Al-Qur'an Teuku Umar yang Dirampas Belanda
Terdapat tiga Al-Qur'an yang diklaim milik Teuku Umar di Belanda. Butuh riset mendalam untuk memastikan mana yang otentik.
UNTUK kesekian kalinya pemerintah Indonesia mengupayakan repatriasi sejumlah benda bersejarah di Belanda. Dari seabrek harta jarahan yang dilarikan ke Belanda, benda bersejarah yang direncanakan untuk dipulangkan adalah Al-Qur'an milik Teuku Umar.
Pemerintah Indonesia sudah mengajukan repatriasinya kepada Staatsecretaries voor Cultur en Media (Menteri Muda Kebudayaan dan Media) Gunay Uslu lewat surat Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek tertanggal 1 Juli 2022. Delapan benda yang diajukan untuk direpatriasi tersebar di beberapa museum di Belanda.
“Benda-benda seni jarahan bisa dikembalikan tanpa syarat oleh Belanda jika Indonesia memintanya. Hal yang sama juga berlaku terhadap objek yang bukan rampasan tetapi memiliki arti penting bagi sejarah dan kebudayaan Indonesia,” kata sejarawan Tom Quist kepada Trouw, Senin (31/10/2022).
Baca juga: Menanti Manusia Jawa Kembali dari Belanda
Delapan artefak atau benda sejarah yang dimaksud adalah koleksi fosil Homo erectus (Manusia Jawa) temuan Eugène Dubois, 132 karya koleksi Pita Maha asal Bali, patung-patung Kerajaan Singasari, regalia Kerajaan Luwu, keris Puputan Klungkung, tali kekang kuda Pangeran Diponegoro, koleksi benda jarahan Ekspedisi Lombok (1894), dan Al-Qur'an milik Teuku Umar. Benda-benda tersebut saat ini masih bersemayam di Nationaal Museum van Wereldculturen (NMVW), Naturalis Museum, Museum Bronbeek, dan Rijksmuseum.
“Di situ ada patung Singasari di masa Hindu, keris Klungkung, ada Luwu regalia, Al-Qur'annya Teuku Umar. Jadi objek-objek ini kombinasi yang datang dari seluruh daerah di Indonesia yang mewakili perlawanan terhadap kolonialisme dan tak mewakili satu agama apapun,” ungkap sejarawan Bonnie Triyana.
Permintaan itu disambut hangat Menteri Uslu. Selain lewat surat balasannya, ia mengungkapkan kesanggupannya untuk memulangkan benda-benda tersebut kala berkunjung ke Magelang, Jawa Tengah, pada 14-15 September 2022. Untuk prosesnya diharapkan agar terlebih dulu dibentuk komite bersama yang diisi para pakar Indonesia dan Belanda yang melakoni riset mendalam terhadap kedelapan artefak.
“Jadi tidak hanya mengembalikan barang tapi juga produksi pengetahuan. Makanya harus ada riset, penggalian informasi, usaha penelitian, yang membedakan itu proven punya si tokoh yang melakukan tindakan penting untuk sejarah kita,” lanjut Bonnie.
Al-Qur'an Teuku Umar tentu juga mesti diteliti lagi secara holistik. Pasalnya di Belanda terdapat tiga Al-Qur'an yang diduga milik Teuku Umar pribadi. Satu di Wereldmuseum Rotterdam, dua lainnya di Tropenmuseum Amsterdam.
“Dari banyak objek itu maka tugas peneliti inilah yang akan melakukan provenance research. Membuktikan mana yang paling orisinil. Risetnya mencari mana yang datanya relatif paling kuat dan betul-betul punya Teuku Umar. Kalau hanya disebutkan (Al-Qur'annya) ditemukan di dekat kediamannya kan bisa saja itu juga punya orang lain,” tandasnya.
Perang Aceh dan Al-Qur'an Teuku Umar
Dari sejumlah upaya penaklukan wilayah-wilayah Nusantara, Perang Aceh yang meletus pada 26 Maret 1873 menjadi upaya paling melelahkan dan menguras ongkos pemerintah Hindia Belanda. Kendati Belanda mengklaim kemenangan pada 1904, faktanya gerilyawan-gerilyawan Aceh masih memberi perlawanan alot, bahkan sampai kemudian Hindia Belanda tumbang oleh Jepang pada 1942.
Mengutip catatan harian Pavel Durdik, dokter militer KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), Jean Rocher dan Iwan “Ong” Santosa dalam KNIL: Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Prancis menuliskan, para gerilyawan Aceh membuat pemerintah kolonial mesti merogoh ongkos 1 miliar gulden dan juga seperti kehabisan napas. Ada satu sosok yang membuat Belanda frustrasi dalam perang itu, yakni Teuku Umar.
Sejarawan Anthony Reid dalam An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra mencatat, Belanda mengincar Aceh yang strategis untuk perdagangan lewat Ekspedisi Aceh I pada Maret 1873 yang berakhir gagal. Belanda memberanikan diri menginvasi Aceh setelah mendapat jaminan takkan diganggu-gugat Inggris yang bercokol di Semenanjung Malaya dan Singapura.
Baca juga: Belanda Mengganggu Kemerdekaan Aceh
Dalam Traktat Anglo-Belanda 1824, tulis Reid, Inggris menyerahkan klaim wilayahnya di Sumatera dan Belanda di Malaya. Malaka menjadi wilayah Inggris, Bengkulu diserahkan pada Belanda. Kesultanan Riau-Johor dibagi dua antara Johor yang dipegang Inggris dan Riau yang dikuasai Belanda.
“Sementara Aceh menjadi tantangan terbesar bagi Belanda dalam hal militer dan diplomasi. Wilayah yang masih bebas, kaya, dan punya kontak dengan beragam pihak asing dalam hal perdagangan lada dan pinang. Dalam hubungan saling menghormati antara Inggris dan (Kesultanan) Aceh terdapat Traktat 1819 dan dalam catatannya di Traktat 1824 Belanda mesti menghormati kemerdekaan kesultanan (Aceh). Akan tetapi kemudian hal ini dibatalkan dalam Traktat Anglo-Belanda 1871,” ungkap Reid.
Traktat itu yang menjadi dasar Belanda melancarkan Ekspedisi Aceh I. Kekalahan pahit di ekspedisi pertama itu tak melunturkan niat Belanda mencanangkan Ekspedisi Aceh II pada akhir 1973. Upaya kedua ini cukup berhasil lantaran ibukota Kutaraja (kini Banda Aceh) berhasil direbut pada Januari 1974 dan Sultan Mahmud Syah beserta pengikutnya pindah ke pedalaman.
Di sana pula Teuku Umar mulai turut memberi perlawanan gerilya. Sosok kelahiran Meulaboh, Aceh Barat pada 1854 itu sudah ikut angkat senjata di usia 19 tahun. Setelah menjadi keuchik gampong (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh, Teuku Umar dalam perlawanannya juga bersekutu dengan Teuku Nanta Seutia, pamannya yang merupakan panglima dan Uleebalang VI Mukim.
Di situ pula Teuku Umar bertemu dan mengawini Cut Nyak Dhien, putri Teuku Nanta Seutia, sebagai istri ketiga. Pasutri Umar-Nyak Dhien inilah yang melanjutkan perjuangan Nanta Seutia yang sudah uzur.
“Tetapi Teuku Umar memiliki perbedaan jalan pikiran dengan Cut Nyak Dhien. Ia tidak menyetujui jalan yang ditempuh Cut Nyak yang terus menggempur lawan dengan kekuatan yang dimiliki, pola pikir yang sama dengan ulama-ulama saat itu. Dalam beberapa hal Teuku Umar juga berbeda pendapat dengan Teuku Cik Di Tiro. Teuku Umar berpendapat bahwa jalan kemenangan akan diperoleh bila mempelajari taktik perang musuhnya. Mendekati musuh untuk mengenal lebih jauh semua seluk-beluk tentang mereka,” tulis Anita Retno Winarsih dalam Cut Nyak Dhien: Ibu Perbu dari Tanah Rencong.
Baca juga: Tjoet Nja’ Dhien Petarung Konsisten
Dengan strateginya itu, Teuku Umar lalu berpura-pura menyerahkan diri dan berkenan jadi antek Belanda pada 1883. Teuku Umar melakukan perdamaian dengan Belanda. Gubernur Militer Aceh Kolonel Karel Frederick van Teijn pun berharap bisa merebut hati rakyat Aceh lewat Teuku Umar.
Tetapi tak lama kemudian Van Teijn tertipu. Saat terjadi penyanderaan kapal dagang Inggris SS Nisero beserta para awaknya oleh Raja Teunom Teuku Imam pada Juli 1884, Teuku Umar dan pasukannya diminta Van Teijn membantu pembebasannya. Dengan dikawal 32 serdadu Belanda, Teuku Umar dan pasukannya yang berangkat dengan kapal Bengkulen justru memberontak. Setelah serdadu-serdadu Belanda dihabisi, kapal dan persenjataannya dirampas Teuku Umar untuk dibawa ke Lampisang, Aceh Besar yang jadi markas besar pasukannya.
“Sejak pembangkangannya yang dramatis dari Belanda pada Juli 1884 itu, ia menjadi panglima perang de facto pada 1886 atas seluruh Pantai Barat di bagian utara Teunom, dan juga sebagian besar XXV Mukim yang diakunya sebagai wilayahnya melalui istrinya, Cut Nyak Din. Di beberapa daerah ia mempersatukan ekspor lada yang menguntungkan dalam satu tangannya sendiri. Ia memungut hasil 0,25 dolar per pikul ats nama sultan. Kekayaan yang dengan murah hati dibagi-bagikannya kepada pengikutnya dan juga kepada istana dan kaum ulama di Keumala hingga dianugerahi sultan sebagai amir ul-bahr (panglima laut) Pantai Barat,” sambung Reid.
Teuku Umar beraksi lagi pada Juni 1886 dengan menawan kapal Hok Canton beserta para awaknya dan kapten kapal asal Norwegia, (di beberapa sumber menyebutkan Denmark) Hansen. Pada September 1886, Teuku Umar memaksa Belanda untuk menebusnya senilai 25 ribu dolar.
Teuku Umar mencoba mengecoh Belanda lagi pada September 1893 dengan berpura-pura menyerahkan diri. Meski ditentang penasihat urusan pribumi, Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, Gubernur Militer Aceh Kolonel C. Deijkerhoff menyambut penyerahan diri itu.
“Umar diberi senjata dan uang untuk membersihkan musuh-musuh Belanda di wilayah XXV Mukim dan XXVI Mukim di luar garis pertahanan Belanda. Untuk beberapa lama Teuku Umar berhasil karena keluwesannya berhadapan dengan orang lain. Ia bersekutu erat dengan Teungku Kutakarang, ulama terkemuka XXV Mukim yang juga menentang gerilya putra-putra Teungku Tiro dan Teungku Beb. Tetapi Umar selalu menegaskan kepada orang Aceh bahwa dia tidak akan pernah maju perang melawan pemimpin-pemimpin Aceh yang paling terkemuka,” tambahnya.
Baca juga: Marsose dari Eropa sampai Perang Aceh
Lagi-lagi Belanda ditipunya. Pada Maret 1896 Teuku Umar dan pasukannya membawa kabur 880 pucuk senjata, 25 ribu butir peluru, 500 kilogram amunisi lain, dan uang 18 ribu dolar.
Upaya tersebut membuat Batavia geger. Deijkerhoff dipecat. Perburuan Teuku Umar pun dimulai dengan bantuan langsung Hurgronje.
“Snouck memberikan banyak saran untuk operasi militernya. Mayor Jenderal J.B. van Heutz ditugaskan mengomando misinya. Ia sudah punya kedekatan kerjasama dengan Snouck Hurgronje sejak 1898. Pos-pos penjagaan dibangun di luar wilayah Belanda untuk lebih efektif mengejar Teuku Umar dan para pengikutnya, juga dua pemimpin gerilya lainnya, Sultan Daud dan Panglima Polem. Pada Februari 1899 Teuku Umar dijebak dan terbunuh. Sultan Daud menyerah di akhir tahun, hingga kemudian Belanda akhirnya bisa mendirikan pemerintahan yang stabil di Aceh dengan bantuan para uleebalang yang mau bekerjasama,” tukas Antje Missbach dalam “The Aceh War and the Influence of Christiaan Snouck Hurgronje” yang termaktub dalam Aceh: History, Politics, and Culture, Volume 9.
Dari serangkaian operasi militer dalam upaya memburu Teuku Umar sejak 1896 itulah sejumlah memorabilia Teuku Umar dirampas serdadu Belanda. Termasuk tiga Al-Qur'an yang diklaim milik pribadi Teuku Umar.
Baca juga: Upaya Belanda Mengalahkan Aceh
Salah satunya kini tersimpan di Wereldmuseum Rotterdam. Sebagaimana juga yang dikutip Trouw, sejarawan Caroline Drieënhuizen memaparkan bahwa Al-Qur'an yang dicetak dan terbitan Mumbai, India, itu dirampas Letnan Ferdinand Kenninck saat pasukan Belanda menyerbu rumah Teuku Umar pada 1896, berbarengan dengan Hari Raya Pentakosta.
Sepulangnya Letnan Kenninck ke kampung halamannya di Den Helder, Al-Qur'an itu dijadikan tontonan warga Den Helder. Kemudian atas bantuan para pemuka agama Utrecht, Al-Qur'an itu diserahkan ke Tropenmuseum, sebelum akhirnya dilimpahkan lagi ke Wereldmuseum.
Satu Al-Qur'an lain yang terdapat di ruang penyimpanan Tropenmuseum merupakan Al-Qur'an tulis tangan. Al-Qur'an ini dirampas pasukan KNIL pimpinan Johannes Wouter Stemfoort di dekat rumah Teuku Umar medio 1896. Stemfoort lantas menyerahkannya kepada atasannya, Karel Willem Gisolf. Gisolf melimpahkannya ke Koloniaal Museum (kini Tropenmuseum) pada 1941.
Satu Al-Qur'an lain yang dipamerkan di balik kaca di salah satu galeri Tropenmuseum juga Al-Qur'an cetakan Mumbai. Al-Qur'annya dipamerkan bersama satu tongkat berjalan dan satu gelas minum yang merupakan hadiah dari Belanda saat Teuku Umar “menyerahkan diri”. Al-Qur'an yang dipajang ini ditemukan bukan di rumah Teuku Umar melainkan di dekat sebuah parit pertahanan pasukan Teuku Umar.
Peneliti NIOD (Institut Studi Perang, Holocaust, dan Genosida Belanda) Mirjam Shatanawi mengatakan, Al-Qur'an tulis tangan yang berada di ruang penyimpanan Tropenmuseumlah yang mendekati status Teuku Umar sebagai salah satu tokoh terpandang. Namun, tentu masih tetap harus dilakukan penelitian lebih lanjut yang mendalam.
“Yang kita ketahui adalah ketiga Al-Qur'annya ditemukan di dekat Teuku Umar. Akan tetapi hal itu juga belum bisa membuktikan sepenuhnya Al-Qur'an itu benar-benar miliknya,” tandas Shatanawi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar