Mongol, Penakluk Terbesar dalam Sejarah
Jenghis Khan membawa bangsa Mongol menjadi penakluk terbesar dalam sejarah. Kekuasaannya menghubungkan Eropa dengan Asia.
Delapan ratus tahun yang lalu, masyarakat nomaden yang kecil tiba-tiba meledak, keluar dari padang rumput Mongolia yang dingin dan kering. Mereka menaklukkan beberapa kekuasaan di wilayah perbatasan dan menjadi penguasa terbesar dalam sejarah.
Jenghis Khan memimpin bangsa Mongol menghancurkan beberapa dinasti kuat pada zamannya. Termasuk Dinasti Abbasiah di Baghdad, Dinasti Jin dan Dinasti Song di Cina, serta Kerajaan Khwarezmian di Asia Tengah.
Kekuasaan Mongol menghubungkan Eropa dengan Asia dalam waktu kurang dari seabad. Pencapaiannya itu disebut Pax Mongolica atau era ketika wilayah Eurasia menyatu di bawah kekuasaan Mongol.
Baca juga: Ekspedisi Khubilai Khan di Asia
Sejarawan Queens College dan Columbia University, Morris Rossabi dalam Khubilai Khan: His Life and Times menjelaskan keberhasilan Mongol lebih dari sekadar menghubungkan Eropa dan Asia. Mereka juga berperan dalam pemerintahan di banyak wilayah taklukkannya dengan bantuan para penasihat dan administrator Tionghoa, Persia, dan Turki.
“Mereka berkembang dari penjarah menjadi penguasa,” tulis Rossabi.
Di negeri-negeri yang dikuasai, mereka membentuk sistem birokrasi, merancang sistem perpajakan, dan memperhatikan kepentingan petani dan pedagang. Beberapa pemimpin Mongol juga mendorong budaya asli, melindungi seniman, penulis, dan sejarawan.
“Seni drama Cina, penulisan sejarah Persia, seni dan arsitektur Buddha Tibet, semuanya berkembang selama masa pemerintahan Mongol,” tulis Rossabi.
Apa yang membuat bangsa Mongol di bawah Temujin atau Jenghis Khan mampu mendirikan imperium terluas sepanjang sejarah?
Sebagai kaum pengembara di wilayah padang rumput, mereka dirundung kekeringan, musim dingin yang parah, dan penyakit hewan peliharaan. Akibatnya, ekonomi mereka rapuh. Perdagangan dengan petani di wilayah-wilayah yang hidup menetap menjadi penting, khususnya dengan wilayah Cina.
Baca juga: Alasan Khubilai Khan Menyerang Jawa
Saat sulit, penghuni padang rumput mencari dan kadang menerima gandum dari orang Cina. Dari mereka juga orang Mongol memperoleh barang-barang kerajinan. Semua itu ditukar dengan hewan dan hasilnya. Jika mereka menolak berdagang, bangsa Mongol akan menjarah untuk memperoleh produk-produk itu.
Sebelum lahirnya kekuatan Mongol yang terorganisir, pada akhir abad ke-11 dan awal abad ke-12, penghuni stepa di Mongolia terdiri dari beberapa klan. Mereka berkembang menjadi suku-suku.
Menurut Rossabi, kepala suku awalnya semacam pemimpin agama. Ia dipilih karena kecakapan militernya dengan dukungan bangsawan yang mengendalikan para penggembala biasa.
“Kepala suku bertanggung jawab atas pelatihan militer. Penekanan pada pelatihan militer memberi kepala suku akses mobilisasi jika terjadi perang,” tulis Rossabi.
Kemunculan Pemimpin
Persatuan bangsa Mongol selalu rusak oleh persaingan antarsuku. Lalu muncul Temujin yang mendekati usia 30 tahun berkuasa atas setengah klan-klan Mongol.
Menurut sejarawan Inggris, John Man dalam Jenghis Khan, Legenda Sang Penakluk dari Mongolia, pada 1206 Temujin dilantik dengan gelar Jenghis Khan. Dalam sebuah khural, atau isitlah masa kininya, parlemen Mongolia, ia diproklamirkan sebagai pemimpin bangsa yang baru saja bersatu. Temujin sekarang menjadi penguasa mutlak atas sebagian besar wilayah yang kini menjadi Mongolia.
Jenghis Khan menyatukan beragam suku Mongol dan mengaturnya menjadi mesin militer yang kuat. Ikatan kesukuan berubah menjadi kekuatan resimen yang menuntut kesetiaan kepada komandan. Berganti resimen bisa dihukum mati. Komandan tak taat bisa dipecat.
Jenghis Khan sendiri membentuk kesatuan pengawal elite teridiri dari 10.000 orang. “Kesatuan itu mencakup anak lelaki dari para komandan. Ini cerdik dan sangat orisinal. Sebelum seorang komandan berpikir untuk tak setia, ia akan ingat anak lelakinya adalah tawanan Sang Khan, bahwa pengkhianatan akan melibatkan keduanya,” tulis John Man.
Baca juga: Hukuman bagi Jenderal Mongol
Dengan kata lain, kesetiaan pribadi menggantikan ikatan kesukuan. Dalam hal ini, Jenghis Khan sedang membangun jaringan sosial baru yang lebih lestari. “Tercurah pada satu tujuan, yaitu penaklukan,” tulis John Man.
Rentetan ekspedisi ke luar perbatasan awalnya adalah tradisi. Misalnya, serangan ke Cina adalah bagian dari tradisi yang diwarisi pemimpin Mongol dari generasi ke generasi.
Demi mencapai tujuan ini, persatuan suku adalah suatu prasyarat. Pada gilirannya ini memberi pembenaran bagi pengejaran kepala suku lawan. Bahkan jika ia kabur ke negeri yang jauh, seperti Kuchlug, keturunan keluarga pimpinan Suku Naiman, yang kabur ke Khara Khitai di Asia Tengah bersama sedikit tentara yang tersisa.
“Kuchlug dan pangkalan barunya memainkan peran penting dalam menarik Jenghis ke barat memasuki dunia Islam, yang akhirnya menjadi landasan bagi lebih banyak lagi penaklukkan di barat,” tulis John Man.
Baca juga: Hulagu Khan Menaklukkan Baghdad
Sebenarnya tak ada kepala suku kaum nomaden yang secara sadar dan sukarela mencoba menaklukkan kekuatan yang jauh dari rumahnya. Apalagi jika kerajaan itu adalah kekuatan dominan di kawasannya.
Namun, ada saat ketika Jenghis Khan tak punya pilihan. Ia merasa terhina. Seorang penguasa Kerajaan Khwarezmian yang wilayahnya mencakup sebagaian besar perbatasan antara Uzbekistan dan Turkmenistan masa kini, juga meliputi Iran dan Afghanistan, telah memancing perang. Shah Khwarezmian, Mohammad, telah menantangnya dengan membunuh banyak utusan Jenghis Khan pada 1217. Padahal, Jenghis Khan hanya berniat melakukan perdagangan dengan wilayah itu.
“Jika ancaman itu tak ditanggapi, ia hampir pasti akan menjadi korban seorang Shah yang ambisius dan berhasrat memperluas kekuasaannya hingga ke daratan Cina yang kaya,” tulis John Man.
“Mari kita menderap melawan orang-orang Islam untuk membalas dendam!” seru Jenghis Khan, dalam The Secret History, satu-satunya catatan asli Mongol paling signifikan tentang Jenghis Khan.
Cuaca Mendukung
Pada 1219, Jenghis Khan memimpin pasukan ke barat. Suku-suku kecil di sepanjang perjalanan turut pula ditumpas.
“Yang bergulir ke arah barat pada 1219 adalah sebuah mesin penghancur raksasa, yang disetir oleh pasukan berkudanya,” tulis John Man.
Pada 1221, Mongol meraih kemenangan. Selain karena kekuatannya, keberhasilan mereka juga bergantung pada kondisi cuaca yang mendukung. Buktinya ditemukan para peneliti yang mempelajari kebakaran hutan di Mongolia pada 2010.
Baca juga: Kegagalan Khubilai Khan di Jawa
Neil Pederson, peneliti dari Lamont-Doherty Earth Observatory, Columbia University, dan rekannya, Amy Hessl, peneliti dari West Virginia University, menemukan pohon pinus Siberia kerdil yang tumbuh dari retakan aliran lava batu padat tua di Pegunungan Khangai, Mongolia. Mereka melihat pada permukaan yang kering dan hampir tanpa tanah, pohon tumbuh sangat lambat, sangat peka terhadap perubahan cuaca tahunan, sekaligus dapat hidup dalam perubahan zaman yang fantastis.
Dari lingkaran cincin di batang pohon, selain bisa diketahui usianya, juga bisa dipelajari perubahan kondisi lingkungan di mana pohon itu tumbuh. Menurut para peneliti, cincin pohon itu menunjukkan kondisi stepa Asia Tengah yang biasanya dingin dan gersang, pada masa kemunculan kekaisaran Mongol justru dalam kondisi paling basah lebih dari 1.000 tahun. Karenanya, produksi rumput pasti meningkat. Pun demikian halnya sejumlah besar kuda perang dan ternak lainnya yang memberi kekuatan kepada bangsa Mongol.
“Sebelum bahan bakar fosil, rumput dan kecerdikan adalah bahan bakar bagi bangsa Mongol dan budaya di sekitar mereka,” tulis Neil Pederson, dilansir dari laman resmi Columbia University.
Baca juga: Kekejaman Bangsa Mongol di Rusia
Penelitian ini pun membantah anggapan bahwa bangsa Mongol berkembang karena melarikan diri dari cuaca buruk di kampung halaman mereka. Sebelumnya banyak yang menulis, termasuk Morris Rossabi, kalau penurunan tajam suhu di Mongolia berdampak pada berkurangnya tinggi rumput di dataran stepa. Hewan ternak terancam punah. Keberlangsungan hidup orang Mongol pun bergantung pada pertukaran dengan orang Cina yang berujung pada serangan terhadap tetangga mereka itu.
“Bangkitnya pemimpin besar Jenghis Khan dan munculnya kekaisaran terbesar dalam sejarah manusia bisa jadi di antaranya didorong oleh cuaca sementara yang mendukung,” tulis Neil Pederson.
Baca juga: Tak Ada Mongol dalam Prasasti
Demikianlah, Jenghis Khan percaya bahwa Langit Biru, sesuai kepercayaan bangsa Mongol, telah menakdirkannya untuk menyatukan bangsa Mongol dan memimpin mereka untuk menaklukkan wilayah lain. “Dia tidak diragukan lagi seorang jenius militer dan ahli politik yang cerdas,” tulis Rossabi.
Sejarah mencatat, invasi Mongol merupakan salah satu yang paling menghancurkan dalam sejarah dunia. Kendati pemimpin terbesarnya, Jenghis Khan meninggal pada 1227, putra dan cucunya melanjutkan penaklukkannya. Mereka menundukkan sebagian besar wilayah yang kini menjadi Korea modern, Tiongkok, Rusia, Eropa Timur, Asia Tenggara, Persia, India, dan Timur Tengah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar