Josef Mengele Dokter Keji Nazi
Bukan dengan senjata, dokter muda Nazi ini menyandang julukan “Malaikat Kematian” dengan beragam eksperimen mengerikan.
PADA 11 Januari 2017, dokter Daniel Romero Muñoz, ketua Jurusan Medis Legal Universitas Kedokteran São Paulo, akhirnya mendapatkan hasil dari perjuangannya. Izin menggunakan tulang-belulang Josef Mengele, dokter muda Jerman-Nazi, untuk objek penelitian didapatnya setelah berkali-kali mengajukan.
Selama tiga dekade, tulang-belulang Mengele hanya teronggok di dalam kantong jenazah di Institut Legal Medis São Paulo. Tulang-belulang sisa jasad dokter keji itu tak pernah berhasil dibawa pulang keluarganya ke Jerman pasca tewasnya Mengele pada 7 Februari 1979.
Selama empat tahun terakhir ini, tulang-belulang itu senantiasa jadi objek mata kuliah forensik dan penelitian di kelasnya. Hasil penelitian dan pembahasan bersama para mahasiswanya lantas dicocokkan dengan data dalam sejumlah dokumen bersangkutan.
“Contohnya, kami menemukan retakan di tulang panggul kiri. Dari dokumen yang ditemukan, disebutkan ia mengalaminya akibat kecelakaan di Auschwitz,” ujar Muñoz sebagaimana disitat The Guardian, 11 Januari 2017.
Dari pengamatan pada tengkorak Mengele, dia mendapati sebuah lubang kecil di tulang pipi kiri. Menurut Muñoz, itu fakta bahwa Mengele semasa hidupnya mengidap sinusitis jangka panjang.
Meski membuka lebih besar tabir kekejaman Mengele dan rezim Nazi, temuan itu tetap tak mampu menghapus kesedihan para penyintas holocaust. Seperti yang dialami Cyrla Gewertz, penyintas holocaust asal Polandia yang di masa tuanya juga tinggal di Brazil. Tato di tangan kiri bertuliskan “A24840” senantiasa jadi pembangkit traumanya sebagai salah satu korban eksperimen Mengele.
“Saya tak bisa mengatakan perasaan saya. Sudah terlalu banyak memori menyakitkan tentang dia dan apa yang dia lakukan pada saya dan anak-anak lain di Auschwitz. Semua itu tak pernah bisa saya hapus dari ingatan,” kata Gewertz.
“(Mengele) memerintahkan saya untuk telanjang dan masuk ke tong besar berisi air yang sangat panas. Katanya jika tak menurut, saya akan dibunuh. Setelah itu saya diperintahkan masuk ke tong berisi air yang membeku. Dia seorang iblis jahat. Seorang penyiksa yang kejam,” ujarnya lirih.
Gewertz hanyalah satu dari sedikit penyintas korban eksperimen bengis para dokter Jerman Nazi di masa Perang Dunia II. Meski Mengele bukan satu-satunya, dia dikenal sebagai dokter yang bereksperimen dengan objek manusia menggunakan metode yang amat tak berperikemanusiaan.
Dokter Cemerlang
Sebagai sulung dari tiga bersaudara pasangan Walburga Hupfauer dan Karl Mengele, Mengele dikenal punya otak cemerlang di sekolahnya. Pria kelahiran Günzburg pada 16 Maret 1911 itu juga punya banyak hobi, mulai dari bermain instrumen musik, seni rupa, hingga main ski.
Namun di masa mudanya, sebagaimana disebutkan David G. Marwell dalam Mengele: Unmasking the “Angel of Death”, Mengele “tertular” virus politik sayap kanan dan antisemit dari ayahnya. Sang ayah yang veteran Perang Dunia I dan mendirikan pabrik mesin pertanian, juga kader aktif Deutschnational Volkspartei (DNVP/Partai Nasional Rakyat Jerman). Pada 1935, Karl Mengele bahkan jadi kader Partai Nazi dan masuk jadi anggota paramiliter Nazi Schutzstaffel (SS) walau tak pernah turut dalam operasi militer apapun.
“Itu memengaruhi Josef Mengele untuk bergabung ke Grossdeutschen Jugenbund (GDJ, Liga Pemuda Jerman Raya) sejak 1927. Retrospektif Mengele tercermin dari masa-masanya di GDJ dengan gagasan nasionalis dan antisemit yang sangat jelas,” tulis Marwell.
Seraya melanjutkan studi antropologinya di Universitas Munich, pada 1931 Mengele meleburkan diri ke barisan Der Stahlhelm. Pasukan paramiliter sukarela ini pasca keruntuhan Kekaisaran Jerman meleburkan diri ke dalam Sturmabteilung (SA, sayap militer Nazi). Alih-alih mengganggu studinya, kegiatan-kegiatan itu justru membuatnya lebih giat meriset tentang kemurnian ras.
Baca juga: Dr. Joseph Goebbels, Setia Nazi Sampai Mati
Pada 1935, disertasinya mengenai penemuan perbedaan struktur rahang bawah sejumlah manusia dari kelompok-kelompok etnis berbeda dan perbedaan ras bisa menjadi dasar dari perbedaan itu, mengantarkannya meraih gelar PhD di program studi antropologi di Universitas Munich. Gelar doktor kedua diraih Mengele dengan predikat cum laude pada 1938 di studi medis Universitas Frankfurt.
Doktor di bidang medis itu diraihnya setelah mempertahankan disertasi mengenai pengaruh genetik sebagai faktor kelainan fisik. Ia meriset sejumlah keluarga yang punya gejala-gejala kelainan itu secara turun-temurun. Riset ini dibimbing pakar genetika Profesor Otmar Freiherr von Verschuer, yang kelak selalu menerima kiriman jasad korban holocaust dari Auschwitz hasil eksperimen Mengele.
Mengele tak hanya tertantang di laboratorium namun juga penasaran dengan petualangan di medan perang. Setelah mengecap latihan dasar militer dengan pasukan infantri gunung Angkatan Darat (AD) Jerman, Mengele dengan pangkat letnan dua terjun ke palagan sebagai opsir medis lapangan di Divisi Panser SS Ke-5 “Wiking”. Petualangan itu berakhir setelah dia mengalami luka organ dalam di sebuah pertempuran dekat Rostov-on-Don, Ukraina, pertengahan 1942.
Baca juga: Reinhard Heydrich, Jagal Nazi Berhati Besi
Mengele lalu dipindah ke markas SS di Berlin, memimpin Kantor Urusan Ras dan Permukiman Yahudi. Di sinilah ia bereuni dengan Profesor Von Verschuer yang saat itu menjabat direktur Institut Antropologi, Keturunan Manusia, dan Egenetika Kaiser Wilhelm. Sang mentor mendorong Mengele pindah ke bagian kamp konsentrasi untuk meneruskan penelitian tentang genetika manusia yang dianggap inferior oleh Nazi.
Mangele manut. Pengajuan pindahnya pada awal 1943 diterima. Dengan pangkat kapten, Mengele lalu menjabat sebagai kepala medis sektor tahanan kaum gipsi di Kamp Konsentrasi Auschwitz-Birkenau. Di sinilah julukan “malaikat kematian” itu bermula.
Eksperimen-eksperimen Mengerikan
Jika para dokter SS lain bertugas memeriksa para tahanan yang baru datang di Auschwitz untuk ditentukan mana yang akan masuk kamp kerja paksa dan mana yang langsung dikirim ke kamar-kamar gas, Mengele punya kewenangan melakukan seleksi. Biasanya Mangele memilih anak kembar atau anak-anak dengan kondisi “istimewa” yang sejak tiba di Auschwitz dipisahkan dari para orangtua mereka.
“Kami berteriak. Kami menangis. Kami memohon, namun suara kami tenggelam dalam kekacauan dan bisingnya teriakan ribuan orang lain. Sia-sia betapapun kencangnya kami berteriak. Dengan gaun warna burgundy dan karena kami identik, kami sangat mencolok. Miriam dan saya telah dipilih (Mengele),” kenang Eva Mozes Kor, penyintas yang menuliskan pengalamannya dalam The Twins of Auschwitz: The Inspiring True Story of a Young Girl Surviving Mengele’s Hell.
Baca juga: Heinrich Himmler, Arsitek Genosida Nazi
“Tak lama setelahnya kami bertemu muka dengan Josef Mengele, dokter Nazi yang dikenal sebagai ‘Malaikat Kematian’. Dialah yang menyeleksi di peron stasiun (kamp Auschwitz) terkait siapa yang boleh hidup atau mati. Tentu saat itu kami tak tahu siapa dia. Kami hanya bocah berumur 10 tahun dan sejak saat itu kami tak lagi pernah bertemu papa, mama, Edit, atau Aliz (saudara) lagi,” sambungnya.
Disebutkan Jeremy Klar dan Henrietta M. Lily dalam Josef Mengele, studi genetika anak kembar jadi salah satu objek ambisius Mengele dalam bereksperimen di Auschwitz. “Dari situ diharapkan Mengele bisa mengungkap rahasia-rahasia yang jadi faktor kelahiran anak kembar. Tujuannya agar semua ras Arya dalam naungan Jerman Nazi bisa melahirkan anak-anak kembar, di mana nantinya populasi ras Arya bisa lebih cepat bertambah,” kata Klar dan Lily.
Anak-anak kembar seperti Eva dan Miriam Kor tak hanya diteliti dengan X-Ray, namun juga dijadikan objek eksperimen beraneka suntikan. Masih terang di ingatan Eva, biasanya setiap Senin, Rabu, dan Jumat para dokter yang dipimpin Mengele membawa mereka ke sebuah ruangan untuk ditelanjangi selama enam sampai delapan jam guna pemeriksaan X-Ray. Pada Selasa, Kamis, dan Sabtu, salah salah satu dari anak kembar akan disuntikkan sesuatu yang membuat mereka demam, sementara kaki dan tangan membengkak dan nyeri.
Baca juga: Eksperimen Unit 731, Alat Pembunuh Massal Jepang
Penderitaan di atas dialami Eva hanya demi Mengele bisa membandingkan kondisi yang dialami Miriam, kembaran identiknya, apakah merasakan hal yang sama walau tak ikut disuntik. Meski sakit parah, Eva bisa bertahan ketika dirawat di barak rumahsakit di kamp. Namun banyak yang tak semujur Eva.
Metode yang lebih sadis adalah eksperimen penyiksaan fisik hingga amputasi anggota-anggota tubuh dengan tujuan yang sama, apakah si kembaran yang tak mengalaminya juga turut merasakan hal serupa dengan kembarannya yang jadi objek percobaan.
“Eksperimen Mengele lainnya berfokus pada warna mata. Ras Arya murni diyakini punya rambut pirang dan mata biru. Mengele memulai eksperimennya dengan anak-anak tujuh tahun yang berambut pirang dan bermata coklat. Dia akan menyuntikkan mata anak-anak dengan cairan kimia, seperti methylene biru untuk melihat apakah dia bisa mengubah warna alami selaput matanya. Biasanya korbannya akan mengalami infeksi, kebutaan, bahkan kematian,” lanjut Klar dan Lily.
Parahnya, Mengele melakukan eksperimen-eksperimen itu tanpa menggunakan obat bius. Jika salah satu anak kembar yang jadi objek eksperimennya tewas, Mengele akan membunuh kembarannya dengan menyuntikkan kloroform tepat ke jantung. Sebelum mereka dikirim ke fasilitas-fasilitas penelitian anatomi tubuh, Mengele lebih dulu membandingkan catatan post-mortem sepasang kembaran malang itu.
Anak-anak kembar kaum gipsi mengalami eksperimen lebih mengerikan dibanding para anak kembar Yahudi. Mengele melakukan percobaan dengan menjahit punggung anak-anak kembar gipsi guna menciptakan kembar siam. Hampir semua objeknya akhirnya meninggal karena mengalami infeksi setelah berhari-hari tersiksa rasa nyeri tak terperikan.
Baca juga: Adik Goering Anti-Nazi dan Penyelamat Yahudi
Terhadap para tahanan dengan heterochromia atau kelainan warna mata berbeda, Mengele biasanya langsung membunuh mereka agar bisa mencongkel kedua mata beda warna itu dan mengirimnya ke Berlin untuk penelitian lebih lanjut.
Petualangan jahat Mengele itu berakhir ketika tentara Amerika Serikat menangkapnya pada Juni 1945. Namun, Mengele hanya sebulan ditahan karena berhasil menyamar dengan membuat dokumen palsu sebagai opsir Wehrmacht (pasukan reguler Jerman) bernama Fritz Ullman. Dibantu para simpatisan Nazi, penyamaran itu membuatnya berhasil kabur ke Argentina, membuatnya lolos dari jerat Pengadilan Nuremberg.
Saat Adolf Eichmann, konseptor “Final Solution” diculik Mossad pada 1960 dan diadili di Israel, Mengele melarikan diri lagi dari Argentina ke Paraguay. Dia berhasil mendapat kewarganegaraan Paraguay dengan pemalsuian identitas menggunakan nama José Mengele.
Baca juga: Kisah Mossad Memburu Adolf Eichmann
Meski Mossad terus memburunya sehingga Mengele terus membuat identitas palsu dan berpindah-pindah rumah persembunyian dari Argentina, Paraguay, Mesir, Yunani, Spanyol, hingga Brasil, Mossad akhirnya menghentikan perburuannya pada 1962. Mengele akhirnya tutup usia karena tenggelam kala tengah berenang di pantai Bertioga, São Paulo, Brasil pada 7 Februari 1979. Mengele tenggelam karena tak bisa mengendalikan tubuhnya setelah terserang stroke.
Sejak 1985, Rolf, putra tunggal Mengele, berupaya mengembalikan jenazah ayahnya. Namun hingga kini pemerintah Brasil menolak. Akibatnya, jasad Mengele teronggok tanpa terurus. Mangele yang semasa hidupnya mengorbankan banyak jiwa tak bersalah untuk dijadikan objek penelitian, kini tulang-belulangnya dijadikan objek penelitian medis.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar