Cerita dari Lima Helikopter Rintisan AURI
Kini helikopter tulang punggung TNI bergantung buatan asing. Padahal sejak zaman kemerdekaan, AURI sudah punya helikopter hasil karya anak negeri.
PEMBARUAN desain gearbox helikopter angkut taktis Airbus H225M “Caracal” membuat Depo Pemeliharaan 90 (Depohar 90) yang berbasis di Pangkalan Udara (Lanud) R. Suryadi Suryadarma juga mesti meng-grade pengetahuan pemeliharaan para teknisinya. Oleh karenanya, tim teknisi Airbus turut didatangkan dalam workshop dan forum group discussion (FGD).
“Bertempat di ruang rapat Lanud Suryadarma, kegiatan ini mempertemukan para teknisi helikopter TNI AU dengan tim teknis dari AH (Airbus Helicopter) untuk saling bertukar informasi serta memperkuat kerja sama dalam hal pemeliharaan helikopter H225M Caracal. Pihak Airbus memberikan update teknis terkait main gear box, termasuk pembaruan desain dan rencana pemeliharaan jangka panjang,” tulis laman resmi TNI AU, Jumat (14/3/2025).
Heli Caracal dan juga NAS-332 Super Puma masih jadi dua dari pesawat sayap putar (rotary wing) yang jadi tulang punggung TNI AU setelah varian sebelumnya, helikopter angkut serbaguna SA 330 Puma, resmi dipensiunkan pada Desember 2023. Hingga kini, TNI AU memiliki 14 unit yang dioperasikan Skadron Udara 8 yang berbasis di Lanud Atang Senjaya, Bogor serta 11 unit Super Puma yang tersebar di Skadron Udara 6 Lanud Atang Senjaya dan Skadron Udara 45 di Lanud Halim Perdanakusuma.
Terlepas dari beberapa helikopter yang juga dimiliki matra lain, yakni Penerbad (TNI AD) dan Penerbal (TNI AL), di masa lalu TNI AU punya armada heli yang cukup bikin gentar negara-negara tetangga. Salah satunya armada helikopter angkut berat asal Uni Soviet, Mil Mi-6. Pada 1960-an, Angkatan Udara Republik Indonesia (kini TNI AU) sempat memiliki sembilan unit yang dioperasikan skadron udara di Lanud Atang Senjaya.
Baca juga: Selayang Pandang Lanud Atang Senjaya
Betapa pentingnya armada heli sudah jadi pemikiran para perintis AURI untuk menyusul negara-negara maju. Konsep helikopter memang sudah dimunculkan tokoh Prancis Gustave Ponton d’Amécourt pada 1861, tetapi Prof. Henrich Focke yang pertamakali mewujudkan purwarupa pesawat heli pertama, Focke-Wulf Fw 61, medio 1936. Adapun heli pertama yang akhirnya bisa diproduksi massal adalah Hoverfly atau heli Sikorsky R-4. Hasil desain Igor Sikorsky pada 1940 ini kemudian digunakan unit udara Angkatan Darat Amerika Serikat, USAAF, untuk pertahanan pantai.
Para perintis AURI seperti tak mau ketinggalan. Sejak Perang Kemerdekaan hingga 1950-an, setidaknya sempat hadir lima heli buatan anak negeri. Satu buatan Nurtanio Pringgoadisuryo dan empat lainnya karya Joem Soemarsono yang mempelajari tentang helikopter secara otodidak.
“Konstruktur Joem Soemarsono membuat helikopter tidak belajar di universitas. Belajarnya di majalah bekas (Popular Science) yang sudah lecek. Ada empat heli karya beliau,” kata Martinus Bram S. Susanto dalam diskusi peluncuran buku karyanya, Mengubah Hayabusa menjadi Garuda, di Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta Pusat, 27 Februari 2025.
Maka jika Nurtanio dijuluki “Bapak Dirgantara Indonesia”, Joem Soemarsono mendapat julukan “Bapak Helikopter Indonesia”. Berikut lima heli rintisan AURI tersebut:
Baca juga: Nurtanio, Patriot Udara Indonesia
Helikopter RI-H
Berbekal mesin motor BMW 500cc yang punya tenaga putaran 3.000 rpm dan 24 tenaga kuda, Opsir Muda Udara III (setara pembantu letnan) Joem Soemarsono merakit heli pertamanya. Menurut Irna Hanny Nastoeti Hadi Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950, OMU III Joem membangunnya di Yogyakarta medio 1948 dengan dibantu Sersan Mayor Udara Soenanto. Pembiayaannya diambil dari kocek pribadi dan hasil beragam sumbangan.
“Berkat pertolongan teman-teman yang bersimpati, ia berhasil memperoleh uang sebanyak Rp15 ribu dalam satu tahun. Akhirnya helikopter ciptaannya itu dapat diselesaikan. Sebelas bulan lamanya dikerjakan 13 orang dan biaya hasil sumbangan ternyata jauh dari mencukupi sehingga mereka terpaksa merogoh kantong masing-masing. Bahkan Sumarsono pernah dua hari tidak makan dan cincin kawin terpaksa dikorbankan juga,” tulis Irna dkk.
Menurut Martinus dalam bukunya, Joem Soemarsono cs. merakit sebuah rangka untuk bisa memuat mesin motor BMW itu dengan dilengkapi stabilizer yang berbentuk sayap-sayap kecil dan rotor utama dengan dua bilah baling-baling berdiameter 6,75 meter. Tail rotor pengendali untuk melawan antitorque (daya puntir) dibuat dengan diameter 85 cm.
Pembuatannya sempat terhenti ketika terjadi Pemberontakan PKI di Madiun (18 September-16 Oktober 1948). Namun pada medio November, helikopter yang diberi registrasi RI-H itu akhirnya rampung juga. Joem mewacanakan uji terbang purwarupanya itu pada 24 Desember 1948.
“Namun malangnya sebelum helikopter RI-H sempat menjalani test flight, Belanda sudah keburu menghancurkannya dalam Agresi Militer Kedua (19 Desember 1948, red.),” tulis Martinus.
Baca juga: Cerita di Balik Helikopter NBO-105
Helikopter JSH
Sempat disamarkan dengan semak-semak pada Agresi Militer II Belanda (19 Desember 1948), heli RI-H turut tetap dimangsa sejumlah pesawat tempur Curtiss P-40 “Kittyhawk” dan pesawat tempur NAA P-51 “Mustang” Belanda. Namun hancurnya RI-H tak sepenuhnya disesali Joem Soemarsono, sebab mesinnya masih selamat.
Sebelum disamarkan, mesin BMW pada Helikopter RI-H sempat dicopot Joem dan mesin ini pula yang akhirnya membuatnya masih bisa membangun heli lain usai perang, yakni heli JSH.
“Dibuat pada tahun 1950 dan diberi nama JSH. Nama ini singkatan dari nama pembuatnya, yaitu Joem, Soeharto, Hatmodjo. Pembuatannya dikerjakan di Balai Yasa Kereta Api Pengok, Yogyakarta,” tambah Martinus.
Menurut buku Bakti TNI Angkatan Udara: 1946-2003, Heli JSH sukses dibangun dan akhirnya menjalani uji terbang. Heli itu mampu melayang 10 cm di atas permukaan tanah di Lapangan Sekip, Yogyakarta.
Namun, purwarupa itu gagal dikembangkan. Pasalnya ketika hendak diangkut ke Lanud Kalijati (kini Lanud Suryadarma), tiang rotor-nya rusak usai menyenggol kawat listrik.
Baca juga: Purnatugas Heli Puma
SoemarCopter
Meski dua heli pertamanya tinggal nama, nama Joem Soemarsono jadi aset berharga buat AURI. Maka pada 1951 ia bersama Letnan Udara R. Soemarsono mendapat kesempatan belajar ke pabrikan Hiller Helicopters di Amerika Serikat. Sepulangnya ke tanah air, Joem yang berkarier di Lanud Husein Sastranegara Bandung sebagai kepala Seksi Bengkel juga membuat heli lain, SoemarCopter (sumber lain menyebut “Soemarkopter”).
Menurut Tabloid Aviasi edisi 79 keluaran Februari 2015, SoemarCopter mulai dirancang pada 1953 setelah mendapat sumbangan mesin Continental (60 PK) “copotan” dari pesawat Piper Cub. Sumbangan mesin itu didapat Joem dari Kepala Lembaga Persiapan Industri Penerbangan/LAPIP) Karno Barkah. Purwarupa SoemarCopter-nya sendiri dibangun di Bengkel Induk Bandung.
“Helikopter yang dirancang bersama Kapten Hardojo ini dibuat tanpa sepengetahuan Nurtanio. Ajan tetapi Karno Barkah tahu,” tulis Gusthi Fikri Noor dalam artikel di kolom tabloid tersebut, “Soemarkopter, Karya Tangan Pak Yum”.
Heli itu turut bikin kagum Leonard Parish, salah satu instruktur Hiller Helicopters. Pasalnya Joem sudah berhasil mengembangkan teknologi rotor stabilizer yang baru eksis di dunia penerbangan khusus rotary wing pada 1950-an. Bahkan, Parish pula yang mencetuskan nama “SoemarCopter”.
“Ah sialan, Soem. Ini helikopter sungguhan! Namai ‘SoemarCopter’. Apakah Nurtanio mengetahuinya?” kata Parish.
Ketika Joem kembali berangkat ke Amerika untuk lagi-lagi mempelajari heli di pabrikan Hiller dan Sikorsky, helinya dia dititipkan di LAPIP. Sialnya, heli itu hilang tak berbekas.
Baca juga: Akhir Tragis Heli Raksasa Mil Mi-6
Helikopter Kepik
Helikopter ini dibangun sebagai sebuah eksperimen. Menurut S. Trihadi dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Udara, heli itu dibangun seiring beberapa proyek eksperimen alutsista fixed wing oleh LAPIP, seperti pesawat Kumbang 260, pesawat Kunang, dan Belalang.
Namun tak banyak sumber yang menguraikan spesifikasi heli yang dinamai “Kepik” oleh Presiden Sukarno itu. Catatan yang ada menyebutkan, Kepik sempat tujuh kali diujiterbangkan. Nahasnya, pada uji terbang ketujuh di Lapangan Pindad, 22 Maret 1964, yang dilakoni langsung oleh Joem Soemarsono, mengalami kecelakaan.
“Badan pesawat sudah terangkat, namun salah satu daun rotor lepas dari dudukannya dan melesat melewati kening Yum, dan bagai sebuah pisau yang sangat tajam langsung menebas tangan kirinya dan menyabet Dali, asistennya hingga tewas seketika,” kata buku Bakti TNI Angkatan Udara: 1946-2003.
Joem masih selamat meski kehilangan tangan kirinya. Akan tetapi ia tetap mampu meneruskan darma baktinya dengan menggunakan alat throttle collective device untuk membantunya menerbangkan heli-heli lain.
Baca juga: Saat Heli Trengginas Diganti Heli Bekas
Helikopter Kolentang
Selain Joem Soemarsono, Nurtanio pun tercatat pernah membuat sebuah helikopter tipe gyrocopter pada 1962. Nurtanio menggunakan rangka dari desain gyrocopter Bensen B-8M tapi dengan menggunakan mesin mobil Volkswagen yang kemudian dinamai “Kolentang”.
“Nurtanio ingin mendemonstrasikan kegunaan dan kelincahan gyrocopter Kolentang sebagai kendaraan darat sekaligus kendaraan udara,” tulis J.M.V. Soeparno dalam Nurtanio: Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia.
Dalam rencananya, lanjut Soeparno, Nurtanio ingin bertolak dari kediamannya ke Jakarta dengan Kolentang melalui jalan-jalan di tengah kota menuju Lanud Husein Sastranegara. Dari sana, baru Nurtanio akan menerbangkan Kolentang ke Bandara Kemayoran, Jakarta.
“Seringkali gyrocopter ini dijuluki ‘kursi terbang’. Kolentang hanya sempat dibuat satu buah saja. Meski tak sempat masuk tahap produksi, bahkan sebagian besar rusak atau malah hancur karena pelbagai sebab, tetapi pesawat-pesawat bersayap putar ini dapat menjadi pengingat bahwa Indonesia ternyata mampu merancang helikopter,” tandas Martinus.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar