Kritik Lewat Aneka Gerak Estetik
Pantomim bukan sekadar bahasa bisu. Ia seni ekspresi dengan estetika yang tak semata memancing gelak tawa.
HUJAN yang mengguyur Cikini, Jakarta Pusat perlahan reda Senin sore itu. Beberapa mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang berteduh di sebuah ruangan semi-terbuka dekat Masjid Amir Hamzah mulai membubarkan diri. Ruangan Teraseni itu bidang-bidang tembok dan pilar-pilarnya sarat karya mural dan pesan-pesan tentang seni.
“Seni itu interpretasi dan ekspresi emosi jiwa yang selalu merakyat,” bunyi pesan di salah satu pilarnya. “Seni itu sederhana: goreng, angkat, lalu tiriskan,” bunyi pesan di sisi pilar lainnya. Ada juga pesan sederhana namun menohok: “Tolong sampah dibuang pada tempatnya. Jangan ditinggalin di areal sini!”
Pesan dengan tulisan kecil itu sepertinya paling sering diabaikan. Pasalnya kondisi lantai Teraseni tak hanya dikotori serakan guguran dedaunan dari barisan pohon yang tertiup ke situ tapi juga sisa-sisa gelas plastik.
Kendati begitu, Damar Rizal Marzuki tetap bisa fokus saat berbincang santai dengan Historia. Putra aktor Epy Kusnandar itu menggeluti pantomim hingga membentuk kelompok Standar Mime pada 2011. Kelompok itu terinspirasi dari para seniornya di kelompok Sena Didi Mime (SDM).
“Sebelum bisa jalan, malah pernah ikut terlibat pertunjukan pantomim (SDM). Bapak saya (Epy Kusnandar) pemain pantomim di IKJ. Sebelumnya saya tidak ingat tapi karena diceritain terus dikasih lihat dokumentasinya. Tumbuh besar diasuh sama bapak juga dengan pantomim. Pas saya masuk IKJ tahun 2010, justru saya enggak tahu apa-apa tentang teater. Malah masuk sini karena ingin jadi pemain pantomim,” Damar berkisah.
Sebagaimana sang ayah yang juga alumnus SDM, Damar dkk. membentuk Standar Mime juga ingin lebih bebas dalam berkarya. Setelah mendapat pengetahuan tentang dasar-dasar pantomim di mata kuliah pantomim, para personil Standar Mime mengembangkannya di luar kelas.
“Nah, referensi Standar Mime itu Sena Didi Mime. Kalau orang ngeliat, wah ini Sena Didi Mime banget. Cuma karena takut menjadi bayang-bayang Sena Didi Mime, kita merombak lagi, memodifikasi, mendekonstruksi lagi karya-karyanya. Jadi Standar Mime malah lebih universal, enggak kebentuk (olah) tubuh saya. Malah lebih ke sketsa komedi. Malah mirip meme juga, cuma bentuknya pertunjukan,” terangnya.
Kritik ke Luar, Kritik ke Dalam
Kritik merupakan “daging” dalam karya-karya Standar Mime. Sebelum stand-up comedy menjamur di Indonesia dan acap menohok penguasa dengan kritik-kritik yang menggelitik, para seniman pantomim sudah acap mengekspresikan keresahan publik terhadap rezim Orde Baru (Orba) lewat karya-karya yang tak kalah menggelitik. Tapi karya mereka bukan bermodalkan ‘congor’, namun lewat gerakan-gerakan estetik.
Para seniman kelompok SDM salah satunya. Sejak 1980-an, karya-karya SDM tak pernah jauh dari satir dan kritik sebagai ekspresi keresahan masyarakat terhadap rezim Orba.
Kelompok itu lahir di lingkungan IKJ pada 1987. Pendirinya Sena Adiatmika Utoyo dan Didi “Petet” Widiatmoko, yang mendirikannya sebagai wadah bagi para pelaku seni mime di kampusnya yang paling bertahan lama. Sebelumnya, pada 1970-an, di IKJ terdapat beberapa kelompok pantomim seperti Kijang Group yang didirikan Sena A. Utoyo, Ray Say Sahetapy, dan Krissno Bossa. Ada pula BEH Group, yang merupakan singkatan pendirinya: Barkah alias Subarkah, Eeng Saptahadi, dan Herdin Hidayat.
“Saya sendiri masuk (IKJ) udah melihat Kijang Group. Tapi enggak lama kemudian mereka bubar karena kesibukan ya. Akhirnya tahun 1987 mereka membentuk bareng sama-sama. Ada Mas Didi, Mas Sena, kita bikin Sena Didi Mime. Pentas pertamanya juga di tahun 1987,” kata aktor senior Yayu Unru kepada Historia di kesempatan berbeda.
Baca juga: Operasi Batavia dan Ingatan Kemudian
Karya-karya SDM yang mengandung kritik tajam antara lain Beca (1987), Stasiun (1988), Soldat (1989), Beca B Complex (1990), Lobi Lobi Hotel Pelangi, Sekata Kaktus du Fulus (1992), Jakarta Jakarta (1993), Se Tong Se Teng Gak (1994), Gangster dan Temanmu (1995), dan Kaso Kastro (1999).
Yayu berkisah bahwa saat mereka mementaskan Beca di Teater Tertutup, TIM, dalam rangka kritik isu pemusnahan becak di Jakarta, mereka sampai diawasi Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Laksus Kopkamtib) lantaran bertepatan dengan Pemilu 1987. Para personil laksus itu bahkan sampai memonitor dari backstage.
“Zaman Soeharto kan ngeri kalau ada Laksus. Waktu itu kita udah enggak mau. Tapi kebetulan yang garap musiknya waktu itu Mas Harry Roesli. Dia bilang, ‘Udah, jangan takut. Kalian mentas saja. Kalau ada yang harus ditangkap, biar gue yang ditangkap,’” kenang Yayu.
Setelah Harry Roesli pasang badan, mental Yayu cs. bangkit lagi. Saat itu kursi Teater Tertutup sudah disesaki penonton yang menantikan penampilan SDM. Untung saja hingga pementasan berakhir, tiada kejadian yang tak diinginkan.
“Malah laksus yang seram-seram di belakang panggung itu cekikikan. Padahal betul-betul ngomongin kritik yang dalam soal pemilu juga. Ya kita mainin kritik itu dengan kreatif dan bikin orang ketawa. Padahal yang sezaman dengan kita, Teater Koma saja enggak boleh mentas, dibreidel. Kita bersyukur enggak begitu. Mas Didi yang juga di Teater Koma saja bingung, padahal kita kritik tapi enggak pernah sampai begitu,” lanjutnya.
Pun ketika mementaskan Soldat di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 1989. Yayu ingat, banyak perwira tinggi yang turut hadir menyaksikan. Hal itu membuat rasa was-was para pementas.
“Yang nonton itu Pak Agum Gumelar, sama ada jenderal lain dan laksamana. Kita sempat jiper. Karena di situ ada (adegan) bagi-bagi uang, ada yang main golf. Pokoknya yang kocak-kocak tentang tentara dibalut kritik. Pas sudah main dan kita hapus-hapus make up di belakang, ada satu jenderal datang dan dia bilang, ‘Wah keren ya, bagus pementasannya. Nanti kalau ulang tahun Kopassus, kalian ngisi ya!’” sambung Yayu.
Baca juga: Lakon Bung Karno di Panggung Tonil
Bukan hanya di Jakarta, para seniman pantomim di Yogyakarta juga tak kalah menggelitik dalam menyentil penguasa. Jemek Supardi, misalnya. Jemek acap memainkan karya-karya bermuatan kritik baik ketika tampil tunggal berdurasi pendek di atas panggung maupun di arena lain mulai dari kuburan, rumahsakit, jalanan, hingga tempat pembuangan sampah.
“Pantomim yang baik tidak hanya sekadar memperagakan atau melucu tapi ungkapan misi atau pesan. Pantomim yang membawa misi turut meningkatkan apresiasi seni masyarakat,” ucap Jemek kepada harian Bernas, 9 Juni 1984.
Menurut dosen ISI Yogyakarta Nur Iswantara dalam Wajah Pantomim Indonesia: Dari Sena Didi Mime hingga Gabungan Aktor Pantomim Yogyakarta, di antara puluhan karya Jemek adalah Terminal Terminal (1986), Patung Selamat Datang (1988), Wamil (1988), Balada Tukang Beca (1988), Wajah Malioboro (1996), Pisowanan (1997), Kotak-Kotak (1997), dan Kesaksian Udin (1997).
Kotak-Kotak, ungkap Nur Iswantara, mengisahkan tokoh-tokoh yang berada dalam satu kotak tapi tak saling tegur sapa. Karya itu merujuk pada tiga partai yang ada di masa Orba yang terjun dalam satu pesta demokrasi tapi saling menguasai dan menindas. Sementara Kesaksian Udin mengisahkan tentang tewasnya jurnalis harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, yang acap menulis kritik tajam terhadap penguasa Orba.
Baca juga: Proses Kreatif Usmar Ismail di Balik Layar
Ketika gerakan Reformasi menumbangkan rezim Orba dan menghadirkan keterbukaan, kritik bisa lebih leluasa disampaikan. Standar Mime menggunakannya justru untuk menyampaikan otokritik.
“Standar Mime itu enggak kritik sosial atau kritik ke atas. Malah lebih mengkritik diri sendiri, lebih kritik seniman itu sendiri dalam bikin karya. Kayak membongkar kebiasaan seniman. Itu adegannya ada di karya kita, Black Hole (2019), di Teater Kecil (TIM),” sambung Damar.
Namun, keterbukaan era Reformasi justru membuat seni pantomim justru “tergilas” hingga bak “hidup segan mati tak mau”.
Kesempatan buat munculnya seniman-seninam muda tak lebih dari festival belaka. Standar Mime hanya satu dari sedikit kelompok pantomim yang masih berusaha eksis, kendati di lingkungan kampus. Ekspresi dan keresahan masyarakat kini lebih sering dibawakan lawak tunggal (stand up comedy).
Baca juga: Mengenang Dwitunggal Pembaharu Tari Sunda
Yayu menghela nafas panjang sebelum menguraikan salah satu problem mengapa pantomim belakangan jarang terdengar lagi sebagai “peluru” kritik buat pemerintah.
“Kalau saudara-saudara kita di stand-up yang hebat-hebat itu dia bisa dengan cepat bikin materi. Kalau pantomim harus dilatih dan itu butuh waktu dan nyari idenya juga butuh sesuatu riset. Semisal kayak apa memegang apel, atau memotong mangga, misal kalau baca koran (gerak estetiknya) gimana. Itu butuh riset ketubuhan dan enggak segampang kalau menulis. Itu yang menghambat kita untuk bisa masuk ke rutin (berkarya) ya di situ,” ujar Yayu.
Tantangan berikutnya yang menjauhkan pantomim dari industri hiburan adalah problem regenerasi. Banyak anak muda yang berniat belajar pantomim, namun keliru mengartikan gerak-gerak tubuh dalam pantomim sebagai bahasa bisu.
“Itu yang sampai sekarang salah kaprah. Itu yang bikin rusak (regenerasi). Tantangannya itu. Main (pantomim) itu harus ada keindahan, ada perhitungan estetika karena pantomim bukan bahasa bisu,” tambahnya.
Menurut Yayu, bahasa bisu itu justru yang banyak ia lihat ditampilkan dalam beberapa festival. Padahal, yang mesti diperlihatkan bukan seperti orang gagu. Hal itu justru bisa menyinggung para tunawicara.
“(Seniman legendaris) Milan Sládek pernah bilang, kalau tubuh kamu enggak bisa menyampaikan bahwa kamu lapar, kamu ngomong saja, ‘saya lapar.’ Itu lebih terhormat dibanding ‘eeeaaaeeee.’ WS Rendra tahun 1985 juga pernah ngomong, bahwa tubuhmu itu adalah artikulasimu dengan rasa. Kalo kata Mas Didi, enggak boleh ada satu ekspresi atau satu gerak pun tanpa seizin rasamu. Kalau ini dibenahi, otomatis mereka akan melakukan pantomim dengan punya rasa estetika,” tandas Yayu.
Baca juga: Perempuan dalam Teater Bung Karno
Tambahkan komentar
Belum ada komentar