Melihat Benua Biru Lewat Europe on Screen
Edisi ke-19 festival film terlama. Ajang untuk menengok Eropa lewat film-film berkualitas.
TAK ada yang lebih populer dari Norwegia selain fyord-fyord cantiknya dan sebagai salah satu pewaris bangsa Viking. Namun, Norwegia bukan dua hal itu semata. Film Brødre (2015) membuktikannya dengan tawaran lebih dari sekadar daya tarik wisata.
Film dokumenter berdurasi 110 menit itu memang tak punya action atau drama sebagaimana film-film Hollywood. Namun, film ini mengandung banyak makna. Sederhananya, film ini berkisah tentang keseharian dua bocah: Markus dan Lukas Holm yang digarap sang ibu, Aslaug Holm. Lewat mata kamera sang ibu, penonton diajak mengarungi kehidupan detail rata-rata penduduk Norwegia yang tinggal di pesisir Ibukota Oslo.
Selain berkisah tentang harapan, kekecewaan, dan lika-liku kehidupan Markus dan Lukas, sang ibu juga mengungkit bagaimana anak-anak mereka menjalani hidup di bawah naungan para leluhur yang secara turun-temurun merupakan nelayan tangguh.
Bersama film garapan sineas Italia Paolo Sorrentino yang memenangkan Academy Awards dan Golden Globe pada 2014, La Grande Bellezza (2013), Brødre akan mengajak kita menyaksikan sisi lain Eropa. Dua film apik ini jadi sajian “Road to Europe on Screen 2019” di Institut Budaya Italia (IIC), Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Mula Festival Film Eropa
Europe on Screen (EoS) tahun ini akan jadi edisi ke-19 yang digelar Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei pada 18-30 April 2019. Tidak hanya di Jakarta, lebih dari 100 film berkualitas juga akan diputar di enam kota lain: Tangerang Selatan, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan, dan Yogyakarta.
“Tapi kalau untuk jadwal film-filmnya mohon sabar dulu ya. Nanti kita akan umumkan pada 2 April lewat media-media sosial kita. Sementara, yang di situs kita (europeonscreen.org) itu masih jadwal tahun lalu,” terang Nauval Yazid, salah satu Festival Co-Directors EoS, kepada Historia.
Meski ini jadi yang ke-19, bukan berarti festival film asal benua biru ini bermula pada 2000. Festival film dengan durasi terlama dan salah satu yang tertua di Jakarta ini eksis pertamakali pada 1990 dengan nama European Film Festival.
Majalah Pertiwi edisi 116 (1990) mengulas, Festival Film Eropa itu diprakarsai Centre Culturel Français (CCF), kini Institut Français d’Indonésie (IFI) atau Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta dalam rangka kerjasama kebudayaan Indonesia dengan Masyarakat Ekonomi Eropa. Festival dihelat pada 20 November-1 Desember 1990; film-filmnya diputar serentak di IFI, Goethe Institut (Jerman), Erasmus Huis (Belanda), British Council (Inggris), dan Institut Cervantes Jakarta (Spanyol).
Namun, gelaran kedua baru bisa dihelat pada 1999. Itupun akhirnya batal digelar lantaran beberapa filmnya tak lolos sensor Lembaga Sensor Film, tulis Jonathon Green dan Nicholas J. Karolides dalam Encyclopedia of Censorship.
“Awalnya dijadwalkan Festival Film Eropa itu pada September 1999 di Jakarta. Tiga dari sembilan film sudah lolos sensor. Tapi sisanya diperbolehkan diputar setelah dipotong adegan-adegan seksualnya. Penyensoran itu tak bisa diterima komite Festival Film Uni Eropa.”
Baca juga: Kolase Hidup Manusia dalam Perang Dunia
Tiga tahun jeda, hajatan itu comeback dengan nama Europe on Screen (Eos) pada 2003. Sejak itu, festival tersebut rutin digelar tahunan. “Sejak 2003 sampai 2006 EoS istilahnya numpang di JiFFest (Jakarta International Film Festival). Jadi mereka jadi bagian dari salah satu programnya JiFFest. Baru pada 2007 EoS berdiri sendiri,” sambung Nauval.
Seratus Film Cuma-Cuma
Sebagaimana edisi-edisi sebelumnya, EoS tahun ini tetap bisa dinikmati cuma-cuma alias gratis. Lebih dari 100 film dari puluhan negara Eropa akan jadi suguhan di tujuh kota sepanjang 18-30 April 2019.
“Kalau dirunut per judul, kira-kira totalnya 118 film dari 27 negara Eropa. Tapi film-filmnya memang produksi dari kurun 2016-2017. Dari awal kita selalu mencari filmnya memang dari kurun dua tahun berjalannya festival. Ada juga yang dari 2016, itu film dari Azerbaijan karena memang negara mereka output filmnya tidak banyak per tahun,” ujar Nauval lagi.
Bukan hanya dari kedutaan dan pusat kebudayaan negara-negara Eropa, Nauval kadang harus mencari film dari pihak-pihak di luar kedutaan. “Karena enggak semua kedutaan punya kearsipan dan kepustakaan budaya seperti Italia, Prancis, Jerman, Belanda. Lainnya kita harus cari sendiri langsung ke para film-makers, sales agents, atau distributor.”
Nauval menambahkan, pihaknya tak pernah menentukan tema-tema besar tertentu. Kalaupun ada isu tertentu yang ingin diangkat, biasanya akan disisipkan di program dokumenter mereka. Seperti tahun ini, EoS mengangkat isu soal tanah dan film Brødre seperti yang sedikit diuraikan di atas, adalah salah satu representasinya.
Baca juga: Captain Marvel, Antara Nostalgia dan Isu Feminisme
“Kita tetap ingin setiap tahun ada sub-section tersendiri yang mengkangkat sebuah isu. Biasanya untuk kategori dokumenter. Tahun lalu tentang kelautan karena di Uni Eropa tahun lalu lagi ada konferensi tentang kelautan. Tahun ini tentang our land, tanah. Kita ingin angkat isu tentang tanah dari sisi turisme, eksplorasi, hukum, tanah sebagai tempat tinggal, sampai tanah yang jadi sengketa,” ujarnya menutup obrolan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar