Mengubah Hayabusa menjadi Garuda Tak Sekadar Meluruskan Sejarah
Selain mengulas provenance alustista Jepang, buku yang ramah pembaca generasi muda ini mengoreksi kesalahan historis yang umum dalam penamaan pesawat-pesawat eks Jepang.
PESAWAT dengan livery hijau disertai roundel di badannya dan insignia ekor “Merah-Putih” melesat di atas kumpulan awan sampai-sampai seekor gagak hitam terkesiap dibuatnya.
“Bisa terbang juga nih pesawat...keren, kan?” celetuk sang pilot di kokpit pesawat tempur taktis bekas Jepang, Nakajima Ki-43 “Hayabusa”, dalam sebuah kartun menggelitik yang terselip di dalam buku Mengubah Hayabusa menjadi Garuda.
Kartun tersebut sekadar sisipan yang jadi salah satu pengantar untuk meluruskan beberapa kekeliruan literasi sejarah tentang alutsista TNI AU di masa Perang Kemerdekaan (1945-1949). Salah satunya adalah stigma bahwa sisa-sisa alutsista Jepang yang jadi modal perjuangan matra udara adalah pesawat-pesawat rongsokan.
Dalam peluncuran sekaligus diskusi buku Mengubah Hayabusa menjadi Garuda di Kantor Yayasan Pustaka Obor Indonesia di Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025) sore, sang penulis Martinus Bram S. Susanto juga menyayangkan anggapan publik bahwa pesawat-pesawat bekas Jepang lain semisal “Nishikoren”, “Guntei”, atau “Cureng” juga diasumsikan rongsokan.
“Dia (‘Cureng’) dianggap pesawat lama dari Perang Dunia I. Padahal ada yang masih diproduksi sampai 1943. Pesawatnya memang sayap ganda tapi itu pesawat latih medium dan usianya malah lebih muda dari Hayabusa,” ujar Martinus, perwira teknik TNI AU berpangkat kolonel (teknik).
Baca juga: Luftwaffe Reborn
Hal lain yang juga penting untuk diluruskan yakni soal penyebutan nama-nama pesawat yang bukan identitas aslinya –Cureng, Nishikoren, Guntei, Sokei, Rocojunana, dan lain sebagainya– baik di lidah orang Indonesia maupun dalam aneka literasi sejarah tentang TNI AU. Soal ini, Martinus sempat punya pengalaman pribadi. Suatu ketika medio 2017, dirinya sempat dimintai bantuan seorang rekannya untuk menyusun dan mengoreksi draf naskah tentang sejarah Depo Pemeliharaan 10 (Depohar 10) yang berbasis di Pangkalan Udara (Lanud) Hussein Sastranegara, Bandung.
“Saya baca di (draf) naskahnya, Depo 10 pernah memelihara pesawat Cukiu. Ada lagi Cureng. Tapi pikir saya, Cureng enggak pernah sampai ke (Bandung) situ. Karena dia aslinya punya Kaigun (Angkatan Laut/AL Jepang), dia hanya ada di Maguwo (Yogyakarta),” tambahnya.
Martinus membantu mengoreksi semua penamaan pesawat sesuai aslinya. Semisal “Cureng”, dikoreksi jadi Yokosuka K5Y, “Cukiu” menjadi Tachikawa Ki-55, “Guntei” menjadi Mitsubishi Ki-51, atau “Nishikoren” menjadi Mansyu Ki-79.
“Saya teliti dan saya koreksi tapi pas diserahkan ke komandan (Depohar 10), literally dimarahi: ‘Ini pesawat apa? Orang enggak tahu. Nanti malah tidak dikenal.’ Jadilah balik lagi (revisi) namanya akhirnya tetap Cureng, Hayabusa, dan sebagainya,” lanjut Martinus.
Namun semua catatan tadi yang dari hasil pencarian beragam referensi tetap ia simpan. Di sela kesibukannya sebagai perwira yang berdinas di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (Seskoau) Lembang, Martinus menyusunnya secara mandiri dibantu istri dan putrinya yang memang kursus bahasa Jepang. Hasilnya, jadilah buku Mengubah Hayabusa menjadi Garuda, yang misinya meluruskan kekeliruan sejarah nama pesawat-pesawat asal Negeri Matahari Terbit itu.
“Karena saya merasa ada yang harus diluruskan. Sebenarnya informasi (internal) tentang ini banyak. Di Sub Disjarah (Sub Dinas Sejarah Dinas Penerangan Angkatan Udara, red.) buku lamanya sudah dijelaskan, tapi kan tersebar. Saya hanya mencoba menjadikan satu saja (dalam satu buku). Dan ini buku saya yang ketiga sebenarnya, tapi jadi yang pertama diterbitkan untuk umum,” jelasnya.
Sebagai upaya mengoreksi kekeliruan literasi sejarah, buku Mengubah Hayabusa menjadi Garuda disambut hangat dinas terkait. Kasubdisjarah Dispenau Kolonel Sus. Ayi Supriadi mengungkapkan bahwa selain menjadi otokritik, buku tersebut diharapkan jadi pengantar dan asupan kajian-kajian maupun diskusi-diskusi tentang sejarah TNI AU berikutnya, baik di internal TNI AU maupun di publik.
“Oke ada pelurusan sejarah. Berarti (buku-buku) yang dulu belum menemukan sumber yang terbaru. Bagi kami, ini rekonstruksi sejarah untuk pengalaman kami ke depan. Kesalahan-kesalahan masa lalu jadi cermin. Buku ini penting juga untuk kesadaran sejarah karena secara kolektif kesadaran sejarah itu salah satu perekat jiwa korsa juga. Buku ini bukan sekadar catatan sejarah, saya yakin buku ini bisa untuk dikaji, mulai dari (sejarah) pendaratan Jepang, kenapa Jepang datang, kenapa Cureng bisa ada di sini. Ada juga bagian transformasi pesawat-pesawat Jepang menjadi bagian dari kekuatan udara sebagai modal awal yang bukan (alutsista) rongsokan. Setidaknya buku ini mengabadikan perjuangan awal TNI AU yang kemudian bisa menumbuhkan rasa bangga dan nasionalisme,” kata Kolonel Ayi.
Bermula dari Hayabusa
Kendati buku ini lebih banyak mengulas sejarah yang berkaitan dengan teknis dan provenance (asal-usul) pesawat-pesawat Jepang, Martinus “meraciknya” dengan gaya populer. Gaya penulisannya lebih santai dan informal. Oleh karenanya, ditambah dengan empat ilustrasi kartun karya pribadi yang setengah membanyol, buku non-fiksi ini lebih berwarna dan ramah pembaca generasi muda.
“Motif (sisipan kartun-kartun) supaya anak-anak muda mau sedikit melek dan mengenal sejarah. Syukur-syukur mau ‘nyemplung’ ke dunia kedirgantaraan,” celetuk Martinus usai diskusi kepada Historia.ID.
Muatan sejarahnya dituangkan dalam tujuh bab. Mulai dari struktur kekuatan udara Jepang, baik Kaigun (Angkatan Laut/AL Jepang) maupun Rikugun (Angkatan Darat/AD Jepang), sistem penamaan alutsista-alutsistanya, provenance alutsista-alutsistanya, hingga transformasinya ketika sudah diambilalih dan dijadikan modal kekuatan udara AURI di masa perjuangan. Selain bertumpu pada arsip-arsip dan sumber-sumber lain dengan dukungan Dispenau, Martinus menitikberatkan pada studi pustaka. Japanese Aircraft of the Pacific War (1979) karya René J. Francillon dan Senshi Sōsho yang disusun The War History Office of the National Defense College of Japan dan diterjemahkan Willem Remmelink dalam The Invasion of the Dutch East Indies (2015) menjadi buku “babonnya”.
“Jadi buku ini seperti ditulis seorang sejarawan murni karena juga menggunakan metode (penelitian). Ada heuristik, kritik (sumber), ada juga interpretasi data. Dengan begitu kita mengetahui sejarah yang direkonstruksi dengan multidimension approach. Ada pendekatan kajian budaya, militer, kajian strategis, di mana buku ini menggunakan semua itu dan pastinya bisa jadi sumber untuk pendidikan sejarah,” sambung Kolonel Ayi.
Baca juga: Pemboman Udara Pertama Indonesia
Dari pendekatan strategis, Martinus tentu berkepentingan untuk mengenalkan lebih dulu tentang Hayabusa dan mengapa lema itu turut jadi bagian dari judul bukunya.
“Kenapa judulnya Mengubah Hayabusa menjadi Garuda? Pertama, karena pasukan udara AD Jepang yang masuk ke Indonesia itu Brigade Hikodan ke-3 Hayabusa. Salah satu pesawatnya juga kebetulan namanya (Nakajima Ki-43) Hayabusa. Pesawat yang sengaja memang diberi nama Hayabusa itu juga jarang. Yang lain bukan nama asli, melainkan singkatan atau sebutan, seperti (pembom ringan Kawasaki Ki-48) ‘Soukei’ itu bukan nama aslinya,” terang Martinus.
Di bagian pengantar dan prefasi, Martinus menjelaskan bahwa Hikodan ke-3 Hayabusa –yang membawahi empat sentai (grup udara), di mana masing-masing sentai berkekuatan dengan kisaran 20-40 pesawat– berotasi dari Malaya ke Palembang untuk mendukung gerak ofensif dua batalyon yang mendarat di Eretan, Indramayu pada 1 Maret 1942.
“Yang mendarat di Banten itu ada satu divisi, tapi sempat dipukul mundur pasukan Australia. Tapi dua batalyon (infantri AD Jepang) dari Eretan bikin KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) babak belur karena dibantu pesawat-pesawat Ki-48 dan (pembom tukik Mitsubishi) Ki-51. Padahal cuma dua batalyon tapi karena didukung Hikodan ke-3 Hayabusa ini bisa sampai masuk ke Kalijati, Lembang, dan Bandung,” tambahnya.
Alasan kedua, terkait “menjadi Garuda”, Martinus juga punya alasan. Menurutnya, itu terkait dengan sisa-sisa pesawat Hayabusa yang diambilalih Badan Keamanan Rakyat Oedara (BKRO) –cikal-bakal TNI AU. Burung Garuda jadi simbol pengawal dirgantara Republik Indonesia yang belum lama lahir.
Hanya saja, kemudian penyebutan pesawat-pesawat bekas Jepang itu disesuaikan dengan kebiasaan lidah orang Indonesia. Semisal Yokosuka K5Y “Cureng”, merupakan singatan dari nama asalya, chukanrenshuki (berarti pesawat latih medium).
Martinus juga menjelaskan tahap kritis hingga interpretasi yang dilakukann saat menyoal sebuah pesawat “misterius” yang dalam berbagai buku sejarah –seperti Lintasan Sejarah Koopsau I (2003), Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional (1994), atau Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H.A.S. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI (2015)– disebut “Rocojunana” atau “Rokujunana”. Buku-buku itu, menurutnya, merujuk ke pesawat-pesawat tertentu yang sayangnya masih keliru atau bahkan sama sekali tak menyebutkan nama formalnya. Hingga sekarang, masih jadi perdebatan pesawat apakah aslinya Rocojunana/Rokujunana itu.
Dalam mencari jawaban soal itu, Martinus menjelaskan cara sederhana yang dilakukannya, yakni dengan menerjemahkan lema “rokujunana”. Ternyata artinya angka 67. Sementara, nomor tipe pesawat tidak akan relevan menjawab pertanyaan karena Jepang tidak menggunakan “ju” –yang artinya “puluh”– dalam penamaan pesawat. Jepang lazim menggunakan nomor tipe pesawat berdasarkan kalender, kebiasaan yang dimulai sejak 1927 dengan penamaan “Type 87”.
Kemungkinan yang paling mendekati penyebutan “rokujunana”, terang Martinus, adalah merujuk pada kode kitai atau “ki”. Kode ini lazim digunakan sebagai kode rangka pesawat-pesawat yang khusus dimiliki AD Jepang sehingga merujuk pada pesawat pembom bermesin ganda Mitsubishi Ki-67 yang acap disebut “Hiryu” oleh militer Jepang dan disebut “Peggy” oleh Sekutu.
“Meskipun ada satu unit Ki-67 yang pernah berpangkalan di (Lanud) Morokrembangan, tetapi belum ditemukan foto-foto yang menunjukkan adanya pesawat Ki-67 Hiryu dengan roundel Merah-Putih. Hanya ada satu jenis pesawat pembom berat peninggalan Jepag dengan roundel Merah-Putih yang sempat terekam gambarnya. Pesawat itu adalah Ki-49 Donryu buatan (pabrikan) Nakajima. Bentuk Ki-49 yang sekilas mirip Ki-67 inilah yang membuat beberapa pengamat (dan penulis) terkecoh,” tulis Martinus dalam bukunya.
Itu hanya satu dari sekian kekeliruan yang coba dikoreksi Martinus lewat buku ini. Menarik dan patut jadi tambahan bahan kajian sejarah tentang pesawat-pesawat bekas Jepang. Namun, amat disayangkan Martinus tak memberi porsi yang cukup pada kiprah para perintis instruktur dan teknisi AU di masa perjuangan. Meski punya jasa besar menyiapkan pesawat dan para pilotnya, mereka masih jarang dibicarakan publik.
Data Buku
Judul: Mengubah Hayabusa menjadi Garuda | Penulis: Martinus B. S. Susanto | Penerbit: Pustaka Obor Indonesia | Terbit: Februari 2025 | Tebal: xvii + 455 halaman.
Baca juga: Flypass Nekat Montir Pesawat Rayakan HUT RI
Tambahkan komentar
Belum ada komentar