Riwayat Rudolf Höss Si Jagal Auschwitz
Perwira Nazi yang dijadikan inspirasi pembuatan novel dan film “The Boy in the Striped Pyjamas” merupakan jagal yang tinggal di dekat kamp konsentrasi dengan membawa keluarga.
SEPERTI biasa, Bruno (diperankan Asa Butterfield) selalu menyelingi perjalanan pulang sekolahnya dengan bermain bersama tiga temannya. Tetapi sesampainya di depan rumah, Bruno mendapati suasana berbeda. Ia hanya berdiri terpaku. Pandangannya terkunci pada sejumlah serdadu yang membawa keluar barang-barang dari rumahnya.
Saat duduk bersama ayah dan ibunya, Bruno menelan penjelasan bahwa mereka harus ikut sang ayah ke tempat tugas barunya di luar kota Berlin. Ayah Bruno merupakan perwira Schutzstaffel (SS/Paramiliter Nazi). Oleh karena itu demi menenangkan hati Bruno, sang ibu meyakinkannya bahwa toh nanti di rumah baru Bruno akan punya teman baru.
Benar apa yang dikatakan sang ibu. Di rumah barunya di sebuah kawasan terpencil di Polandia yang diduduki Jerman, Bruno mendapat kawan baru, Shmuel (Jack Scanlon). Namun yang diherankan Bruno, Shmuel tak seperti anak biasa karena selalu memakai pakaian lusuh bermotif garis-garis yang dianggap Bruno sebagai piyama. Persahabatan mereka pun dipisahkan pagar berduri yang dialiri listrik.
Adegan ironis itu jadi salah satu adegan dalam film The Boy in the Striped Pyjamas (2008), film drama holocaust yang diangkat dari novel bertajuk serupa karya penulis Irlandia John Boyne. Novel yang dirilis dua tahun sebelum filmnya itu jadi best-seller di pasar global.
Baca juga: Alkisah Bocah Nazi dan Piyama Yahudi
Menurut Boyne dalam wawancaranya dengan BBC, 12 Maret 2009, ia meracik drama dalam novelnya berdasarkan secuil kisah nyata di Kamp Konsentrasi Auschwitz yang jadi ujung tombak pelaksanaan holocaust semasa Perang Dunia II.
“Tidak ada satupun dalam ceritanya berdasarkan satu sosok yang spesifik, kecuali Rudolf Höss, komandan Auschwitz di masa perang, di mana faktanya dia membawa istri dan anak-anaknya ke kamp dan mereka tinggal beberapa tahun di sana. Tokoh bocah Yahudi, Shmuel, sekadar representasi jutaan anak yang diseret ke kamp-kamp konsentrasi,” ujar Boyne.
David Thewlis, aktor yang memerankan ayah Bruno bernama Ralf, mengakui bahwa karakter yang dimainkannya terinspirasi dari sosok Höss. Untuk itu, demi mendalami karakter Höss, Thewlis membaca novel karya Boyne maupun memoar yang ditulis Höss, Commandant of Auschwitz: The Autobiography of Rudolf Hoess.
“Isi memoar itu, di mana ia diperintahkan pihak Inggris untuk menuliskannya di masa persidangan hingga eksekusinya, cukup membuat saya syok. Tetapi memoarnya sangat membantu saya memahami karakter ini. Dia pria yang mencintai keluarga dan faktanya di Auschwitz ia membesarkan kelima anaknya di rumah yang punya pemandangan langsung ke gedung kremasi,” kata Thewlis kepada RTÉ, 9 September 2008.
Disiplin Agama dan Militer
Lahir sebagai anak tertua dari tiga bersaudara pada 25 November 1901 di Baden-Baden, Rudolf Franz Ferdinand Höss sejak kecil dididik dalam kedisiplinan Katolik dan militer. Ibunya, Lina Speck, sangat ketat mendidik Höss dan kedua adik perempuannya dengan ajaran Katolik. Sementara sang ayah, Franz Xavier Höss, yang veteran perwira pasukan koloni Jerman di Afrika Timur, merujuknya ke sekolah militer.
Maka ketika baru berusia 15 tahun, Höss sudah ikut angkat senjata di Perang Dunia I (1914-1918). Höss ditugaskan dalam Resimen Dragoons ke-21, Angkatan Darat Kekaisaran Jerman –tempat ayah dan kakeknya pernah bertugas. Höss yang menjadi perwira rendah termuda dengan pangkat feldwebel (setara sersan kepala), melanglang buana di beragam pertempuran, mulai dari Baghdad, Kut-el-Amara, Palestina, hingga Gallipoli.
Baca juga: Reinhard Heydrich, Jagal Nazi Berhati Besi
Pasca-Perang Dunia I, Höss bergabung ke satuan paramiliter berhaluan kanan Korps Sukarela Prusia Timur. Dia lalu masuk Freikorps “Rossbach” yang terlibat di Pemberontakan Silesia (1919-1921), untuk membebaskan wilayah Ruhr dari Polandia dan Prancis.
Semasa di pasukan paramiliter nasionalis itulah Höss mulai mengenal ideologi Naziisme, dari kawan dekatnya, Martin Bormann, yang kelak jadi sekretaris pribadi Adolf Hitler dan ketua kantor pusat Partai Nazi. Höss pun jadi kader Partai Nazi pada 1922.
Pembunuhan Walther Kadow pada 31 Mei 1923 menyeret Höss ke meja hijau dan kemudian penjara selama 10 tahun. Kadow jadi target pembunuhan atas perintah Bormann yang jadi informan bagi otoritas pendudukan Prancis semasa Pemberontakan Silesia. Meski begitu, Höss hanya empat tahun mendekam di Penjara Brandenburg lantaran mendapat amnesti.
Kehidupan militer kembali digeluti Höss selepas menghirup udara bebas. Ketika SS-Totenkopfverbände –unit khusus paramiliter Nazi yang kelak kondang sebagai kepanjangan tangan Hitler akan holocaust– berdiri pada Juni 1934, Höss turut bergabung. Dia lalu dikenal sejumlah petingginya, termasuk Heinrich Himmler.
Penugasan pertamanya adalah memimpin sebuah pos keamanan di Kamp Konsentrasi Dachau, Desember 1934. Dachau jadi salah satu kamp konsentrasi pertama yang didirikan selepas Hitler naik jadi kanselir. Isinya adalah para interniran dan tahanan politik musuh Nazi.
Empat tahun berselang, Höss dipromosikan jadi hauptsturmführer (setara kapten) dengan tugas jadi ajudan Kolonel Hermann Baranowski. Baranowski merupakan komandan Kamp Konsentrasi Sachsenhausen.
Keluarga Bahagia di Auschwitz
Di Dachau dan Sachsenhausenlah Höss mulai mendalami holocaust. Penguasaannya terhadap holocaust itu berguna kala dipromosikan jadi komandan Kamp Auschwitz di Polandia yang masih nol.
“Saya diberi perintah dari otoritas yang lebih tinggi untuk mengubah bekas barak artileri Polandia dekat Auschwitz menjadi kamp karantina untuk tahanan yang datang dari Polandia. Setelah Himmler menginspeksi kamp pada 1941, saya menerima perintah memperluas kamp dan mempekerjakan para tahanan untuk mengembangkan distrik pertanian dengan menguruk rawa-rawa di area itu,” kata Höss sebagaimana dikutip John W. Primomo dalam Architect of Death at Auschwitz: A Biography of Rudolf Hoss.
Baca juga: Heinrich Himmler, Arsitek Genosida Nazi
Kamp Auschwitz I mulanya hanya bisa menampung sekitar 10 ribu tahanan Yahudi dan ras-ras inferior lain. Setelah invasi Jerman ke Uni Soviet yang diikuti dengan kedatangan ratusan ribu Tentara Merah yang tertawan, Auschwitz kewalahan. Höss lalu diperintahkan membangun dua kompleks kamp baru yang kemudian dikenal sebagai Kamp Auschwitz II-Birkenau dan Kamp Auschwitz III-Monowitz.
Höss selalu ingin tetap dekat dengan keluarga kendati berpindah-pindah tempat penugasan. Maka sejak memegang komando Garnisun Auschwitz dengan pangkat obersturmbannführer (setara letnan kolonel), Höss mengajak serta istrinya, Hedwig Hensel, dan empat anaknya: Klaus (10), Heidetraut (8), Inge-Brigitt (6), dan Hans-Jürgen (3). Anak kelimanya, Annegret, lahir di vila berlantai dua dekat Auschwitz I yang mereka tinggali sejak 1940.
Baca juga: Josef Mengele dan Eksperimen Mengerikan di Kamp Konsentrasi
Keluarga Hoss hidup nyaman di Auschwitz dengan menempati sebuah vila mewah berikut beragam fasilitasnya.
“Villa dua lantai itu berada dekat dengan kamp dan sangat mudah melihat gedung kremasi Auschwitz I. Rumahnya didekorasi dengan barang-barang curian dari para tahanan. Keluarga Höss menikmati pelayanan juru masak, pengasuh, tukang kebun, sopir, pencuci pakaian, pemotong rambut, hingga pembersih rumah, di mana beberapa di antaranya tahanan kamp. Dari waktu ke waktu Höss juga menjamu Himmler dan para petinggi SS di vilanya,” sambung Primomo.
Meski begitu, keluarga Höss hidup di atas penderitaan para tahanan Auschwitz yang kemudian tewas disiksa, dieksekusi, dijadikan korban eksperimen maupun karena penyakit. Istri – Höss, Hedwig, baru mengetahui nasib para tahanan itu setelah dua tahun tinggal di vila mewah itu– dan anaknya tak ada yang tahu hal itu karena mereka semua tak paham apa sebetulnya pekerjaan Höss.
Sebagai komandan kamp, Höss bertugas mengatur para pekerja paksa hingga memutuskan penggunaan zat kimia Zyklon B. Penggunaan Zyklon B di kamar-kamar gas merupakan pengejawantahan “Final Solution”, perintah Himmler dalam mengatasi persoalan Yahudi.
Baca juga: Adik Hermann Goering Penyelamat Yahudi
Perangai jagal Höss di kamp berkebalikan dengan perangainya di rumah. Di rumah, Höss seorang pria yang lembut dan mencintai keluarga. Itu diakui putrinya, Brigitt, kala diwawancarai Thomas Harding pada 2013 untuk bukunya, Hanns and Rudolf: The True Story of the German Jew Who Tracked Down and Caught the Kommandant of Auschwitz.
“Dia pria paling baik di dunia. Dia sangat lembut dan mencintai kami. Saya ingat kala makan bersama, bermain di taman, dan membacakan buku cerita Hansel and Gretel,” kata Brigitt mengenang.
Namun kemewahan berikut kenyamanan keluarga Höss hanya seumur jagung. Seiring berakhirnya perang, Höss harus berpisah dengan keluarganya. Sementara keluarganya bersembunyi di sebuah rumah di pedesaan dekat pabrik gula Sankt Michaelisdonn, Höss melarikan diri ke perbatasan Denmark dengan menyamar sebagai personil Kriegsmarine (Angkatan Laut Jerman) bernama Franz Lang.
“Saya ingat ketika mereka (pasukan Inggris, red) datang ke rumah kami untuk menginterogasi. Mereka berteriak: ‘Di mana ayahmu? Di mana ayahmu?’. Mereka selalu mengulang pertanyaan itu yang membuat saya mengalami sakit kepala hebat. Sejak saat itu saya mengidap migraine,” lanjut Brigitt.
Baca juga: Albert Speer Arsitek Kebanggaan Nazi
Hingga setahun pasca-Perang Dunia II, Höss alias Franz Lang tetap terpisah dari keluarganya. Höss hidup seorang diri dan bekerja sebagai tukang kebun di Gottrupel. Di sanalah Höss akhirnya ditangkap pada 11 Maret 1946 setelah tak bisa mengelak ketika ditemukan mengenakan cincin kawin yang di bagian dalamnya bertuliskan “Rudolf dan Hedwig”.
Höss lantas diseret ke Pengadilan Nuremberg sebagai saksi terhadap terdakwa Ernst Kaltenbrunner, salah satu perwira tinggi Gestapo; dan Oswald Pohl, kepala Dinas Ekonomi SS yang jadi tokoh kunci “Final Solution”. Dalam kesaksiannya di Nuremberg, Hoss mengakui bahwa di tiga kamp Auschwitz (Auschwitz I, Auschwitz II-Birkenau, Auschwitz III-Monowitz) ada sekira tiga juta nyawa melayang. Sebanyak 2,5 juta di antaranya meninggal akibat dieksekusi secara konvensional dan lewat kamar gas, 500 ribu sisanya tewas akibat kelaparan dan penyakit.
Höss juga menerangkan cara kerja kamar-kamar gas. Dengan menggunakan Zyklon B, para tahanan paling lama bertahan 10 menit sebelum dijemput ajal. Dalam sejam, setiap satu kamar gas sudah bisa membunuh dua ribu tahanan.
Angka-angka itu memang sekadar perkiraan Höss, lantaran ia tak bisa mengungkapkan detailnya. Akan tetapi, ketika sudah diserahkan ke Pengadilan Tinggi Nasional Polandia pada 25 Mei 1946, Höss meralat angka yang dia ungkapkan di Nuremberg. Di pengadilan tinggi itu, status Höss tak lagi saksi melainkan terdakwa.
Baca juga: Adolf Eichmann, Perwira Nazi Spesialis Yahudi
“Saya tak pernah tahu total angkanya. Saya hanya bisa mengingatnya berdasarkan ingatan dari angka-angka dari laporan (petinggi RSHA/Obersturmbannführer Adolf) Eichmann atau para deputinya. Dari Silesia 250 ribu (tahanan), Jerman dan Theresienstadt 100 ribu, Belanda 95 ribu, Belgia 20 ribu, Prancis 110 ribu, Yunani 65 ribu, Hungaria 400 ribu, Slovakia 90 ribu, total 1.130.000. Saya tak bisa mengingat angka dari aksi-aksi yang lebih kecil. Tetapi total 2,5 juta terlalu tinggi karena Auschwitz punya keterbatasan kemampuan destruktifnya,” aku Höss.
Pengadilan itu lalu menjatuhkan vonis hukum gantung pada Höss yang menjalani sidang sejak 11-29 Maret 1947. Eksekusinya digelar tepat di sebelah ruang kremasi Auschwitz I pada 16 April 1947. Sebelum dieksekusi, Höss sempat melakukan penebusan dosa kepada Pastor Władysław Lohn dan menuliskan surat untuk istri dan anak-anaknya.
“Kini aku bisa melihat lebih jelas dengan keadaan yang pahit, bahwa ideologi yang selama ini aku yakini faktanya berdasarkan premis-premis yang salah dan ternyata benar bahwa pada suatu hari akan tumbang. Tindakan-tindakanku semasa bertugas jelaslah salah. Keraguan sebenarnya selalu menghampiri ketika aku berpaling dari Tuhan. Itu menjadi pergulatan yang berat. Akan tetapi sekali lagi aku bisa menemukan keyakinanku pada Tuhan,” kata Hoss dalam surat terakhirnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar