Invasi Mongol dan Penyebaran Wabah Pes
Pergerakan pasukan Mongol ke barat dituding sebagai pembawa wabah terbesar pada abad pertengahan.
Ibnu Battuta, pengelana asal Maroko, dalam perjalanannya menyaksikan Maut Hitam (Black Death) menyerang kota besar dan kecil di negeri-negeri Islam. Ia menyebut serangan wabah penyakit itu tiba-tiba dan mengejutkan seperti serbuan orang-orang Mongol. Tampaknya ini bukan sekadar analogi. Pergerakan pasukan Mongol yang melintasi dataran stepa Asia ke Eropa dituding berandil dalam menyebarkan wabah pes itu.
"Black death terjadi pada periode-periode itu," kata Sofwan Noerwidi, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam diskusi lewat aplikasi zoom tentang "Eksistensi Wabah: Fakta Masa Lampau Hadir pada Masa Kini" yang diselenggarakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada Selasa, 21 April 2020.
Bahkan, Sofwan penasaran, apakah pasukan Mongol juga membawa penyakit pes ketika menginvasi Jawa? "Ini sesuatu yang menarik, tetapi belum banyak dikaji. Adakah hubungan pes di Jawa dengan invasi Mongol?" kata Sofwan.
Ross E. Dunn, sejarawan San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad 14, menyebut wabah Maut Hitam dipindahkan langsung dari manusia kepada sesamanya. Pemicunya adalah sistem hukum dan ketertiban ciptaan penguasa Mongol. Ini memungkinkan satu abad pertukaran manusia yang intens antara Tiongkok dan Pantai Atlantik. Di sisi lain, ia ikut mempercepat perpindahan kuman penyakit menyeberangi Eurasia.
"Wabah penyakit ini adalah harga ironi yang kejam. Bayaran sebagian warga dunia bagi periode kesatuan wilayah Eurasia di bawah penaklukan Mongol atau disebut Pax Mongolica," tulis Dunn.
Pada 1354 dan 1354, Maut Hitam makin menggila. Ia membawa kematian yang makin masif dan kekalutan ekonomi. "Barangkali turut menyebabkan runtuhnya Dinasti Yuan 14 tahun kemudian," tulis Dunn.
Catatan tentang Sumber Wabah
Wabah pes terjadi tiga kali. Wabah Justinian pada 541 diyakini sebagai penampilan pertama dari penyakit itu. Pandemi kedua muncul abad ke-14 dan pandemi ketiga abad ke-19. Pandemi pes kedua atau Maut Hitam merupakan wabah paling mengerikan yang mengakibatkan kematian sepertiga populasi dunia.
Pasukan Mongol sebagai biang keladi tersebarnya wabah pes ke barat bukan tanpa alasan. Beberapa kesaksian tentang Maut Hitam di Eropa dan Timur Tengah menyebutkan bahwa wabah pes muncul di Asia. Ia memporak-porandakan Tiongkok dan India sebelum menembus ke barat. Catatan ini didukung para sejarawan dari masa modern.
Salah satunya catatan Gabriele de 'Mussis, pengacara abad ke-14 dari Piacenza, Italia, yang melaporkan dalam Historia de Morbo.
Baca juga: Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal
Menurut George D. Sussman, sejarawan di LaGuardia Community College of the City University of New York, laporan itu mencatat bahwa wabah terjadi pada 1346–1348. Penyakit itu menyerang orang-orang Tiongkok, India, Persia, Media, Kurdi, Armenia, Cilisia, Georgia, Mesopotamia, Nubia, Etiopia, Turki, Mesir, Arab, Saracen, dan Yunani.
"De 'Mussis menyatakan keyakinannya bahwa peradaban Asia, yang nyaris tidak dikenalnya itu, ikut berbagi dalam mimpi buruk yang melanda Eropa," tulis Sussman dalam "Was the Black Death in and Tiongkok" yang terbit dalam Bulletin of the History of Medicine.
Saksi mata lain, Ibnu al-Wardi, sejarawan, penyair, dan ahli fikih dari Aleppo. Dari informasi yang ia kumpulkan, wabah bermula dari pedagang muslim yang kembali ke Suriah dari Krimea, wilayah di semenanjung Laut Hitam. Ia menyebut wabah itu telah muncul selama 15 tahun yang bermula dari "tanah kegelapan" (Asia utara). Nahas, ia tewas karena wabah itu pada Maret 1349, tak lama setelah menuliskan pengamatannya.
"Tiongkok ikut terserang dan benteng terkuat juga tidak dapat menghalanginya. Tulah itu menimpa orang-orang India di India," catat Al-Wardi dikutip Sussman.
Baca juga: Wabah Sejak Zaman Rasulullah
Al-Maqrīzī, sejarawan terkemuka Mesir abad pertengahan dalam kitab as-Sulūk mencatat bahwa sebelum melanda Mesir, wabah Maut Hitam lebih dulu menyerang tanah Sang Khan yang Agung. "Mungkin Mongolia dan Tiongkok Utara," tulis Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam The Black Death in the Middle East.
Al-Maqrīzī menulis, bangsa Mongol yang berjumlah lebih dari 300 suku, semuanya binasa tanpa alasan yang jelas di perkemahan musim panas dan musim dingin, ketika mereka menggembalakan ternak dan selama migrasi musiman. Para prajurit Mongol banyak yang tewas. Bahkan Sang Khan dan enam anaknya meninggal karena penyakit itu. Penduduk Tiongkok berkurang karena pandemi.
"Kisah Al-Maqrīzī ini dapat dengan tepat menggambarkan peristiwa di Kekaisaran Mongol di Mongolia dan Tiongkok utara, yang dikenal sebagai Dinasti Yuan dalam sejarah Tiongkok," tulis Dols.
Menurut Dols, jika wabah di Asia terjadi sekira 1331–1332 seperti disebutkan Al-Wardi, maka itu akan menjelaskan kematian prematur Khan Jijaghatu Toq-Temur dan putra-putranya. Ia meninggal di usia 28 tahun pada 12 Oktober 1332 di Shangtu.
"Kematiannya dicatat dalam catatan sejarah Tiongkok di antara laporan-laporan tentang bencana alam," tulis Dols.
Baca juga: Ulama Tetap Berkarya di Tengah Wabah
Catatan lain dari J.F.C. Hecker, dokter asal Jerman, yang memulai historiografi modern tentang Maut Hitam. Pada 1832, kata Sussman, Hecker mencatat keberadaan wabah penyakit universal yang meluas dari Tiongkok ke Islandia dan Greenland.
William H. McNeill, sejarawan kelahiran Kanada, dalam Plagues and Peoples dari 1976, pun mengabadikan pandangan tradisional itu. "Tidak mungkin untuk percaya bahwa wabah tidak mempengaruhi Tiongkok, India, dan Timur Tengah," tulisnya.
Menurut McNeill, asal mula pandemi pes kedua bermula pada 1252–1253 ketika penunggang kuda Mongol menembus dari dataran stepa Mongolia ke Yunnan dan Burma. Beberapa di antara penunggang kuda itu membawa tikus dan kutu yang terinfeksi ketika kembali ke tanah air mereka di Mongolia. Tikus terinfeksi itu ikut terbawa di dalam kantong pelana yang berisi biji-bijian atau barang rampasan lainnya.
"Di padang stepa, kutu menginfeksi spesies hewan pengerat liar. Ini kemudian menciptakan wabah besar," tulis McNeill dikutip Sussman.
Karavan Mongolia itu membawa patogen wabah selama hampir seabad ke barat, ke Krimea, lalu memicu Maut Hitam pada 1346. "Pendapat McNeill ini sesuai dengan catatan Al-Wardi bahwa epidemi itu berasal dari 'tanah kegelapan'," tulis Sussman.
Baca juga: Saran Para Ulama dalam Menghadapi Wabah
Cocok juga dengan laporan dari 1885 oleh arkeolog Rusia, Daniel Abramovich Chwolson. Ia menggali dua kuburan abad pertengahan milik para pedagang Kristen Nestorian. Letaknya beberapa mil di barat Danau Issyk Kul, perbatasan utara Kirghizstan saat ini.
Pada 330 batu nisan yang ditemukan, setidaknya ada 106 orang tewas hanya dalam waktu dua tahun, yaitu 1338–1339. Tiga dari sepuluh nisan terkait dengan kematian karena penyakit sampar.
"Ini adalah satu-satunya bukti tentang kemungkinan wabah di dataran stepa sebelum ada laporan dari Krimea pada 1346, di mana dari sanalah epidemi Eropa dan Timur Tengah berasal," tulis Sussman.
Bantahan Mongol Pembawa Wabah
Pada 1977, setelah McNeill menerbitkan tulisannya, John Norris mengemukakan pendapat berbeda dalam "East or West? The Geographic Origin of the Black Death" termuat di Bulletin of the History of Medicine. Menurutnya, Maut Hitam sama sekali bukan berasal dari Asia Tengah atau Tiongkok. Tidak pula dibawa ke barat oleh bangsa Mongol.
Menurut Norris, kemungkinan penyakit dipindahkan ke utara selama berabad-abad melalui koloni hewan pengerat liar dari Kurdistan dan Irak ke Rusia Tenggara. Dari tempat itulah kemudian menyebar ke Eropa, Timur Tengah, stepa Siberia Selatan dan akhirnya ke Mongolia.
Baca juga: Mongol, Penakluk Terbesar dalam Sejarah
Norris tak menemukan adanya deskripsi langsung mengenai wabah atau gejala serupa dalam sumber-sumber Mongol. Pun dalam tulisan para pedagang dan pelancong di Jalur Sutra, khususnya di sebelah timur Kaukasus dan pantai utara Laut Hitam pada masa-masa berikutnya sampai wabah mencapai Krimea pada 1346.
Norris juga menolak hasil penggalian Chwolson sebagai bukti. Menurutnya temuan itu lebih menunjukkan wabah yang sporadis, berskala kecil, tanpa dampak skala yang lebih luas.
Lebih jauh, menurut Norris, kenyataannya Jalan Sutra pada abad ke-14 bukan lagi jalan raya terbuka sebagaimana sebelumnya. Tiga Khan Mongol di barat, Ilkhanate di Persia, Kipchak Khanate atau Golden Horde di Rusia selatan, dan Chaghatai Khanate di Asia Tengah, semuanya telah memeluk Islam pada awal abad ke-14. Mereka tak lagi menerima otoritas Khan Agung, yang telah menjadi kaisar Tiongkok daripada pemimpin kekaisaran Mongolia. Itu terutama sejak Khubilai Khan memindahkan ibu kota dari Mongolia ke Beijing sekarang pada 1260.
"Pedagang barat dan Persia sudah merasa kesulitan melakukan perdagangan di sepanjang Jalan Sutra pada 1325 dan mustahil pada 1340," tulis Norris.
Apalagi, dalam 15 tahun sebelum wabah merebak di Krimea, hampir tak ada gerakan militer antara wilayah Golden Horde dan wilayah Mongol di Timur. "Singkatnya tak banyak lalu lintas manusia dari timur ke barat yang melintasi padang stepa Eurasia yang luas dan berpenduduk sedikit itu untuk membantu penyebaran wabah," tulis Norris.
Baca juga: Serangan Pertama Mongol ke Kerajaan Islam
Pendapat Norris didukung oleh Joseph Benjamin Askew, sejarawan University of Nottingham Ningbo China, dalam "The Myth of the Pax Mongolica: Re-Visiting the Evidence of European Trade with China in the Mongol Period" yang terbit di New Zeland Journal of Asian Studies (2017).
Askew menegaskan tak ada bukti bahwa bangsa Mongol mengizinkan rute darat yang telah mereka kendalikan untuk digunakan sebagai jalur perdagangan. Hal ini terutama berlaku untuk rute utara melalui wilayah pengembara tradisional, yang kini menjadi bagian Mongolia, Kazakhstan, dan Rusia.
Menurut Askew meskipun penaklukan besar-besaran bangsa Mongol mengakibatkan perpindahan populasi di sepanjang Eurasia, itu tidak sampai menjadikan adanya kontak yang teratur dan aman sebagaimana kondisi yang memungkinkan untuk hubungan dagang. Yang paling dimungkinkan untuk lalu-lalang adalah para misionaris, diplomat, atau seperti kasus pengembalian budak ke Mongolia.
"Tak ada pedagang barat yang bepergian di sana. Tidak ada bukti Pax Mongolica dalam literatur yang sampai pada masa sekarang," tulis Askew. Dengan demikian, invasi bangsa Mongol ke barat yang diduga ikut menyebarkan Maut Hitam perlu dipertanyakan kembali.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar