Proses Kreatif Usmar Ismail di Balik Layar
Karya-karya Usmar Ismail tak hanya sarat idealisme, namun juga berangkat dari realitas sosial dan menghibur.
SINEAS Riri Riza menaruh respek tinggi pada sosok Usmar Ismail. Dalam diskusi daring dalam rangka 100 Tahun Usmar Ismail dan menjelang Hari Film Nasional bertajuk “Usmar dan Cerita-Cerita dalam Filmnya” di kanal Youtube Rumata Artspace, Rabu (24/3/2021) malam, Riri mengupas lebih dalam sosok “Bapak Perfilman Nasional” yang idealisme dan gagasannya sangat kuat dalam karya-karyanya. Hal itu membuat kiprah Usmar di belakang layar masih sangat relevan dijadikan obyek studi di dunia perfilman.
“Film-filmnya sampai saat ini masih dijadikan sandaran studi tidak hanya di perfilman Indonesia tapi juga dunia. Karya-karyanya punya kekuatan bercerita yang sinematik secara audio dan visual,” ujar Riri.
Film-film Usmar, baik sebagai sutradara maupun produser, yang kerap dijadikan obyek studi para sineas muda hingga kini antara lain Darah dan Doa (1950), Harimau Tjampa (1953), Krisis (1953), Lewat Djam Malam, dan Tiga Dara (1956). Karya-karya tersebut dianggap sineas muda Salman Aristo menetapkan standar tinggi bagi mutu perfilman Indonesia.
“Yang paling menonjol buat saya adalah, betapa visionernya dan modernnya Usmar sebagai filmmaker saat itu. Pada Harimau Tjampa, hubungan suami-istri saat adegan datang ke rumah dan minum teh, suara perempuan bisa sama kerasnya. Itu kan egaliter sekali. Bisa menggugat laki-lakinya yang menjadi takut. Itu kan striking sekali. Tiga Dara lebih modern lagi jalan pikirannya ketimbang film tahun lalu (2020) misalnya. Ini feminis sekali, juga betapa egaliter hubungan anak perempuan dengan orangtuanya. Saya nggak habis pikir, kok bisa begini ya?” timpal Aris.
Baca juga: Pemikiran Usmar Ismail dalam Film-filmnya
Pemikiran Usmar yang terbuka pada dunia luar juga diperhatikan Aris lewat adegan seorang perempuan muda muncul dengan mengenakan celana yang terbilang pendek dan bersepatu roda di depan seorang lelaki bersarung dan berkopiah di film Tiga Dara. Aris tak menemukan penggambaran suasana cerita serupa dalam film-film karya sineas lain era itu.
“Wah, se-advance itu dan seterbuka itu ya. Bukan berarti lantas enggak tahu tata krama. Justru kita melihatnya sangat egaliter sekali. Itu dari segi gagasan ya. Dia semaju itu di zaman tersebut, mungkin karena pengaruh dia bersekolah di Amerika. Film-filmnya masih relevan. Lewat Djam Malam juga, kalau diadu dengan film dunia yang manapun juga tetap relevan sampai sekarang dari segi gagasan,” sambung ketua Asosiasi Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR) itu.
Sementara, gagasan Usmar untuk menjadikan karyanya sebagai medium bercerita yang kontemporer dikupas lebih dalam oleh sineas Prima Rusdi. Usmar dikatakannya selalu menggambarkan karakter-karakter dalam filmnya sebagai manusia Indonesia yang sangat manusiawi dan multidimensional.
“Ada kesungkanan dari Pak Usmar dan tim (produksi) Perfini untuk menggambarkan karakter yang hanya satu dimensi, jadi selalu multidimensional. Karakter hero-nya enggak pernah 100 persen heroik, seperti di Lewat Djam Malam atau Harimau Tjampa. Kita bisa melihat sisi kemanusiaan semua karakternya saat dihadapi masalah-masalah dilematis,” ungkap Prima.
Baca juga: Connie Sutedja Si Ratu Vespa
Penulis naskah Eliana, Eliana (2002) dan Ada Apa dengan Cinta? (2002) itu juga menyoroti keberanian Usmar untuk mengangkat isu-isu kontroversial yang masih bisa ditemukan realitanya bahkan di era sekarang. Ia menyorotinya dalam film Lewat Djam Malam dan Krisis, misalnya.
“Penggambaran kelas menengah di Lewat Djam Malam sangat dalam sekali. Kita juga bisa melihat ada gap dari awal saat melihat karakter yang mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder) dan tidak dipahami kalangan urban yang baru setelah merdeka. Ada juga (gagasan) kekhawatiran soal manipulasi kekuasaan sejak awal. Di Krisis, tokoh suami sudah main uang negara demi istri. Itu kan sudah sangat advance dan itu yang terjadi sekarang,” tambahnya.
Secara teknis, penulisan skenario dalam karya-karya Usmar tak kalah visioner dari gagasan yang ingin disampaikan. Jika dalam gagasan Usmar sudah mendahului teori auteur, dari segi teknis penulisan skenarionya Usmar juga sudah jauh mendahului “Three-act Structure” (struktur tiga babak) yang dipopulerkan Syd Field pada 1979 lewat buku Screenplay: The Foundations of Screenwriting.
“Di kelas-kelas workshop, sangat bisa untuk saya menganalisa struktur tiga babak dalam Tiga Dara. Saya bisa melihat di mana ujung act satunya, di mana midpoint-nya dan di mana ujung act duanya. Ini juga bisa saya analisa pakai pendekatan eight sequence yang baru saya temukan di tahun 2006. Lewat Djam Malam juga bisa dengan sangat fit masuk ke dalam (struktur) hero’s journey. Itu membuktikan bahwa pemahaman terhadap struktur sudah ada di awal-awal tumbuhnya film Indonesia,” sambung Aris.
Kepekaan terhadap Keresahan Masyarakat
Selain lewat gagasan dan struktur, dalam mengemas karyanya Usmar tak hanya dengan membumbui aspek-aspek pop seperti komedi, suspense-thriller, film noir, dan musikal. Ia juga amat peka dalam alur cerita dan pengembangan karakter. Kepekaan itu berangkat dari kegelisahannya terhadap kondisi yang terjadi di kehidupan masyarakat yang sebelumnya tak pernah diangkat ke layar lebar.
Alhasil, karya-karya Usmar sarat idealisme dan amat menghibur. Kombinasi keduanya melahirkan daya tarik penonton dan lebih jauh, merasakan keintiman dengan cerita maupun para tokohnya. Keintiman itu acap melahirkan pembicaraan di antara penonton usai keluar dari bioskop.
Soal keintiman cerita, Alwi Dahlan –keponakan Usmar cum penulis naskah Harimau Tjampa, Tiga Dara, maupun Tamu Agung (1955)– berkisah bagaimana sang paman mendidiknya secara otodidak tak lama setelah tiba merantau di Jakarta dari Sumatera Barat pada 1950. Cara Usmar mendidiknya terbilang unik.
“Saban hari dibayarin (nonton film). Disuruh memerhatikan, apa yang sebetulnya diceritakan dalam film yang saya tonton. Apa yang kira-kira tidak dialami oleh penonton karena kan penonton datang, dia tidak ingin melihat kembali persis seperti apa yang dia alami, melainkan dia ingin melihat atau mendapatkan insight, kedalaman dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri,” kenang Alwi.
Baca juga: Connie Sutedja Si Singa Betina dari Marunda
Masih terang dalam ingatan Alwi, kemudian Usmar memberikannya sebuah buku kecil tipis untuk mencatat sekaligus menulis skenario atas arahan Usmar. Alwi mengaku belajar dari nol dari pamannya. Penulisan skenario sangat berbeda dari penulisan cerita pendek atau artikel berita yang acap Alwi lakoni sebagai wartawan.
“Saya diminta coba dialihkan pengalaman orang (pemeran) yang diceritakan itu ke dalam pengalaman dari penonton. Berarti apa? Hal-hal yang tak diketahui penonton itulah yang harus kita bawakan tapi bisa kita hidupkan dalam pemikiran penonton. Lalu kita membahas pembabakan, mendiskusikan mengapa (plot), kenapa ceritanya begitu, kenapa orangnya begini, kenapa di (babak) sini gelap kemudian di sana terang?” lanjut akademisi Indonesia pertama yang bergelar profesor ilmu komunikasi itu.
Baca juga: Langganan Mengiringi Benyamin S
Alwi melakoni debutnya sebagai penulis skenario pada film Harimau Tjampa, di mana Usmar selaku produsernya. Film yang dikemas dengan meniru budaya Minang dengan konsep Randai atau seni teater tradisional Sumatera Barat itu pengerjaannya dibantu komposer Orkes Studio Jakarta (OSD) Saiful Bahri.
“Intro dalam Randai sudah menyelipkan inti dari film tapi secara tidak tajam. Dan kemudian dimulai babak satu, ada silat dan sebagainya, kemudian lagu, lalu babak kedua. Tapi bagaimana membawakannya ke layar modern? Usmar mengatakan: ‘Tidak bisa Randai asli dibawa karena orang enggak akan mengerti.’ Di situlah peran Saiful Bahri membuat lagu-lagunya untuk bisa lebih dimengerti mengiringi dari babak ke babak,” ujar Alwi.
Harimau Tjampa diakui Alwi sebagai film eksperimental. Film itu memadukan konsep budaya tradisional dengan modern. Walau tak mendapat respon besar dari penonton di dalam negeri, Harimau Tjampa justru mendapat apresiasi dari luar negeri.
“Walau dapat Piala Citra di FFI pertama ya, film itu tidak begitu hebat (penontonnya). Tapi ketika dibawa ke luar negeri, itu dikagumi. Mereka terkesan karena lain sama sekali. Bukan soal pencahayaan atau penggelapan (tone film), tapi karena diangkat dari pengalaman (masyarakat tradisional). Di Batu Sangkar silat kan terkenal, orang yang hebat bersilat diuji melawan harimau. Harimau Campa itu kan harimau yang loncat ke pohon dan tidak sembarang guru bisa mengundang harimau untuk menguji muridnya. Nah ini konsep yang kita bawa sudah jauh sekali,” sambungnya.
Baca juga: Melihat Benua Biru Lewat Europe on Screen
Alwi mendapat pelajaran soal konflik cerita dalam naskah film lebih dalam lagi saat Usmar menggarap Krisis, Lewat Djam Malam, dan Tiga Dara. Film-film dengan konflik yang begitu kental dan intim dengan permasalahan sosial itu tiada yang berani mengangkatnya ke layar lebar di masa itu.
“Usmar ingin hal yang tidak diceritakan orang itulah yang diangkat, tapi bisa dirasakan oleh semua. Seperti di film Krisis. Masyarakat itu merasakan gundah pada suatu hal tapi enggak ada yang berani angkat. Kegundahan tentang orang-orang yang pulang dari masa perjuangan ke kota, di mana rumah-rumah tidak ada. Setiap rumah dikavling-kavling untuk beberapa keluarga,” imbuh eks-menteri penerangan (Maret-Mei 1998) itu.
Baca juga: Cinta Tiga Dara
Alwi menguraikan hal serupa lewat Lewat Djam Malam. Kisahnya tentang keresahan seorang militer yang dalam revolusi merasa paling berkuasa, namun saat kembali ke kehidupan sosial hanya dianggap biasa saja oleh orang-orang urban yang baru.
“Seperti juga Tiga Dara, tentang tiga perempuan yang bersaing mendapat sebuah peranan. Itu kan konflik di zaman setelah perang juga, di mana perempuan-perempuan yang lebih tua kembali ke kota belum dapat jodoh, sementara justru perempuan yang lebih kecil dan muda dapat peran dan jodoh karena dia lebih bisa menyesuaikan dengan perkembangan baru. Dia jadi lebih menarik karena mengenakan celana pendek, bersepatu roda dan sebagainya,” sambung Alwi.
Ketika sudah punya karya yang baginya baik untuk disuguhkan, Usmar masih harus putar otak agar bisa memutar karya-karyanya di pasar yang lebih luas. Artinya ditayangkan di bioskop elit, seperti Metropole. Alwi juga masih ingat betul bahwa Presiden Sukarno tak begitu berminat pada film-film Usmar. Maka Usmar mengalihkan “rayuannya” ke Wakil Presiden Mohammad Hatta.
“Bung Karno kan punya teman dari perwakilan perfilman Amerika, maka Bung Karno tak berminat. Kemudian Pak Hatta yang mau. Usmar bilang: ‘Pak, nontonlah satu kali saja nonton film Indonesia. Nanti hal itu akan bisa membantu kita.’ Ya kan kalau Pak Hatta yang menonton tentu bukan di bioskop murahan, pasti bioskop kelas tinggi seperti Metropole. Waktu itu yang ditonton Pak Hatta adalah film Krisis,” kenang Alwi.
Baca juga: Negara Teater dan Teater Negara Bung Karno
Alasan Presiden Sukarno tak berminat dengan karya-karya Usmar di masa itu, tak lepas dari pengaruh politik dan bisnis. Dalam hal politis, Usmar adalah kader PSI (Partai Sosialis Indonesia) di bawah pimpinan Sutan Sjahrir sebagai oposisi pemerintahan Sukarno, sebelum pada 1960-an Usmar berpindah ke Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam hal bisnis, Sukarno seolah tak senang dengan sejumlah kritik Usmar terkait persaingan kejam dan gurita industri Hollywood. Seperti petikan kritik dan sindiran yang pernah dituangkan Usmar dalam tulisannya di suratkabar Star News edisi 20 Mei 1953:
“Hollywood pada hakikatnya disobek-sobek oleh perasaan saling bersaingan, bermusuhan, curiga-mencurigai dalam usaha untuk merebut kekuasaan dan melindungi kepentingan masing-masing. Perselisihan gelap-gelapan dan terang-terangan, saling tikam-menikam dari depan dan dari belakang, jelek-menjelekkan tidak henti...Keadaan ini menurut anggapan saya bukanlah sesuatu yang perlu dicontoh di Indonesia. Mudah-mudahan janganlah pula di Indonesia dijadikan alasan untuk memulai saling cakar antara para produser Indonesia yang baru saja mengikat persatuan dalam Gabungan Perusahaan Film Indonesia,”.
Baca juga: Peran Connie Sutedja di Dunia Nyata
Alwi juga menjelaskan mengapa Usmar gemar menyisipkan isu-isu sosial dalam karya-karyanya. Disebutkannya, Usmar gundah melihat banyak ketidakadilan di masa Sukarno yang ia baca di koran-koran. Perbedaan ideologisnya dengan Sukarno membuat Usmar memberanikan diri menggarap film satir Tamu Agung.
“Usmar selalu gelisah, melihat di koran kok begini, kok begitu. Lalu Usmar mencari inti kegelisahan masyarakat itu di mana? Dia tulis juga di koran-koran karena dia juga masih teratur menulis di koran-koran. Jadi dia juga mengangkat masalah-masalah itu langsung kepada pembaca. Dengan kita dia juga selalu diskusi, apa saja sih yang salah dalam masyarakat. Lalu muncul Tamu Agung. Kan itu sebenarnya menyindir Bung Karno. Itu film tentang tukang obat yang biasanya jual macam-macam. Nah itu yang di film-film sekarang kurang muncul,” tambahnya.
Hal terakhir yang membuat karya-karya Usmar disukai penonton adalah cara Usmar bercerita tak bertele-tele. Prima menyoroti betapa Usmar langsung memberikan gambaran awal yang jelas tentang karakternya di menit-menit pembuka, agar penonton lebih mudah hanyut dalam cerita di babak-babak berikutnya.
“Jadi kita langsung memahami karakter dengan permasalahan yang mereka hadapi. Seperti di Lewat Djam Malam, begitu dia (karakternya) datang, kita langsung melihat, oh ini ada masalah di menit pertama. Tiga Dara juga sangat cepat kita menangkap, oh ini anak gadis yang pertama gebyar masalah,” timpal Prima.
Bagi Prima, menit-menit awal selalu penting dan dinanti penonton untuk mengetahui perkembangan dan arah cerita si karakter. Menit-menit awal jadi titik di mana penonton punya pilihan, apakah mau ikut hanyut dalam film atau tidak, dan itu dilihat Prima begitu konsisten di semua karya Usmar.
“Jadi enggak ada penundaan sama sekali. Dengan begitu penonton langsung masuk dengan enak ke cerita. Kita melihat struktur skenario ini memang sebagai satu tontonan yang mengalir. Itu yang sangat penting. Enggak ada ketakutan untuk menunda-nunda buat penonton untuk menebak ini masalahnya apa,” tandasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar