-misi (bantuan) bencana alam dan operasi-operasi SAR,” tambah Daryatmo.
Baca juga: Heli TNI AU Juara di Udara
Dalam beberapa kesempatan, heli itu pernah mewakili Skadron 8 dalam perlombaan alutsista udara di negeri jiran Brunei Darussalam, medio 1990-an. Sejumlah trofi yang bertengger di rak Heritage Room Skadron 8 sudah bicara banyak.
“Ini piala-piala kita waktu ikut lomba helikopter tahun 1994 dan 1997. Dua kali kita ikut dan dua kali kita dapat juara II,” sebut Kepala Dinas Personel Lanud ATS Letkol (Pnb) Sigit Gatot Prasetyo kala Historia beranjangsana ke Skadron 8 pada medio April 2019.
Prestasi itu diraih di ajang ASEAN Helicopter Championship (AHC) di Brunei pada November 1994 dan 2nd Brunei ASEAN Helicopter Invitational Championship pada Oktober 1997. Skadron 8 saat itu mengirim heli Puma bernomor registrasi HT-3308 yang 11 krunya dipimpin Letkol (Pnb) Adityawarman. Hasilnya, di kedua ajang itu tim Skadron 8 meraih juara II untuk perlombaan kategori uji keterampilan navigasi dan external load.
“Itulah ketika 1980-an jumlah (unit) demikian banyak walau kru kita terbatas tapi pengabdian itu totalitas. Makanya kita hampir tidak pernah ada di home base (Lanud ATS) dan lebih banyak (tugas) di luar home base,” tandas Daryatmo.
Baca juga: Selayang Pandang Lanud Atang Sendjaja
Tambahkan komentar
Belum ada komentar