Hans Christoffel Memburu Panglima Polem
Di Aceh, karier militer Hans Christoffel bersinar. Ia menemukan tempat persembunyian Panglima Polem dan menangkap istrinya. Panglima Polem akhirnya menyerah.
ORANG Aceh sulit ditaklukkan oleh militer Belanda. Perang Aceh berkobar sejak 1873. Ekspedisi militer Belanda pertama di Aceh harus memakan korban yang cukup memalukan. Jenderal Mayor J.H.R. Kohler terbunuh oleh penembak runduk Aceh. KNIL kehilangan banyak serdadu di Aceh. Kerkhof (pemakaman) Aceh adalah bukti kegigihan orang Aceh.
Setelah tahun 1889, militer Belanda menyadari taktik lama melawan orang Aceh tidak efektif. Pasukan KNIL dalam jumlah besar tak bisa bergerak terpisah jauh dari jalur logistik. Lalu terpikir oleh mereka sebuah pasukan kecil yang mampu bergerak mandiri meski jauh dari pangkalan.
“Pada tahun 1889 dibentuk dua detasemen pengawalan mobil yang dapat dianggap sebagai pelopor korps yang sesudah dua puluh tahun akhirnya merupakan jawaban terhadap masalah-masalah militer yang dikemukakan oleh Perang Aceh,” tulis Paul van t’Veer dalam Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje.
Baca juga:
Ide tentang pasukan ini datang dari Jaksa Kepala Kutaraja, Muhamad Arif. Van t’Veer menyebut ia menasihati Jenderal Van Teijn, yang sedang menjadi gubernur militer Aceh, agar membentuk pasukan kontragerilya kecil terlatih dan lincah, yang terdiri dari orang-orang cukup berani untuk mencari gerilyawan, lalu melawannya dengan senjata-senjata tradisional yang mirip lawan mereka. Staf sang jenderal kala itu adalah J.B. van Heutsz, yang belakangan menjadi jenderal.
“Diketahui bahwa kepala jaksa inilah yang nasihatnya mengarah pada pembentukan Korps Maréchaussée,” tulis H.C. Zentgraaff dalam Atjeh. Maréchaussée (Marsose) di Eropa mirip polisi militer dan Maréchaussée di Hindia Belanda dikenal sebagai Maréchaussée te voet alias Marsose Jalan Kaki.
Anggota Marsose tak hanya mengandalkan senjata api, tetapi harus jago bertarung jarak dekat menggunakan klewang. Seorang marsose juga harus pemberani dalam mendobrak serangan. Seorang marsose biasanya berada dalam barisan terdepan dalam menjebol benteng musuh.
Baca juga:
Hans Christofel Jagal dari Swiss
Mulanya hanya dibentuk dua divisi Marsose pada 1897 kemudian diperbesar menjadi lima divisi pada 1899. Satu divisi terdiri dari 12 brigade dan satu brigade terdiri dari 20 serdadu pilihan, baik dari Jawa maupun Ambon. Setiap brigade dipimpin seorang sersan Eropa dan kopral orang Indonesia.
Jika dalam sebuah divisi terdapat 240 marsose, maka lima divisi berarti KNIL punya 1.200 marsose siap tempur. Tidak jarang marsose-marsose itu bergerak dengan pasukan infanteri biasa. Pasukan marsose itu terbukti efektif. Zentgraaff mencatat, dalam kurun waktu 1890 hingga 1914, angka kematian dan luka-luka anggota KNIL dalam Perang Aceh hanya 7.707 orang.
Alam dan manusia Aceh harus diterjang Hans Christoffel. Naik turun bukit, keluar masuk hutan dan rawa harus dilaluinya tanpa kenal cuaca. Demi menemukan benteng orang Aceh, mereka bergerak siang-malam. Setelah jadi komandan satuan marsose, Christoffel harus seperti marsose biasa, ia juga harus mau turun adu klewang.
Marsose dan pasukan KNIL biasa menghadapi pengadangan orang-orang Aceh. Bahaya selalu datang tanpa pernah diduga. Bagi Christoffel pengadangan itu bukanlah hal romantis untuk dikenang melainkan kenyataan pahit. Suka tidak suka itulah tugas Christoffel dan pasukannya.
Ketika baru bertugas di Korps Marsose, Christoffel kerap mendapat tugas cukup penting. Ia pernah ikut mengejar sosok yang dianggap Sultan Aceh Muhamad Daud Syah, yang dianggap Belanda sultan palsu. Middelburgsche Courant, 31 Oktober 1905, menyebut pasukan Christoffel menemukan Potjoet Poetroo, istri sultan. Setelah istrinya “diamankan” pasukan Christoffel, Sultan itu menyerah.
Christoffel juga ambil bagian dalam penyerbuan Bateë Ilie, Samalanga, sekitar Oktober 1901, di mana ia bertugas bersama Mayor Gotfried Coenraad Ernst van Daalen, yang belakangan dikenal sebagai jenderal mata satu.
Baca juga:
Setelah operasi militernya di Peusangan, Christoffel ditugaskan ke Lho Suhom. Di sini Letnan Christoffel memimpin empat brigade marsose. Kira-kira pasukannya sekitar 80 serdadu marsose. Ia mengganti dua komandan sebelumnya karena luka-luka.
“Di sana tinggal Panglima Polem dan para kepala suku Telok Seumawe, Gendong, dan Kerti,” tulis koran De Preanger-Bode, 15 Desember 1909.
Ibrahim Alfian dalam Perang di Jalan Allah 1873-1912 menyebut pada 24 Januari 1903 Christoffel berhasil menemukan tempat persembunyian Panglima Polem dan menangkap istrinya. Panglima Polem sendiri akhirnya menyerah pada September 1903.
Christoffel dan pasukannya bekerja keras menaklukkan daerah itu selama sembilan bulan. Setelah penaklukkan daerah itu disertai melemahnya kekuatan Panglima Polem, Christoffel dapat bintang ksatria Ordo Militer William Kelas III. Sementara itu, Panglima Polem baru dihargai setelah Indonesia merdeka sebagai Pahlawan Nasional.
Marsose adalah kesatuan tempat Christoffel berjaya. Ketika ditempatkan di kesatuan itu, usianya menginjak 36 tahun dengan pangkat letnan muda. Stamboek (buku keturunan atau silsilah) menyebut pada 5 Oktober 1903, Christoffel yang berusia 38 tahun naik pangkat menjadi letnan dua atas keberanian dan kecakapannya antara 24 Juli hingga 1 September 1902 di daerah operasi militer Aceh dan sekitarnya.
“Seorang prajurit yang buruk, yang berharap untuk tidak menjadi seorang perwira,” kata Hans Christoffel seperti dikutip Deli Courant, 10 September 1935. Christoffel sejak muda selalu ingin menjadi pemimpin. Apapun permainannya, ia merasa harus menjadi kaptennya.
Ketika baru setahun sebagai letnan dua yang memimpin pasukan marsose, Christoffel ikut Letnan Kolonel van Daalen dalam ekspedisi militer ke Gayo Alas. Dalam ekspedisi penuh darah rakyat sipil itu, Christoffel lima kali terluka dalam lima bulan operasi itu. Meski terluka, ia tidak mundur.
Meski lawannya hanya orang-orang kampung bersenjata golok atau tombak, mereka adalah orang-orang gigih yang tak takut pada senjata modern militer KNIL. Bagi lawannya, Christoffel adalah kaphe (kafir) yang harus dilawan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar