Serba-serbi di Balik Layar Repatriasi 472 Artefak Indonesia
Selain riset asal-usul, repatriasi 472 benda bersejarah Indonesia juga melewati aneka proses politik hingga akhirnya bisa pulang “gratis ongkir”.
“BACK to the Future.” Begitulah motto ketua Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, untuk upaya repatriasi 472 artefak Indonesia yang akan dipulangkan dari Belanda. Motto yang mengutip tajuk film sci-fi komedi tahun 1985 yang dibintangi Michael J. Fox itu Lebih tepatnya ditujukan pada upaya kolaborasi para pakar Indonesia dan Belanda yang jadi sejarah baru dalam riset benda-benda bersejarah.
“Proses (repatriasi) ini adalah proses yang bersejarah ya. Inilah yang disebut sebagai sejarah dalam sejarah, ketika proses repatriasi ini bisa kita realisasikan. Jadi ini motto saya sebenarnya dengan repatriasi ini adalah: back to the future,” ujar Puja dalam sebuah obrolan yang cair di program “Dialog Sejarah: Ada yang Mau Pulang” di kanal Youtube Historia.id, Jumat (28/7/2023).
Sebanyak 472 benda bersejarah Indonesia itu resmi diserahkan Menteri Muda urusan Kebudayaan dan Media Belanda Gunay Uslu kepada Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid pada 10 Juli 2023 di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda. Ratusan benda yang terbagi dalam empat cluster itu meliputi sebilah keris Klungkung, empat arca Candi Singhasari, 132 Koleksi Pita Maha, dan 335 harta jarahan Ekspedisi Lombok tahun 1894. Diharapkan, benda-benda itu sudah akan sampai ke tanah air menjelang HUT RI ke-78, 17 Agustus 2023.
Empat cluster itu baru sekadar pengawal karena menurut pengajuan Dirjen Kebudayaan RI via suratnya medio 2022, ada total delapan cluster benda bersejarah. Empat lainnya yang masih akan diproses lebih lanjut adalah tali kekang kuda milik Pangeran Diponegoro, koleksi fosil manusia purba Homo erectus temuan Eugène Dubois, Luwu Regalia, dan Al-Quran milik Teuku Umar.
Baca juga: Resmi! Belanda Serahkan 472 Benda Bersejarah ke Indonesia
Seperti yang disampaikan Menteri Uslu dalam peresmian penyerahannya kala itu, ia sangat mengapresiasi kerja-kerja kolaboratif antara tim ahli Belanda, Commissie Koloniale Collecties yang dipimpin Lilian Gonçalves-Ho Kang You, dan Tim Repatriasi Indonesia yang diketuai Puja. Hasil kerjasama via provenance research (penelitian asal-usul) terhadap 472 benda yang dipulangkan itu membawa pengetahuan baru.
“Jadi sebetulnya di balik repatriasi ini banyak hal lain yang terus berlangsung secara sinergi. Nah ini yang sangat menarik yang tidak terlihat dari kacamata publik. Yang terlihat kan hanya pengembalian saja. Tapi proses-proses itu juga patut kita beri perhatian penuh ya karena banyak menghasilkan hal-hal yang positif,” timpal sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, secara virtual.
Kolaborasi dalam provenance research itu jadi pembeda antara upaya repatriasi sekarang dan repatriasi-repatriasi sebelumnya. Upaya pemulangan sejumlah artefak dari Belanda sendiri sudah dirintis Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Yamin sejak 1954, berlanjut pada beragam seminar yang digelar sejak 1968, serta pembentukan tim ahli yang diketuai Dirjen Kebudayaan Prof. Ida Bagus Mantra.
Mengutip catatan “Memorandum Akhir Masa Jabatan Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (1968-1978)” yang dirilis Ditjen Kebudayaan RI (1978), kesepakatan peresmian repatriasi benda-benda warisan Indonesia itu sudah sempat terjalin antara kedua negara pada 1968 yang hasilnya pemerintah Belanda pada 1972 menyerahkan naskah Negara Kertagama karya Mpu Prapanca dari abad ke-14. Kemudian atas saran pemerintah Indonesia, pada 1975 sama-sama dibentuk tim ahli Indonesia dan Belanda untuk merekomendasikan lagi beberapa benda lain yang akan dipulangkan berikutnya.
“Komite (tim ahli) yang diketuai Prof. Ida Bagus Mantra itu kan baru bisa mengembalikan Pradnyaparamita, mahkota Lombok, dan benda-benda Pangeran Diponegoro. Yang masih pending sampai sekarang, sesuai list yang diajukan Komite 1975, belum tuntas semua. Atas dasar itu kita bawa lagi ke tahun 2022 untuk kita masukkan ke dalam list dengan beberapa tambahan baru, termasuk di situ patung Singhasari. (Koleksi) Pita Maha juga bukan yang termasuk list 1975,” sambung Puja.
Proses Politik di Balik Provenance Research
Medio 2015, Museum Nusantara Delft mengalami kebangkrutan. Akibatnya, sekitar 1.500 benda koleksinya yang asal Indonesia dipulangkan begitu saja melalui kesepakatan kedua negara. Pada November 2019, kesemua benda itu tiba di tanah air.
Namun, rencana pemulangan ribuan benda selanjutnya dari Delft itu tidak dibarengi provenance research yang solid sehingga tiada pengetahuan soal tiap benda itu yang dihadirkan. Hal demikian ini yang tak diinginkan Hilmar pada proses repatrasi berikutnya.
“Ketika Pak Hilmar ke Belanda tahun 2016-2017 itu kan tadinya Museum Delft mau tutup, bangkrut, karena pemerintah daerah Delft sudah enggak mampu lagi membiayai. Ada koleksinya 12 ribu lagi mau diserahkan saja ke Indonesia tapi Pak dirjen tegas bilang enggak mau: ‘Enggak begitu dong caranya. Masak you enggak butuh, sekarang mau dibuang lagi ke Indonesia?’ Jadi harus ada proses riset yang berkaitan dengan benda-benda tersebut. Ada-enggak aspek sejarahnya dan kulturalnya yang penting terhadap benda-benda tersebut,” imbuh Puja.
Baca juga: Belanda Kembalikan Ribuan Benda Bersejarah
Protes Hilmar itu, lanjut Puja, lantas memicu pihak Belanda untuk mulai menggagas sebuah pilot project, PROCE (Provenance Research on Objects of the Colonial Era). PROCE itu kemudian digawangi para pakar Rijksmuseum, Nationaal Museum van Wereldculturen, dan Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD) yang diketuai Gonçalves.
“Mereka mengeluarkan suatu rekomendasi dari riset yang dilakukan selama dua tahun namanya ‘Clues’ (Clues: Research into Provenance History and Significance of Cultural Objects and Collections Acquired in Colonial Situations, red). Clues itu berkaitan dengan riset-riset terhadap 65 benda tapi bukan hanya dari Indonesia tapi juga dari Sri Lanka. Jadi menarik bahwa komite Belanda PROCE ini dibentuk karena justru yang men-trigger Pak Dirjen Hilmar Farid. Bahwa repatriasi tidak bisa hanya pengembalian begitu saja tapi harus ada tindaklanjutnya, harus ada aspek creation of knowledge-nya dan follow up-nya seperti beasiswa, riset (bersama),” urainya lagi.
Rekomendasi PROCE itu, tambah Duta Besar RI untuk Belanda periode 2015-2020 tersebut, kemudian dibawa ke Kementerian Kebudayaan dan Media Belanda. Bunyi rekomendasi PROCE itu yakni, sejumlah artefak –terutama yang state-owned objects– dihasilkan dari ketidakadilan sejarah alias rampasan kolonial, dikembalikan ke negara asalnya tanpa syarat. Di sinilah proses politiknya dimulai.
“Rekomendasi Komite Gonçalves itu disetujui kementerian (Kebudayaan dan Media) Belanda dan akhirnya dimajukan ke parlemen. Di parlemen inilah terjadi perdebatan hangat, mengingat sensivitasnya. Tapi dari kementerian Belanda itu commit betul dan bertekad untuk menyetujui rekomendasi Komite Gonçalves. Kemudian dibentuklah komisi independen (Commissie Koloniale Collecties, red) yang diketuai juga oleh Gonçalves dan gayung bersambut, Indonesia pada Februari 2021 dengan SK Kemendikbud membentuk juga tim repatriasi ini,” terang Puja.
Maka sejak 2021 itu pula para pakar Belanda dan Indonesia mulai berkolaborasi dan bersinergi untuk saling bertukar informasi. Utamanya mengenai rencana repatriasi terhadap delapan cluster benda-benda bersejarah Indonesia yang disebutkan di atas.
“Kita juga untuk lebih mengedukasi masyarakat, di komite kita mulai ada forum discussion group (FGD), sampai ada tiga FGD dengan Universitas Sriwijaya, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Hasanuddin. FGD ini kita lakukan untuk mengedukasi and mengondisikan ke masyarakat, bahwa ini ada yang mau pulang, lho,” tambahnya.
Selain FGD di negeri sendiri, “tektokan” antara para ahli Commissie Koloniale Collecties dan Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda dalam menggulirkan riset bersama itu pun digulirkan. Sayang prosesnya hanya bisa berlangsung secara virtual lantaran pandemi Covid.
“Pihak Belanda sangat antusias ya, berdialog dengan kita. Karena saat ini tentu saja di Indonesia telah muncul ahli-ahli juga yang secara spesifik memahami berbagai benda bersejarah tadi yang sayangnya dulu mungkin di Belanda banyak ahli-ahli itu. Tapi sekarang kajian terhadap hal-hal yang terkait dengan budaya-budaya bekas jajahan Belanda itu menurun. Sehingga mereka sekarang menyimpan benda-benda itu tapi kehilangan pegangan dalam hal basis pengetahuannya. Hanya berupa literatur-literatur dan bacaan-bacaan,” ungkap Bondan.
Sementara, imbuh Bondan, di Indonesia pengetahuan tentang benda-benda itu hidup dan terus berkembang lantaran berakar dari masyarakat Indonesia sendiri dan masih jadi praktik budaya dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, para pakar Indonesia tak kalah antusias karena tim Belanda sangat terbuka dalam sharing informasi terkait arsip-arsip yang tersimpan di Belanda untuk kemudian dikaji bersama.
“Nah inilah yang kemudian menyebabkan kenapa kita sangat antusias juga karena pengetahuan yang ada di dalam diri kita sebagai bangsa Indonesia, bertemu dengan benda dengan representasi itu semua yang selama ini mungkin menghilang dari kita. Kita seperti di-refresh kembali. Kita juga pengin lihat, kayak apa sih produk budaya yang pernah dihasilkan masyarakat kita yang saat ini mereka (Belanda) simpan? Karena enggak semua peneliti kita kan beruntung bisa pergi ke Belanda dan mengakses itu semua,” jelasnya.
Proses saling bertukar informasi dan saling belajar inilah yang jadi sejarah baru atau sejarah dalam sejarah, seperti yang diungkapkan di atas. Dialog semacam itu takkan terbayangkan di era 1950-an saat repatriasi dirintis. Kala itu hubungan bilateral kedua negara masih “tegang” akibat soal Papua. Proses riset bersama ini, lanjut Bondan, juga jadi produk yang intangible karena dilakukan dalam semangat yang setara hingga mengasilkan produk provenance research yang positif dan konstruktif.
“Isu ini di tahun 1950-an, bisa dibayangkan itu resistensi akan sangat kuat ya. Rasa kecewa karena mereka kehilangan koloni Indonesia yang mereka sebut sebagai gorde van smaragd ya, Zamrud Khatulistiwa lewat peristiwa atau rangkaian kejadian yang menciptakan suatu trauma. Nah muncul generasi baru, tidak hanya di Belanda tapi juga di Indonesia yang sudah siap dengan satu pengetahuan yang lebih matang dan mantap,” tutur Bondan lagi.
Baca juga: Menanti Fosil Java Man Kembali dari Belanda
Setelah kemudian muncul hasil risetnya, barulah proses politik kembali berperan dalam hal menyiapkan berbagai dokumen yang jadi “payungnya”. Di antaranya dokumen acknowledgment of transference untuk sama-sama diteken Menteri Uslu dan Dirjen Hilmar Farid. Salah satu poinnya dokumen itu adalah pengembalian delapan cluster koleksi itu ke Indonesia diongkosi Belanda.
“Dokumen itu detail berkaitan dengan aspek legalnya, transportasinya, komitmen dari Belanda untuk membiayai seluruh pengembalian benda-benda tersebut. Juga yang berkaitan dengan ke depannya yang disebut dengan knowledge production, riset, kerjasama-kerjasama teknis, penguatan kapasitas, penguatan museum/staf museum, program S2-S3 (pascasarjana-doktoral). Itu sudah diatur dalam naskah dokumen yang ditandatangani 10 Juli lalu,” jelas Puja.
Produk kemitraan dan kerjasama yang intangible antara tim pakar Indonesia dan Belanda ini juga kemudian, timpal Bondan, menjadi perhatian dunia, terutama sejumlah negara eks-kolonialis yang juga hendak merepatriasi benda-benda bersejarah hasil jarahan di negara jajahan masing-masing. Ke depan, masih sangat mungkin model ini diterapkan pemerintah Indonesia lagi, seandainya mulai mewacanakan repatriasi benda-benda bersejarah Nusantara lainnya yang masih tersimpan di Inggris, Amerika Serikat, Rusia, hingga Jerman.
“Dengan negara lain pasti beda strateginya karena background hubungan kita dengan negara-negara lain juga berbeda. Tetapi jelas ini bisa jadi model. Bagaimana cara kita berkolaborasi, bersinergi. Ini kan bisa dikembangkan. Artinya ini menjadi titik awal atau modal untuk membangun saling kesepahaman tentang bagaimana proses (repatriasi) ini harus dijalankan,” ujar Bondan.
Puja pun sependapat. Kemitraan dan kerjasama antar-para pakar dalam repatriasi 472 benda Indonesia ini seperti permulaan baru sebuah pilot project yang mungkin bisa diterapkan lagi terhadap negara lain.
“Saya juga banyak diminta wawancara oleh teman-teman museum dari Jerman, Inggris, tentang bagaimana sih prosesnya? Mereka juga mau belajar. Mudah-mudahan ini bisa sebagai pilot project jadi kita ke depannya tidak perlu lagi re-invent the wheels, istilahnya membuat roda baru lagi. Jadi rodanya sudah ada, tinggal menggerakkan gerbongnya saja ke depan seperti apa dan mau ke mana,” tandas Puja.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar