Jenderal Mata Satu “Berdarah” Bugis
Dari berbagai tempat penugasannya di banyak daerah kolonial, mulai dari Bali, Banjar, hingga Aceh, Jenderal der Heijden paling berkesan di Aceh.
OPERASI militer acapkali mengharuskan prajurit tinggal di tanah orang dalam waktu lama. Selama itu, hal-hal azasi manusiawi yang ada pada diri masing-masing prajurit seperti makan dan kasih sayang pasangan tetap harus dipenuhi. Hal inilah yang terjadi pada diri Letnan Kolonel (Letkol) Joseph Jean Lambert de Stuers (1788-1861) saat ditugaskan memimpin ekspedisi militer ke Sulawesi Selatan untuk menghadapi Kerajaan Bone yang melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dia menjalin cinta dengan perempuan Bugis.
Letkol de Stuers sendiri datang ke Hindia Belanda sekitar tahun 1817 dan ditempatkan dari daerah satu ke yang lain. Dia pernah bertugas memimpin ekspedisi militer ke Kalimantan Barat selain Sulawesi Selatan. Setelahnya, dia sempat menjadi komandan dan residen di Padang, Sumatra Barat.
Karier Stuers sangatlah baik. Dari 1830-1835 dia adalah komandan tentara kolonial, yang belakangan disebut sebagai Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL), dengan pangkat jenderal. Setelah 1835, Stuers pensiun dengan tunjangan 3.000 gulden tiap tahun. Angka tersebut cukup untuk hidup layak dalam keadaan normal.
Kisah cintanya dengan seorang perempuan Bugis terjadi sebelum 1826, ketika dia memimpin ekspedisi militer melawan Bone di Sulawesi Selatan. Hasil dari hubungan itu adalah seorang bayi indo. Bayi itu kemudian diadopsi oleh orang Belanda bernama Jean van der Heijden dan Wilhelmina Siebing. Bayi itu lalu dinamai Karel van der Heijden. Begitulah gosip tentang asal-usul Karel van der Heijden.
Pada 1841, enam tahun setelah Stuers pensiun, Karel van der Heijden mendaftar masuk tentara dengan kontrak enam tahun. Arsip “Oost-Indië: Stamboeken Officieren KNIL, Voornaam: Karel van der Heijden” menyebutkan dia adalah anak Jean van der Heijden dan Wilhelmina Siebing kelahiran Batavia, 12 Januari 1826. Sebelum mendaftar, dia tinggal di Arnheim. Setelah bergabung di bulan Juni, pada Agustus dia sudah jadi kopral sementara. Usianya baru 15 tahun kala itu.
Karel tiba di Batavia pada November 1841 dan ditempatkan di Batalyon Infanteri ke-3. Baru Januari 1842 dia menjadi kopral efektik. Kendati begitu, sebagai serdadu bawahan pangkatnya naik dengan cepat. Pada Agustus 1843 dia sudah naik menjadi sersan dan empat tahun kemudian, Juli 1847, naik lagi menjadi sersan mayor di usianya yang masih 21 tahun.
Karel pada 1848 dilibatkan dalam ekspedisi militer ke Bali. Kinerjanya di Bali dianggap luar biasa hingga dia dianugerahi Ridders Militaire Willemsorde (RMWO) kelas empat. Pangkatnya pun kemudian naik menjadi letnan dua.
Performa Karel tetap konstan. Pada 1854, pangkatnya naik menjadi letnan satu dan pada 1859 naik lagi menjadi kapten.
Karel kemudian bertugas di Kalimantan Selatan pada 1860-1865 ketika Pangeran Antasari dan pengikutnya mengadakan perlawanan. Selain memimpin pasukan perang, di sana dia juga menjadi kontrolir (pejabat pengawas sipil) di Barabai. Pada 1863 dia kembali mendapat RMWO, kali ini kelas tiga.
Setelah tugas di Kalimantan itu, dia dapat cuti panjang ke Eropa. Setelah kembali ke Hindia pada 1868 sebagai mayor, Karel ditugaskan menjadi komandan batalyon garnisun di Bangka. Pangkatnya naik lagi menjadi letkol pada 1872. Dari Bangka, dia dipindah ke Semarang, lalu pesisir barat Sumatra. Pada 1876 dia ditugaskan menjadi panglima militer dan sipil di daerah yang amat berkesan baginya, yakni Aceh.
Aceh adalah medan yang mampu membuat tiga jenderal Belanda terbunuh. Dan bagi Karel yang pangkatnya naik jadi kolonel pada tahun berikutnya, Aceh tak bisa dilupakan. Di sanalah sebagai perwira tertinggi dirinya sering memimpin operasi militer lantaran perlawanan rakyat Aceh tak pernah surut. Ke Samalanga saja dia sudah tiga kali.
Bagaimana berkesannya Aceh bagi Karel, terbukti dari sebuah pengalamannya ketika memimpin pasukan Belanda hendak merebut Blang Timulir, Samalanga pada 1877. Karel mendapat nahas waktu itu.
“Van der Heijden mendapat luka-luka berat dan sebelah mata kirinya ditembus pelor ketika mereka memperguletkan mati-matian untuk merebut Blang Timulir itu,” catat Muhamad Said dalam Aceh Sepanjang Abad.
Kendati hidupnya selamat, dia terluka parah. Dan setelah itu, termasuk ketika dipercaya memimpin daerah tersebut sebagai gubernur militer dan sipil di Aceh (1878-1881) dengan pangkat jenderal mayor, Karel yang kehilangan mata kirinya harus rela dijuluki "Jenderal Mata Satu".
Tambahkan komentar
Belum ada komentar