Menunggu Kabar Repatriasi Al-Qur'an Teuku Umar dan Fosil Manusia Jawa
Dari repatriasi 472 benda bersejarah, Al-Qur'an Teuku Umar dan koleksi fosil Dubois belum termasuk di dalamnya. Ada apa gerangan?
PEMERINTAH Indonesia dan Belanda memang sudah mencapai kata sepakat dalam repatriasi 472 benda bersejarah era kolonial. Peresmian serah-terimanya bahkan sudah bergulir 10 Juli 2023 lalu. Meski begitu, masih ada beberapa objek lain yang belum masuk daftar repatriasinya, di antaranya koleksi fosil Homo erectus atau “Java Man” temuan Eugène Dubois dan Al-Qur'an milik Teuku Umar.
Ketua Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja mengungkapkan, ke-472 benda bersejarah yang masuk daftar repatriasi dan rencananya akan tiba di tanah air menjelang HUT RI ke-78 tahun ini baru “kloter” pertama. Isinya meliputi sebilah Keris Klungkung, empat arca Singhasari, 132 benda seni koleksi Pita Maha, dan 335 harta jarahan Lombok. Sementara “kloter” kedua yang masih akan ditentukan dan disepakati bersama terdiri dari sebuah regalia Kerajaan Luwu, tali kekang kuda Pangeran Diponegoro, Al-Qur'an Teuku Umar, dan koleksi fosil manusia purba Pithecanthropus erectus (kini Homo erectus) temuan Dubois.
“Sebelumnya ada surat dari Pak Dirjen (Kebudayaan, Hilmar Farid) bulan Juli tahun lalu (2022) untuk meminta delapan cluster, walau sekarang yang direalisasikan baru empat. Untuk yang kloter pertama ini yang empat cluster (472 objek) diharapkan awal-awal Agustus. Ya mudah-mudahan sebelum 17 Agustus sudah sampai ke tanah air,” ujar Puja dalam program “Dialog Sejarah: Ada yang Mau Pulang” di Youtube Historia.id, Jumat (28/7/2023).
Baca juga: Al-Qur'an Teuku Umar yang Dirampas Belanda
Namun, hingga kini empat cluster lain yang belum masuk daftar pemulangan dari Belanda tahun ini masih dalam tahap provenance research (penelitian asal-usul). Riset bersama itu sebelumnya juga dilakoni Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda dan Commissie Koloniale Collecties sebelum merepatriasi “kloter pertama”.
“Memang ini masih menjadi bahan penelitian ya. Jadi belum bisa disimpulkan apakah Al-Qur'an yang dibahas sekarang benar-benar milik Teuku Umar, karena bisa saja kebetulan ada di sana ya. Ataupun fosil-fosil itu, terutama (diteliti) bidangnya arkeologi. Jadi ini menjadi bahan riset yang membuka suatu peluang mengadakan riset-riset lebih mendalam tentang tema-tema ini,” timpal sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, secara virtual.
Al-Qur'an Teuku Umar yang dimaksud, faktanya ada empat yang diduga milik pemimpin Perang Aceh itu. Di mana ada dua buah di Tropenmuseum Amsterdam, satu di Wereldmuseum Rotterdam, dan satu lagi ada di Universitas Leiden.
“Ini yang menyebabkan mereka (para ahli Belanda) sangat antusias. Misalnya dalam kasus Al-Qur'an Teuku Umar, mereka menanyakan adakah ahli di Aceh yang mendalamki masalah ini untuk bisa memastikan, apakah ketiga Al-Qur'an itu betul-betul milik Teuku Umar? Dan apa maknanya benda ini dalam konteks masyarakat Aceh saat itu kalau itu ada di tempat (markas, red.) seorang seperti Teuku Umar?” lanjutnya.
Terlebih, sambung Bondan, di Belanda kini masih kekurangan pakar yang mendalami filologi, khususnya naskah-naskah Islam. Alhasil sangat dibutuhkan sharing informasi dari tim ahli Indonesia untuk memastikan mana dari empat Al-Qur'an itu yang sejatinya milik Teuku Umar atau bisa jadi keempatnya pun punya Teuku Umar.
“Kalau tentang naskah-naskah seperti Quran, kalau di abad ke-19 atau awal abad ke-20 kebanyakan itu tulisan tangan, bukan cetakan. Tentu diperlukan ahli filologi yang sangat spesifik tentang naskah-naskah Islam. Yang lebih khusus lagi tentang Quran-Quran yang ada di daerah tertentu. Nah ini di Belanda sudah enggak ada (ahlinya). Saya kira mereka punya himpunan pengetahuan tapi orangnya sudah enggak ada. Ya ahli-ahli tentang itu yang dulu memang mereka miliki dalam konteks bagaimana mereka merawat koloni, sekarang sudah enggak diperlukan, jadi sudah habis,” tambah Bondan.
Baca juga: Empat Versi Al-Qur'an Milik Teuku Umar
Menyamakan Persepsi soal Koleksi Dubois
Kasus agak berbeda terjadi untuk fosil “Java Man” temuan Dubois. Koleksi berupa tulang paha, gigi, dan tempurung Homo erectus yang digali dan ditemukan Dubois di Trinil, Ngawi, Jawa Timur pada 1893 itu memang bukan koleksi fosil utuh, tapi nilai historisnya begitu tinggi karena itu kali pertama ditemukannya Homo erectus atau banyak disebut para ahli sebagai missing link dalam teori evolusinya Charles Darwin.
“Semua temuan Homo erectus lain itu temuan penting tapi ini dari historisnya, temuan Homo erectus pertama di dunia. Dubois itu merupakan pelopor yang membuka keran untuk penelitian antropologi di Indonesia, pastinya akan diberikan tempat yang istimewa,” ungkap Prof. Harry Widianto, peneliti ahli utama Pusat Riset Arkeometri, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam kesempatan berbeda.
Khusus koleksi Dubois ini tentu tidak perlu lagi provenance research mendalam. Pasalnya letak permasalahannya ada pada pihak Centrum voor Biodiversiteit Naturalis atau Museum Naturalis di Leiden yang menyimpan koleksi Dubois tersebut.
Mengutip Trouw, 18 Oktober 2022, juru bicara Museum Naturalis yang tak disebutkan namanya menyebutkan bahwa jika bukan Dubois yang seorang Belanda yang menemukannya, fosil itu takkan ada. Kalaupun harus dipulangkan ke Indonesia, mereka mengkhawatirkan perawatannya.
“Dia (pihak Museum Naturalis) masih berpikir tentang zaman kolonial dulu. Sehingga dia katakan bahwa kalau enggak Dubois, enggak akan nemu (fosil) itu. Sekarang repatriasi dilakukan, sudah banyak yang sanggup menjaga keamanan dari fosil ini. Banyak museum modern, termasuk di (Museum Manusia Purba) Sangiran, itu aman. Jangan berpikir seperti pada masa Dubois menemukan itu. ‘Bisa enggak itu nanti menjaga agar tidak rusak?’ Oh bisa! Saya katakan, bisa. Di lingkungan saya sendiri, Arkenas, sudah ada 25 master/doktor lulusan Eropa di bidang itu. Semua sudah concern untuk melestarikan itu,” imbuhnya.
Harry yang termasuk anggota tim repatriasi memastikan, jika fosil “Manusia Jawa” itu kembali ke tanah air, pihaknya juga fleksibel untuk membuka akses seumpama ada peneliti-peneliti mancanegara yang ingin merisetnya. Kalau perlu bisa dilakukan riset bersama dengan para pakar Indonesia.
“Boleh saja asal orang-orang yang memang punya dedikasi dan bidangnya di situ. Marilah kita publikasi bersama kalau memang masih ada hal-hal yang perlu dipublikasikan karena kita harus respek pada temuan. Itu temuan langka yang tidak semua orang diberikan akses yang sama. Kita memberikan akses kepada orang yang mempunyai kompetensi untuk itu,” tambah Harry.
Terlepas dari pandangan skeptis warganet terhadap soal perawatan dari pemerintah kelak ketika fosil sudah di tanah air, Puja juga memastikan Indonesia mampu merawatnya. Tidak hanya fosil Dubois atau Al-Qur'an Teuku Umar tapi untuk seluruh benda dalam delapan cluster yang masuk dalam upaya repatriasi.
Puja meyakini 17 Museum dan Cagar Budaya (MCB) di bawah kementerian sudah punya fasilitas yang di-upgrade dalam hal perawatan dan keamanannya. Pun juga dengan Museum Nasional. Ketika delegasi Belanda mengunjungi Museum Nasional pada September 2022, mereka sudah yakin Indonesia bakal mampu merawatnya.
“Pada waktu itu saya diwawancara oleh beberapa media di Belanda, pertanyaan yang sama: Indonesia mampu merawatnya? Saya bilang, Indonesia mampu. Dan ini juga saya katakan, pertaruhan kita ke depan. Jangan kemudian sudah dibawa ke sini, tidak dirawat dengan baik. Ini kan kredibilitas kita. Ini jadi taruhan karena itu jadi kewajiban kita bersama untuk merawat, termasuk dari aspek security-nya,” tuturnya.
Puja mengharapkan pihaknya dan pihak Museum Naturalis bisa terus melakukan komunikasi untuk menyamakan persepsi. Pasalnya, kini pihak Naturalis sudah mulai terbuka dengan membuka pembicaraan agar tidak ada kesalahpahaman sekaligus membangun rasa saling percaya satu sama lain.
“Waktu dua minggu lalu kami bertemu dengan pihak Museum Naturalis, ada suasana yang sudah cukup cair. Kita mencoba mencari win-win solution. Kami pendekatannya bahwa fosil itu bukan hanya benda mati tapi menghidupkan kembali karena suka atau tidak suka, itu digalinya di bumi Indonesia. Jadi ada kebutuhan untuk capacity building untuk menciptakan narasi bersama. Kami akan melibatkan BRIN dan pihak Museum Naturalis sudah bersedia untuk kita kerjasama,” sambung Puja.
Keterbukaan Naturalis yang dikatakan Puja memang bukan isapan jempol. Ketika Historia.id menghubungi via surel pada akhir Februari 2023, Naturalis dengan cepat membalas surel Historia dengan cepat. Semua pertanyaan yang diajukan Historia.id pun dijawab.
“Ini bukan permintaan pertama dari Indonesia. Di masa lalu, beberapa mantan karyawan Naturalis telah menyatakan keengganan untuk dipulangkan, namun hal tersebut bukanlah keputusan yang diambil oleh Naturalis. Keputusan untuk memulangkan atau tidak, ada di tangan pemerintah Belanda. Permintaan repatriasi Indonesia telah memicu kembali perdebatan di Belanda tentang restitusi fosil. Naturalis menganggap penting untuk mengadakan diskusi (tentang repatriasi, red.) ini, sehingga keputusan akhir dapat menjadi keputusan yang terinformasi dengan baik dan bijaksana. Sekali lagi, keputusan untuk memulangkan atau tidak, ada di tangan negara, yang disarankan oleh panitia khusus,” kata Maaike van de Kamp-Romijn, Deputy General Director and Director of Research & Education at Naturalis Bidoviersity Center, kepada Historia, 1 Maret 2023.
Baca juga: Kelana Opsir KNIL Mencari Manusia Purba
Tambahkan komentar
Belum ada komentar