Jam Malam Mencekam di Negeri Oranye
Belanda menerapkan jam malam pertama sejak Perang Dunia II. Memicu kerusuhan di segenap penjuru negerinya.
SUDAH tiga hari terakhir ini Amanda, seorang warga negara Indonesia (WNI) di Amsterdam, Belanda, tak bisa tenang. Kerusuhan saban malam pecah sejak pemerintah Belanda menarapkan lockdown dan jam malam pada 23 Januari 2021.
“Iya, di sini (Belanda) sedang ada jam malam dan jadi kacau keadaannya. Sejak kemarin sudah 240 orang ditangkap. Malam ini semakin buruk. Kerusuhannya bahkan sudah mendekat, kira-kira 200 meter dari apartemen saya,” ungkap WNI yang kuliah dan bekerja di Amsterdam sejak tiga tahun lalu itu via pesan singkat Telegram pada Senin malam, 25 Januari waktu setempat (Selasa, 26 Januari dini hari WIB).
Kerusuhan dahsyat pada Senin malam yang mencemaskan Amanda itu tak hanya terjadi di Amsterdam namun di hampir semua kota besar di Negeri Kincir Angin, seperti Rotterdam, Haarlem, Eindhoven, dan Den Bosch. Malam itu 70 perusuh akhirnya diamankan aparat kepolisian.
Pihak KBRI Den Haag mengeluarkan imbauan resmi agar para WNI untuk menaati jam malam dan memantau situasi lewat laman resmi KBRI Den Haag, id.indonesia.nl, serta menghubungi mereka lewat tujuh hotline yang disediakan jika terjadi sesuatu. Himbauan dan fasilitas itu disediakan karena perusuh tak hanya menyasar aparat sebagai simbol pemerintah, melainkan juga sejumlah pertokoan dan pusat perbelanjaan yang turut dijarah sebelum dilempari kembang api dan bom molotov.
“Ini tak ada hubungannya dengan protes, ini kekerasan yang sudah jadi tindak kriminal dan kami akan melakukan tindakan yang sepatutnya,” kata Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte mengecam, dikutip BBC, Senin 25 Januari 2021.
Para pengunjuk rasa anti-lockdown berubah jadi beringas ketika berhadapan dengan aparat kepolisian kala sudah lewat jam malam. Rijksinstituut voor Volksgezondheid en Milieu (RIVM) atau Institut Kesehatan dan Lingkungan Umum, Kementerian Kesehatan Belanda, menerapkan jam malam antara pukul 9 malam hingga 4.30 pagi waktu Belanda. Bagi yang melanggar, bakal dikenakan sanksi denda 95 euro (Rp1,6 juta).
Pemerintah Belanda juga menerapkan larangan penerbangan dari dan menuju Inggris dan Afrika Selatan sebagai langkah pencegahan lebih lanjut terhadap penyebaran varian baru COVID-19 atau virus corona Inggris yang dikabarkan 30 persen lebih mematikan. PM Rutte terpaksa menerapkannya karena peningkatan kembali kasus COVID-19 di “Negeri Oranye” hingga hari ini, Selasa, 26 Januari 2021 sudah mencapai lebih dari 950 ibu positif dan lebih dari 13 ribu di antaranya meninggal. Ini kali pertama masyarakat Belanda kembali mengalami pembatasan aktivitas lewat jam malam sejak 80 tahun silam di tengah pergolakan Perang Dunia II.
Jam Malam Rezim Nazi
Jauh sebelum Jerman mengobarkan Perang Dunia II dengan menginvasi Polandia pada 1 September 1939, Kerajaan Belanda sudah menyatakan diri sebagai negara netral. Namun, tak seperti Spanyol, Swiss, dan Swedia, nahas melanda Belanda karena tetap diserbu pasukan baja Jerman yang merangsek ke Benelux (Belgium, Netherlands, Luxembourg) di musim panas 1940.
Tiga negara kecil itu pun kocar-kacir saat perbatasan mereka didobrak pasukan Jerman lewat Operasi “Fall Gelb”, dini hari 10 Mei 1940. Pasukan agresor berjumlah 750 ribu personil itu terbagi ke dalam 22 divisi dan diiringi lebih dari 700 panser serta dibantu 800 pesawat tempur dan pembom Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) sebagai bagian dari Heeresgruppe B (Grup Angkatan Darat Jerman B).
Dari semua kota besar di Belanda, Rotterdam yang mengalami nasib paling nahas akibat tak dinyatakan sebagai kota terbuka. Ia dijadikan lautan api setelah dibombardir 25 pesawat pembom tukik Junkers Ju-87 “Stuka” dan 54 pembom Heinkel He-111. Total, Rotterdam dihujani 300 kilogram bom dari udara, ditambah pemboman dari darat oleh Divisi Panser AD ke-9 dan Divisi Panser SS (Schutzstaffel) ke-1 “Leibstandarte SS Adolf Hitler”.
Baca juga: Horor Warsawa dari Mata Lensa Pewarta
Hanya empat hari Belanda bertahan dan akhirnya bertekuk lutut. Namun sebelum negerinya dimasuki serdadu Jerman dan menyerah secara resmi pada 15 Mei, Ratu Wilhelmina telah kabur dengan membawa para pejabat pemerintahan darurat ke London, Inggris. Kekosongan pemerintahan akibat tak satu pun politikus Belanda mau jadi boneka Nazi-Jerman membuat Jerman membentuk pemerintahan sipil sendiri dan menunjuk Arthur Seyss-Inquart, petinggi Nazi Austria, sebagai pemimpin Reichskommissariat Niederlande.
Sejak saat itulah kehidupan penuh tekanan terhadap warga Belanda dimulai. Dalam Altruistic Personality: Rescuers of Jews in Nazi Europe, Samuel P. Oliner menjelaskan bahwa Seyss-Inquart, sebagaimana pemerintahan boneka Nazi lain, mengimplementasikan garis besar kebijakan Gleichschaltung. Semua organisasi dan partai non-sayap kanan dilikuidasi dan masyarakat dikotak-kotakkan berdasarkan ras.
Kaum Yahudi jadi sasaran represi. Namun, Seyss-Inquart paham bahwa masyarakat Yahudi dan Nasrani di Belanda punya ikatan kuat sejak berabad-abad. Oleh karena itu hingga Agustus 1940, pemisahan antara Yahudi dan non-Yahudi tak seberingas di Polandia dan Prancis yang ditempatkan khusus semacam ghetto. Tujuan penerapan kebijakan itu ialah untuk mengambil hati masyarakat Belanda lain, yang masih serumpun dengan orang Jerman.
Baca juga: Pembantaian Nazi di Mława dan Modlin
Untuk sementara, tak ada satu pun ghetto di Belanda. Para Yahudi baru sekadar diwajibkan mengenakan tanda lengan Yahudi dan dilarang datang ke rumah-rumah orang non-Yahudi. Aturan itu lalu diperketat dengan represi pencaplokan lahan-lahan tuan tanah Yahudi, pengusiran guru-guru Yahudi dari semua institusi pendidikan, dan pemecatan pegawai-pegawai Yahudi di pemerintahan lokal.
“Meski Jerman bertindak hati-hati selama bulan-bulan pertama pendudukan, ketentraman (di Belanda) tak bertahan lama. Aturan anti-Yahudi diterapkan pada Agustus 1940. Orang-orang Yahudi diwajibkan mendaftarkan harta kekayaan dan yang menolak akan dijebloskan ke bui. Akhirnya terjadi protes yang berujung kerusuhan,” tulis Jack Fischel dalam The Holocaust.
Baca juga: Riwayat Rudolf Höss Si Jagal Auschwitz
Untuk meredam protes massal orang Yahudi yang disokong sejumlah masyarakat Belanda lain, lanjut Fischel, Seyss-Inquart mencoba “merangkul” dengan membentuk Joodse Raad, dewan khusus Yahudi, pada Februari 1941. Namun tetap saja Joodse Raad belum bisa mencegah pelanggaran yang berbuah kekerasan tanpa ujung.
“Pihak Nazi sampai memberi pelajaran kepada Yahudi, di mana pada 22 Februari mereka memblokade area pemukiman Yahudi di kota Amsterdam dan menangkapi 389 lelaki Yahudi. Mereka kemudian dideportasi ke (kamp konsentrasi) Buchenwald dan kemudian Mauthausen. Hingga perang usai, hanya satu di antara mereka yang masih hidup,” imbuhnya.
Tiga hari pasca-peristiwa itu, kelompok-kelompok buruh non-Yahudi di Amsterdam turun ke jalan dan melancarkan pemogokan umum. Polisi dan tentara baru dapat meredam aksi buruh mencekam itu tiga hari kemudian. Pada 12 Maret, Reichssicherheitshauptamt (Dinas Keamanan Jerman) pimpinan Obergruppenführer Reinhard Heydrich mengeluarkan keputusan semua orang Yahudi di negara-negara pendudukan akan dideportasi massal, termasuk di Belanda.
Untuk memindahkan Yahudi asal Belanda, RSHA menempatkan semua organisasi Yahudi di bawah otoritas Joodse Raad dan menetapkan dekrit lanjutan untuk memisahkan Yahudi dari populasi Belanda. Pada Mei, jam malam mulai diaplikasikan untuk semua warga Belanda dari pukul 8 malam sampai 6 pagi. Jam malam itu rutin disiarkan lewat radio dan mobil-mobil dengan pengeras suara yang berkeliling kota. Pada musim dingin kemudian, jam malam diperpanjang satu jam jadi jam 9 malam sampai jam 7 pagi.
“Orang-orang Yahudi juga hanya diizinkan berbelanja di pasar dari jam 3-5 petang. Yahudi juga dilarang berperjalanan jauh, dan dilarang menggunakan transportasi umum tanpa izin khusus. Aturannya bertambah pada Agustus 1941, di mana anak-anak Yahudi dilarang masuk sekolah umum. Menjadi tanggung jawab Joodse Raad untuk mengisi kekosongan pendidikan itu dengan membuka sekolah mereka sendiri,” tambah Fischel.
Baca juga: Reinhard Heydrich, Jagal Nazi Berhati Besi
Hukuman bagi pelanggar yang tertangkap basah keluar rumah lewat jam malam bukan lagi denda sebagaimana yang ditegaskan PM Rutte pekan sebelumnya. Lewat aturan baru, para pelanggar mesti siap diberangkatkan pasukan SS ke kamp konsentrasi atau dihadapkan ke barisan eksekutor.
“Pelanggaran jam malam, baik disengaja atau tidak, pasti berakibat fatal. Pada tahun kedua masa pendudukan, Herman Wallenga, seorang Yahudi dari Leeuwarden, membeli sekantung apel saat sudah lewat lima menit dari jam malam. Ia ditangkap dan langsung dikirim ke Auschwitz, di mana dia dieksekusi beberapa pekan kemudian,” tulis Peter Romijn dalam “The Experience of the Jews in the Netherlands” yang dimuat dalam Dutch Jewry: Its History and Secular Culture (1500-2000).
Situasi bertambah mencekam saat memasuki tahun 1942. Razia untuk mencari Yahudi yang bersembunyi di rumah-rumah non-Yahudi mulai dilancarkan. Banyak orang Yahudi yang lantas mencoba menyelamatkan diri dengan beralih keyakinan menjadi Katolik, demi berlindung di balik jubah Uskup Agung Johannes de Jong. Namun, 201 di antara mereka tetap dijemput paksa Pasukan SS dan dikirim ke Kamp Konsentrasi Auschwitz.
Hingga awal 1945, kereta-kereta barang hilir-mudik mengantar puluhan ribu Yahudi dari provinsi-provinsi Belanda ke kamp transit Westerbork, lalu dilanjut ke kamp-kamp konsentrasi seperti Auschwitz, Sobibor, atau Bergen-Belsen. Di kamp-kamp itulah mereka menemui ajal masing-masing.
Kenyataan pahit itu antara lain dialami keluarga Anne Frank, yang kisahnya kondang berkat diterbitkannya catatan harian Anne dengan tajuk Het Achterhuis.
“Keluarga Frank dikirim ke Westerbork, dan dideportasi dari sana ke Auschwitz, di mana ibu Anne, Edith, meninggal. Sedangkan Anne dan kakaknya, Margot, dikirim ke Bergen-Belsen pada akhir Oktober 1944, di mana mereka tewas setelah menderita sakit typhus. Hanya sang ayah, Otto Frank, yang selamat sampai akhir perang,” sambung Fischel.
Kisah Anne Frank yang ditemukan Miep Gies, eks pekerja bawahan Otto Frank, jadi gambaran umum bagaimana orang-orang Yahudi mati-matian menghindari deportasi dengan bergantung pada belas kasih teman maupun kenalan non-Yahudi mereka. Tak peduli bantuan itu cuma-cuma atau yang dengan pamrih.
Hingga berakhirnya Perang Dunia II, tak terkira korban holocaust di seantero Eropa, termasuk Belanda. Fischel menyebutkan, dari sekira 140 ribu penduduk Yahudi di Belanda sebelum pendudukan Jerman, hanya 15 ribu yang selamat ketika Jerman angkat kaki dari Belanda.
Baca juga: Adik Hermann Goering Penyelamat Yahudi
Tambahkan komentar
Belum ada komentar