Tantangan Mengembalikan Prasasti dari Inggris
Memulangkan dua prasasti kuno dari Inggris tak semudah menggodok mie instan. Sejarawan Peter Carey membeberkan tantangan-tantangan yang harus dihadapi.
KALA menguasai Jawa pasca-Geger Sepehi (Juni 1812), pemerintah kolonial Inggris “memanen” benda-benda budaya dan bersejarah di banyak tempat. Di Jawa Timur, mereka menjarah Prasasti Sangguran dan Prasasti Pucangan. Kini, seiring munculnya tuntutan pengembalian benda budaya dan bersejarah yang dijarah Inggris, muncul pula keinginan untuk memulangkan kedua prasasti tersebut.
Namun, menurut sejarawan Peter Carey, tantangannya berliku untuk bisa menuntut kedua prasasti itu kembali ke Indonesia. “Butuh upaya yang gigih lantaran dua prasasti itu sudah berbaur dengan kebiasaan publik setempat di Inggris,” ujarnya dalam bincang virtual bersama Pemred Historia Bonnie Triyana dalam live Historia.id bertajuk “Memburu Harta Jarahan: Repatriasi Benda Bersejarah dari Negeri Penjajah”, Rabu (5/8/2020).
Prasasti Sangguran yang kemudian dikenal dengan Minto Stone kini berada di pekarangan kediaman eks Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto, di Roxburghshire, perbatasan Skotlandia-Inggris. Prasasti berisi kutukan dan karma yang bertarikh 982 Masehi itu merupakan rampasan dari Mojorejo (kini dekat Kota Batu, Malang, Jawa Timur), salah satu wilayah yang direbut Inggris pasca-Geger Sepehi.
Baca juga: Prasasti Berisi Kutukan
Prasasti berbentuk tablet setinggi dua meter dan berbobot tiga ton itu diambil perwira Skotlandia Kolonel Colin Mackenzie untuk diberikan ke Gubernur Letnan Hindia Belanda Sir Thomas Stamford Raffles. Lantaran dijadikan sebagai benda persembahan untuk Lord Minto, prasasti tersebut dikirim Raffles ke Kolkata pada Mei 1813 menggunakan kapal dagang milik East India Company dari Surabaya.
“Masalahnya satu isu, walaupun dulu dirampas, sekarang sudah menjadi bagian dari budaya lokal. Ini menjadi lebih rumit. Prasasti Sangguran di perbatasan Skotlandia-Inggris menjadi salah satu benda budaya yang sangat digemari pasukan Skotlandia dan setiap tahun ada semacam reuni kembali ke kediaman Lord Minto. Ada suatu peleburan budaya dari benda itu kepada budaya lokal,” tutur Peter.
Baca juga: Kisah Plakat Pelantikan Raja Inggris
Hal serupa berlaku pada Prasasti Pucangan atau Calcutta Stone yang berasal dari tahun 1041. Prasasti berisi kisah kelahiran kekuasaan Raja Airlangga, pendiri Kerajaan Kahuripan, itu ditemukan sendiri oleh Raffles dan juga dikirim sebagai persembahan untuk Lord Minto.
“Itu kondisinya memprihatinkan. Lokasinya ada di gudang tua yang bocor di Indian Museum dalam keadaan porak-poranda,” sambungnya.
Merupakan tantangan tersendiri untuk bisa mengembalikan dua prasasti dari abad kesembilan dan abad ke-11 itu. Pasalnya, pada 2006, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bersama Kedutaan Besar RI di London sudah menyambangi pihak pewaris Lord Minto, namun gagal karena tidak ada titik temu soal kompensasi.
“Harus dibuat semacam kasus. (Keluarga) Lord Minto tidak akan gamblang kirim kembali. Harus ada desakan (lagi) dari pemerintah Indonesia dengan semua fakta dari penelitian, sehingga bisa dengan laik balik ke sini,” papar Peter.
Yang pasti, kata Peter, butuh persiapan banyak hal untuk menempuh jalan repatriasi yang berliku. “Harus diajukan kasus, tidak simsalabim, tidak seperti mie instan. Harus lewat ketekunan dan ketelitian membuat tafsiran, dan melalui jaringan diplomasi antara Pak (Presiden RI) Jokowi dengan (Perdana Menteri Inggris) Boris Johnson, antara duta besar, ada pengajuan kepada pemerintah dan penghakiman (jalur hukum, red.),” lanjutnya.
Peter juga memberi warning agar pihak Indonesia harus menyiapkan dan meyakinkan bahwa dua benda itu bisa ditempatkan di lokasi yang lebih baik. Sehingga, jika kelak dikembalikan, kedua prasasti tidak seperti Prasasti Pucangan di Kolkata yang diletakkan di gudang yang bocor.
“Seumpama benda (prasasti) itu kembali, apakah situasinya akan lebih baik dari sebelumnya? Pengalaman saya pada 1989 dengan British Council untuk mengembalikan 75 naskah yang diambil Inggris, kita kembalikan dalam bentuk microfilm kepada pihak Museum Nasional dan Keraton Yogyakarta. Dalam rentang 10 tahun itu hancur semua. Sebab tidak disediakan ruang yang atmospheric, ruangan ber-AC, ditaruh di lemari, tidak dipakai,” ujar Peter mencontohkan.
“Harus ada kebijakan persiapan menerima kembali supaya lebih bermanfaat. Mesti ada riset yang menjelaskan benda ini milik si anu, si itu. Harus ada tafsiran berapa nilainya. Semua harus teliti, terperinci, dan tepat sasaran. Kalau tidak, jangan harap (bisa kembali),” tutupnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar