Menanti Manusia Jawa Kembali dari Belanda
Indonesia kembali meminta repatriasi koleksi benda bersejarah dari wilayahnya. Satu di antaranya fosil Manusia Jawa.
UPAYA-upaya mengembalikan warisan Nusantara yang masih tersimpan di Belanda kembali digencarkan. Berpegang pada nota kesepahaman antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, kini Kemendikbud Ristek) RI dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Sains Belanda pada 2017, pemerintah RI mengajukan repatriasi terhadap delapan benda bersejarah untuk dipulangkan.
Pengajuannya didasarkan pada surat dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Ristek tertanggal 1 Juli 2022 kepada Menteri Muda urusan Kebudayaan dan Media (Staatsecretaries voor Cultur en Media) Gunay Uslu. Kedelapan benda yang dimaksud saat ini masih tersimpan di empat museum berbeda di Belanda: Nationaal Museum van Wereldculturen, Naturalis Museum, Museum Bronbeek, dan Rijksmusem.
Gayung bersambut. Seiring kunjungan Menteri Uslu ke Magelang, Jawa Tengah pada 14-15 September 2022, pemerintah Belanda menyanggupi permintaan itu. Komite bersama terkait riset benda-bendanya pun dibentuk.
“Pemerintah Belanda mengharapkan dibentuknya proses penerimaan bersama terkait permintaan Anda, dalam kerjasama dengan menunjuk komite para ahli dari kedua negara. Pemerintah Belanda setuju bahwa riset terhadap koleksi-koleksi tersebut menjadi penting untuk memperkuat kerjasama antara dua institusi yang relevan dari kedua negara,” tulis Menteri Uslu dalam surat balasannya bertanggal 15 September 2022.
Baca juga: Keris Diponegoro Dikembalikan Belanda, Ini Kata Peter Carey
Delapan koleksi yang dimaksud adalah 132 karya koleksi Pita Maha asal Bali, tali kekang kuda milik Pangeran Diponegoro, Al-Quran milik Teuku Umar, mahkota atau emblem Kerajaan Luwu, patung Kerajaan Singasari, keris Puputan Klungkung, koleksi benda jarahan Ekspedisi Lombok (1894), dan fosil Homo erectus (Manusia Jawa) hasil temuan Eugène Dubois. Khusus benda terakhir ini memunculkan pertanyaan tersendiri dari pihak Naturalis Museum.
“Kami mengerti klaim Indonesia. Tapi yang jadi pertanyaan adalah: di mana koleksi itu bisa disimpan, diakses, dan diteliti dengan aman? Saya pikir saya tahu jawabannya. Kalau benda seni lain bisa dipahami bahwa itu dibuat populasi lokal (Nusantara). Tapi tentang fosil Manusia Jawa: itu takkan ditemukan jika bukan Dubois yang orang Belanda yang mencarinya,” ujar juru bicara Naturalis Museum yang tak disebutkan namanya kepada Trouw, Selasa (18/10/2022).
Kekhawatiran soal perawatan dan pelestarian fosil –koleksi Dubois yang rantan kerusakan jika tak dijaga dengan baik– yang disebutkan pihak Naturalis Museum senantiasa jadi pertanyaan klasik. Terlebih fosil koleksi Dubois itu tak hanya berupa tempurung dan tulang paha Homo erectus tapi juga sejumlah fosil mamalia purba yang ditemukan Dubois di Jawa dan Sumatera pada akhir abad ke-19.
Menjaga Fosil Manusia Jawa
Dubois menemukan dan mengekskavasi fosil-fosil Manusia Jawa itu pada kurun Agustus-Oktober 1891 di Trinil, Jawa Timur. Dalam laporannya tiga tahun berselang, ia menyebut temuannya itu sebagai Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berdiri tegak). Penyebutannya tak lepas dari model riset salah satu mentornya, Ernst Haeckel, yang punya teori tentang Pithecanthropus alalus (manusia kera yang tak bisa berbicara).
Fosil-fosil itu turut dibawa serta Dubois sepulangnya ke Belanda pada 1897. Terlepas dari terpicunya perdebatan antara forum akademisi dan pemuka Gereja Katolik, temuan Manusia Jawa itu membuahkan titel doktor dan, sepuluh tahun berselang, profesor buat Dubois dari Universiteit van Amsterdam.
Temuannya menjadi perdebatan karena Dubois meyakini Pithecanthropus erectus adalah missing link dari teori evolusi manusianya Charles Darwin. Keyakinan itu dituliskannya dalam laporannya pada 1932.
“Dengan menyebut Pithecanthropus sebagaimana (primata) siamang raksasa, maksud Dubois adalah dilihat secara bentuk fisik, temuannya itu lebih dekat dengan siamang ketimbang manusia. Tetapi saat menyikapi banyak keraguan terhadapnya, ia menyatakan dalam laporannya pada 1932: ‘Saya masih percaya bahwa Pithecanthropus dari Trinil adalah missing link yang sebenarnya’,” ungkap Carl C. Swisher III dkk. dalam Java Man: How Two Geologists Changed Our Understanding of Human Revolution.
Baca juga: Kelana Opsir KNIL Mencari Manusia Purba
Pada 1950, melalui riset Franz Weidenreich dan Ernst Mayr, penyebutan Pithecanthropus erectus diubah menjadi Homo erectus. Risetnya menyatakan bahwa temuan Dubois di atas punya kesamaan dengan beberapa temuan lain, di antaranya Sinanthropus pekinensis atau Manusia Peking (1927). Keduanya sama-sama dinyatakan sebagai missing link dari rangkaian evolusi manusia modern.
Dubois menyimpan temuan-temuannya itu di kediaman pribadinya di Haarlem, Belanda selama 30 tahun. Lama setelah Dubois wafat, fosil-fosil itu disimpan dan dirawat Rijksmuseum van Geologie en Miralogie. Pada 1900, temuan Dubois itu dipindahkan ke Naturalis Museum dan tinggal di sana hingga kini.
Upaya repatriasi koleksi Dubois itu sejatinya sudah disuarakan sejak 1950-an oleh Menteri Kehakiman Mohammad Yamin. Mengutip suratkabar Het nieuwsblad voor Sumatra edisi 3 April 1951, Yamin meminta pengembalian benda-benda bersejarah Nusantara, terutama fosil-fosil Manusia Jawa. Ia tak ingin kejadian hilangnya fosil Manusia Peking di Beijing terulang lantaran benda-benda bersejarah Nusantara pun sudah banyak yang hilang.
“Indonesia banyak kehilangan benda-benda bersejarah yang lebih penting ketimbang Sinanthropus pekinensis. Tempurung Pithecanthropus erecuts diekskavasi di Trinil oleh Dubois. Tempurung ini berusia 300 ribu tahun dan disimpan di Leiden. Tempurung ini mesti diklaim kembali oleh pemerintah Indonesia sebagai pemilik sahnya,” ungkap Yamin.
Berangkat dari upaya tersebut, sejarawan Bonnie Triyana menganggap sudah waktunya mewujudkan apa yang sudah dimulai Moh. Yamin tujuh dekade sebelumnya. Seperti disebutkan Yamin, Indonesia berhak mengklaim kembali terlepas yang menemukannya Dubois yang seorang opsir Belanda.
“Boleh saja dikatakan objek itu milik Belanda karena orang Belanda yang menggalinya di Indonesia. Itu sama saja ada orang yang menemukan minyak di tanah orang lain dan mengatakan: saya berhak memilikinya demi keuntungan sendiri. Faktanya Anda menggali di tanah orang lain bukan berarti objeknya serta-merta menjadi milik Anda,” kata Bonnie kepada Trouw, Selasa (18/10/2022).
Bonnie juga berpendapat bahwa keberadaan koleksi Dubois di Belanda tersebut mestinya bisa dikaitkan dengan konteks kolonialisme di masa lalu. “Sistem kolonialisme membentuk keadaan di mana warga jajahan tak bisa memahami arti temuan itu dan juga tak memiliki kekuasaan untuk menahannya tetap berada di tanah dari mana benda itu ditemukan.”
Namun di sisi lain, pertanyaan klasik soal perawatan tetap masih mengemuka dan harus jadi perhatian. Kalaupun nantinya fosil-fosil Manusia Jawa itu bisa dipulangkan, mesti ada jaminan bahwa pemerintah Indonesia tidak hanya bisa melestarikannya dengan layak tapi juga membuka kesempatan bagi penelitian lebih jauh. Jangan sampai kontroversi Homo floresiensis pada 2004 dan 2005 terjadi lagi. Fosil-fosil hominid yang kadang disebut Manusia Flores atau “Hobbit” dari Flores itu ditemukan tim gabungan arkeolog Indonesia-Australia pada September 2003. Spesimen yang mereka temukan di Gua Liang Bua di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu kemudian disimpan di Pusat Arkeologi Nasional di Jakarta.
Akan tetapi, mengutip The New Zealand Herald, 13 Desember 2004, fosil-fosil Manusia Flores itu dibawa oleh Profesor Teuku Jacob dari Jakarta ke Yogyakarta untuk penelitian tanpa persetujuan semua tim penemunya. Selain dianggap menyalahi nota kesepahaman, tindakan itu membuat penemu lainnya kesulitan untuk melakukan penelitian.
“Saya menduga ada sesuatu. Ketika fosil-fosil ‘Hobbit’ itu digali, Profesor Soejono (Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, red.) menjanjikan akan menyerahkannya kepada kolega lamanya Profesor Jacob. Tapi ada nota kesepahaman antara University of New England dan Pusat Arkeologi Indonesia untuk menghindarkan pemindahan semacam itu,” kata Profesor Richard Roberts dari Universitas Wollongong yang turut serta dalam penemuannya.
Baca juga: Kawin Campur Manusia Purba di Asia Tenggara
Memang kemudian fosil-fosil Manusia Flores itu dikembalikan ke Jakarta setelah mencuatnya kontroversi itu. Namun, dilansir BBC, 25 Januari 2007, terdapat kerusakan di beberapa bagiannya. Selain bekas sayatan panjang di tulang rahang, kerusakan juga terjadi di bagian tulang dahi berupa bekas patahan yang direkatkan kembali dengan lem namun penyambungannya dengan posisi keliru.
Menurut Profesor Jacob dalam hasil risetnya, Manusia Flores itu bukanlah jenis manusia purba baru. Menurutnya, Homo floresiensis itu sejatinya termasuk Homo sapiens atau manusia modern. Kondisi fisiknya, termasuk bentuk tengkoraknya yang lebih kecil dari manusia modern, dikatakannya karena mengalami mikrosefalus. Dalam laporannya di Jurnal Proceeding of National Academy of Sciences edisi September 2006, akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyimpulkan bahwa spesimen Manusia Flores “LB1” yang ditelitinya adalah manusia modern yang mengalami kemunduran otak sehingga pertumbuhan fisiknya ikut terhambat.
Laporan itu kemudian dibantah banyak peneliti lain. Pakar neurologi Jochen Weber, misalnya, pada 2005 menyatakan bahwa ukuran tengkorak LB1 itu bukan karena mikrosefalus. Kesimpulannya diambil lewat metode komparasi dengan sampel tengkorak manusia modern yang mengalami mikrosefalus. Hal serupa juga diungkapkan pakar paleoantropologi Debbie Argue pada 2006, yang menyimpulkan dengan yakin bahwa Manusia Flores itu adalah spesies baru.
“LB1 juga berada di luar variasi tengkorak manusia yang mengalami mikrosefalus,” ungkap pakar paleontologi Yunani George Lyras dalam artikelnya pada 2008, “The Origin of Homo floresiensis and its Relation to Evolutionary Processes under Isolation”.
Berangkat dari kontroversi itulah muncul harapan jika fosil-fosil Homo erectus temuan Dubois itu berhasil dipulangkan, selain bisa dirawat dengan baik juga semestinya membuka pintu penelitian lanjutan. Semisal tentang penelitian lanjutan DNA sebagaimana yang dilakukan Svante Pääbo, peraih Nobel 2022 dalam bidang fisiologi dan kesehatan.
Paabo dan timnya, yang melakoni penelitian DNA terhadap Homo neanderthalensis (Manusia Neanderthal), mengungkap bahwa Manusia Neanderthal tidak hanya pernah hidup bersama dengan sejumlah manusia prasejarah lain tapi juga punya keterikatan DNA dengan kita sebagai Homo sapiens (manusia modern) lewat kawin silang. Bukan tidak mungkin hal serupa juga bisa punya keterkaitan dengan Manusia Jawa dan Manusia Flores.
“Memang jauh. Paling tidak kita pernah hidup bareng dengan enam hominid lain. Dengan Homo erectus antara 600-250 ribu tahun yang lalu kita hidup berdampingan tapi belum ada bukti Homo erectus bisa kawin silang dengan Neanderthal atau Homo sapiens. Ada juga kemungkinan antara Homo Luzonensis dan Flores. Tapi ya kita tunggu saja mungkin ada penelitian-penelitian berikutnya karena teknik-tekniknya Pääbo sejak 2006 itu menjalar dan bisa dikuasai banyak orang,” tandas pakar neurogenetika dan biologi molekuler dr. Ryu Hasan kepada Historia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar